-I-07

90 16 0
                                    

HARI sudah larut ketika aku sampai di rumah. Aku meletakkan semua yang aku beli di sudut kamar dan melempar tubuhku ke atas kasur. Jika Bibi di sini, dia akan berkata, "Jika perempuan baru datang dari bepergian, dia tidak akan membanting tubuhnya langsung ke atas kasur. Ayo cepat bangun, bereskan semua yang kau beli, dan bersihkan badan. Kau tidak tahu kapan suamimu akan datang menghampirimu, sedangkan kau belum siap."

Aku benci dengan kalimat yang selalu dia ucapkan, yang mengatakan apa yang seharusnya aku lakukan dan apa yang seharusnya tidak aku lakukan. Aku menyukai apa yang aku lakukan. Dan aku menginginkan suami yang menyukai apa yang aku lakukan. Jika saja aku bisa mengatakan semua itu langsung di depan wajahnya. Tapi aku tidak berani.

Tadi sore aku menikmati momen bersama Ema. Momen terakhir melihat matahari tenggelam sebelum pergi ke kota yang tidak ada sinar matahari di dalamnya. Kami membeli es krim cone besar, dan berusaha menjaganya tidak meleleh sebelum sampai di puncak gedung-dengan menjilatinya. Ema mentraktirku seperti apa yang dia bilang.

Pandangan di atas gedung tidak seindah di bukit pasir luar cincin, tapi ini cukup menghiburku. Seandainya aku mengenal orang yang bisa mengantarku setiap hari ke tempat ini saja. Itu bisa menjadi solusi karena aku dilarang pergi ke luar cincin.

Aku melihat pemandangan gedung yang dipenuhi berbagai macam kabel berbagai ukuran. Beberapa kabel komunikasi, gas, air, dan listrik memang ditanam di bawah tanah, tapi ada beberapa yang masih dipasang di area terbuka. Tidak banyak pemandangan hijau, 75 persen pemandangan kota adalah gurun dan bukit batu pasir-selaim gedung dan pemukiman warga tentunya, hanya sisanya yang dipenuhi oleh tanaman dan bangunan kubah untuk menanam sayuran hidroponik.

Ema menanggapi apa yang tadi aku pikirkan soal solusi. "Karena kau dilarang pergi ke luar cincin untuk melihat matahari tenggelam oleh ayahmu, aku akan meminta Rafa untuk selalu membukakan lift ke mari setiap hari untukmu," katanya. Rafa adalah laki-laki yang dia kenal, yang mengantar kami naik ke mari, dia bekerja di resepsionis gedung ini.

"Sungguh?" tanyaku. Aku tidak bisa menahan senyuman mengembang dari bibirku.

"Ya, tentu, Nat. Aku tidak bisa mengantarmu setiap hari dan meminta Rafa melakukan itu. Jadi aku memintanya melakukan itu saja untukmu, meskipun tidak ada aku," jawabnya sambil ikut tersenyum senang, seolah dia juga merasakan apa yang aku rasakan.

"Oh, Ema," kataku, tidak tahan untuk tidak memeluknya. "Terima kasih, terima kasih, terima kasih, terima kasih, terima kasih..." Aku tidak tahu persisnya berapa banyak terima kasih yang aku katakan padanya. "Kau adalah sahabat terbaikku."

"Jadi aku harus melakukan hal yang membuatmu sangat senang dulu, sampai kau mau berkata jika aku adalah sahabat terbaikmu?" tanyanya, sambil masih tersenyum.

Aku juga masih tersenyum, tapi setengah cemberut. "Bukan seperti itu. Aku memang selalu mengatakan itu, kan? Jangan berpura-pura lupa."

Dia terkekeh. "Iya, iya. Aku tahu."

Aku kembali memeluknya.

Jika Gio selalu menjadi seorang kakak laki-laki yang aku inginkan, Ema selalu seperti kakak perempuan yang aku inginkan. Mungkin karena aku cocok menjadi adik kecil yang menggemaskan, sampai orang-orang yang baru melihat tiba-tiba langsung ingin mengadopsiku jadi adik mereka. Ah, terserah saja. Yang penting, aku menyukai apa yang mereka lakukan padaku. Asalkan tidak ada iming-iming dibaliknya.

Barulah setelah itu, Ema mengantarku ke pusat perbelanjaan terbesar di kota. Aku mengajaknya untuk pergi bersama, siapa tahu aku bisa membelikannya beberapa pakaian atau sepatu-biasanya dia menyukai pakaian seperti laki-laki. Dan tentu saja dia menolak. "Aku bisa membeli pakaian yang aku suka di toko khusus Organisasi Pemburu Iblis Malam."

Aku memutar mataku. Tentu saja, jenis pakaian yang dia suka lengkap di tempat itu.

Lalu dia pergi dengan mobil off-road krem miliknya-yang lebih pantas dikendarai oleh laki-laki ketimbang perempuan.

Tak selang beberapa lama, aku bertemu Bibi dan Nathan di dalam. Tidak banyak pilihan pakaian musim dingin yang bisa kami beli di sini. Mengingat kota kami berada di tengah-tengah gurun. Tidak ada alasan untuk toko menjual pakaian yang biasanya digunakan saat musim dingin. Meskipun ada beberapa orang yang masih membelinya. Entahlah, mungkin alasannya karena sekedar ingin bergaya dan terlihat keren saja. Kata Bibi, kami beli seperlunya saja. Lagi pula, ayahku tidak akan bertugas terlalu lama di sana, paling lama mungkin hanya sebulan.

Kami pulang setelah makan malam di salah satu restoran. Aku jarang pulang selarut ini. Udara di luar cukup dingin. Tapi tenang saja, meskipun aku tidak membawa pakaian hangat-sebenarnya ada di dalam tas belanja, mobil dilengkapi penghangat. Langit cerah menampilkan bulan dan taburan bintang. Jika di kota Sexo memang selalu berawan, bahkan di malam hari, maka ini akan menjadi pemandangan langit terakhirku juga, yang akan aku rindukan entah sampai berapa lama. Aku berharap tidak terlalu lama.

Setelah membersihkan badan, aku bersiap untuk tidur. Namun, mataku tidak bisa terpejam. Otakku masih ingin bekerja memikirkan sesuatu yang sebenarnya tidak seharusnya aku pikirkan. Aku hanya menatap jendela yang menampilkan pemandangan langit malam. Sampai akhirnya aku tidak sengaja melihat jam yang menunjukkan jika waktu sudah lewat tengah malam.

Aku tidak bisa diam saja jika sulit tidur seperti ini. Aku memutuskan untuk beranjak dan berjalan-jalan keliling rumah. Ayah sepertinya belum pulang. Aku belum mendengar suara kepulangannya. Dan baru sepuluh menit aku berjalan keliling rumah, aku sudah merasa putus asa. Sepertinya aku tidak akan tidur malam ini.

Akhirnya kuputuskan untuk menghampiri kamar seseorang. Aku langsung membuka pintu tanpa mengetuknya. Dan dia langsung berbalik menatapku. Wajah kami mungkin tidak seperti anak kembar, tapi ini cukup membuktikan jika kami kembar.

"Pantas aku tidak bisa tidur," tukasnya.

"Pakai bajumu," kataku, sambil berjalan menghampiri kasurnya dan masuk ke dalam selimut. Nathan tidak akan marah aku tidur di kasurnya. Dulu juga dia suka merengek ingin tidur bersama karena tidak bisa tidur.

Dia pun beranjak. Dan aku sudah menduganya. Dia telanjang bulat. Aku tidak terkejut-beberapa laki-laki suka tidur tanpa busana. Lagi pula ini terlalu sering terjadi sampai aku merasa biasa saja dengan semua bagian tubuhnya. Aku jadi memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak aku pikirkan. Jika aku sudah terlalu biasa melihat semua bagian tubuhnya, lalu apa yang bisa membuat gairah seksualku... kenapa juga aku memikirkan hal itu?

Nathan hanya memakai kaus kutung putih dan celana lari pendek sebelum kembali berbaring di kasur. Kami tidur saling memunggungi. Aku bisa merasakan kulit punggungnya yang membara di punggungku.

"Kau tidak bisa tidur juga?" tanyaku. Tanpa membalikkan badan.

"Gara-gara kau," jawabnya, yang juga tidak membalikkan badannya. Biasanya memang seperti itu. Jika aku merasa gelisah, sembilan puluh persen dia pun akan merasakannya. Begitu pula sebaliknya.

"Kau sudah mengemas barang?"

"Besok saja."

"Jadi, apa yang membuatmu gelisah?" tanyaku.

"Seharusnya itu pertanyaanku," katanya. "Kau yang gelisah. Aku tidak memikirkan apa-apa sejak tadi. Pikiranku kosong. Tapi aku tidak bisa tidur. Dan aku berpikir itu pasti berasal darimu. Kau yang tidak bisa jauh dari matahari tenggelam, lalu tiba-tiba Ayah memutuskan untuk mendatangi kota yang tidak memiliki sinar matahari. Itu pasti membuatmu stres."

Apa yang dikatakan tidak sepenuhnya salah. Dan aku tahu dia berbohong. Mana ada pikiran manusia yang kosong, pasti selalu ada sesuatu yang mereka pikirkan. Termasuk dirinya. "Apa kau pernah terpikir soal... Ibu?"

Pertanyaan sensitif, yang seharusnya tidak aku tanyakan pada saudaraku. Pembicaraan kami biasanya tidak pernah terlalu dalam, bahkan tidak pernah membahas soal Ibu.

Dia menarik dan mengembuskan napas dengan agak berat. "Ya," jawabnya, singkat.

Seperti bukan aku yang merasa berat ketika membicarakan soal ini. "Bagaimana menurutmu?"

"Menurutku apa?"

Sekarang aku yang menarik napas dalam dan mengeluarkan dengan berat. "Soal ketidakjelasan yang dikatakan Ayah dan keluarganya soal Ibu."

"Aku pikir Ayah berbohong. Ibu tidak akan pergi tanpa alasan, kan? Pasti dia membuat kesalahan yang cukup fatal, sampai membuatnya memutuskan untuk pergi."

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang