-I-24

37 13 2
                                    

KEBANYAKAN orang mungkin tidak terpengaruh dengan sebuah emosi, perasaan yang tiba-tiba muncul ketika mengobrol dengan seseorang tidak akan mengubah suasana hati mereka secara langsung, tapi sepertinya aku tidak termasuk kebanyakan orang itu. Senyumanku langsung berubah dengan tatapan kosong selama beberapa saat, bahkan membuat Immanuel terlihat heran, sampai senyum yang sejak tadi menghiasi wajahnya ikut memudar.

"Ow, sepertinya aku salah bertanya. Maaf," katanya.

Dia yang meminta maaf, tapi aku yang merasa bersalah, karena telah membuat obrolan kami terputus secara sepihak. "Aku yang minta maaf," kataku, akhirnya, mencoba untuk tersenyum.

"Tidak. Jangan meminta maaf karena hal seperti itu. Setiap orang memiliki hal yang membuat mereka tiba-tiba merasa sedih," katanya, dia duduk semakin mendekat dan mengusap punggungku. "Tidak apa-apa, sungguh."

Aku meliriknya yang sedang tersenyum manis ke arahku. Rasanya aku harus sering-sering merasa sedih, agar dia duduk sangat dekat dan mengusap-usap punggungku, atau mungkin... dia memelukku. Sial. Itu adalah bayangan dan harapan paling bodoh yang pernah terjadi di dalam otakku. Maksudku, aku belum pernah berharap disayang atau diperhatikan seseorang sebelumnya. Mungkin pernah, ketika aku ingin memiliki seseorang untuk aku ajak berbicara soal sesuatu dan berkeluh-kesah, seperti seorang ibu. Namun kali ini berbeda... seperti... seseorang yang aku harap bisa menjadi temanku untuk menghabiskan sisa hidup.

"Dia tidak meninggal," kataku, mulai menjelaskan. "Aku merasakannya... dia masih hidup, tinggal di suatu tempat, yang tidak aku ketahui. Lagi pula Ayah dan seluruh keluargaku tidak mengatakan jika dia mati atau semacamnya. Aku juga tidak pernah melihat makamnya. Kata mereka, dia hanya pergi."

"Bercerai?" tanyanya.

"Status Ayah masih menikah di kartu tanda penduduk miliknya dan kartu keluarga. Semua berkas milik ibuku juga masih berada di rumah. Dia tidak membawanya pergi. Bahkan Ayah masih menyimpan semua pakaiannya di lemari. Tidak ada yang dikeluarkan atau dibuang, seolah dia akan kembali padanya, suatu hari nanti."

"Apa mungkin ibumu pergi tanpa mengurus surat perceraian di pengadilan dan membawa berkas-berkas miliknya? Maksudku, apa dia bisa berpergian keluar kerajaan tanpa membawa berkas-berkasnya itu?"

"Itu yang membingungkan. Aku pikir dia tidak pergi."

"Maksudmu, keluargamu menyembunyikan kematian ibumu?"

"Aku tidak yakin. Tidak ada surat kematian dari pengadilan. Secara hukum kerajaan Wesfiw, ibuku masih hidup dan masih menjadi istri sah Ayah."

Immanuel terdiam dan menatap ke air mancur, tapi pandangannya terasa menerawang jauh. Aku malah berpikir, sekarang apa yang dipikirkannya tentang diriku. Apa dia menganggap keluargaku aneh? Apa dia menganggapku berbohong? Apa wajahku terlihat seperti sedang berakting? Aku tersiksa memikirkan itu, ketidaktahuan ini terasa seperti belati yang menyayatku. Pembicaraan kami juga seperti buntu begitu saja dalam keheningan.

"Sepertinya ayahmu tidak menceritakan semuanya. Seolah masih ada yang dia tutup-tutupi." Akhirnya dia kembali mengajakku berbicara.

"Aku pikir begitu."

"Bagaimana dengan Nathan? Apa pendapatnya tentang ini?"

"Nathan percaya dia pergi karena Ayah berselingkuh dengan pacarnya saat masih bujangan," jawabku.

"Apa menurutmu itu tidak mungkin?"

Aku mengangkat bahu sekilas. "Entahlah. Melihat Ayah menatap matahari terbenam atau menerawang jauh ke arah timur, seolah dia benar-benar mencintai ibuku, seolah tidak akan ada perempuan lain yang bisa menarik hatinya lagi."

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang