-I-26

36 12 11
                                    

SONTAK, aku seperti mendengar guntur yang menggelegar. Aku berbalik ke arah dapur seolah menatap Bibi. Ekspresi wajahku tidak bisa aku gambarkan. Telingaku serasa sudah lama sekali tidak mendengar nama itu. Dia seperti menghilang selama berabad-abad. Atau mungkin, aku yang melupakannya?

"Gio?" tanyaku.

Bibi berjalan ke ruang tengah, aku bisa melihatnya mengangguk-angguk ke arahku. "Iya, Gio. Bibi bertanya kenapa dia baru menelpon, katanya dia baru mendapatkan waktu luang. Iblis malam di sana baru bisa terkendali..."

Lalu, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Bibi terasa terdistorsi. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Pikiranku bergantian menayangkan memori ketika bersama Gio dan ketika aku bersama dengan Immanuel.

Ketika aku berada di ladang bunga bersama Gio, dia membuatkanku mahkota bunga. Ketika untuk pertama kalinya aku dan Immanuel bertemu tatap di perpustakaan. Ketika Gio sering menggendongku di punggungnya karena lelah berjalan. Ketika Immanuel menyapaku di air terjun sambil tersenyum. Ketika aku dan Gio berbaring di bawah bintang-bintang, aku masuk ke dalam jaket parka miliknya karena kedinginan, dan dia mendekapku agar merapat di tubuhnya yang hangat membara. Ketika aku melihat Immanuel berbalik menatapku dalam sebuah penglihatan di kota pulau. Ketika Gio akan pergi bertugas dan aku mengantar dia ke stasiun, dia yang sedang menggendong tas ransel di satu bahunya berbalik ke arahku, tersenyum untuk yang terakhir kalinya, dan aku malah berlari memeluknya. Lalu, ketika tanganku tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Immanuel yang sedingin es, saat dia akan menyerahkan kantung kertas berisi burrito dan enchilada.

Sensasi dingin dari ingatan itu membawaku kembali ke hari ini. Bibi sudah berada sangat dekat denganku. Aku tidak menyadari apa yang dia katakan sebelumnya. Yang aku ingat, bibirnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu tanpa suara. "Apa?" tanyaku, dengan wajah bodoh.

Bibi mengernyit. "Kau tidak mendengar Bibi?"

"Memangnya Bibi berkata apa?" tanyaku lagi.

Dia mengembuskan napas berat. "Ketika Bibi bilang kau sedang pergi ke luar, dia berpesan agar memberitahumu, supaya segera menghubunginya ketika kau pulang."

"Oh." Aku menggaruk ujung alisku. "Iya. Nanti akan aku hubungi."

Lalu Bibi tersenyum. "Sepertinya dia sengat merindukanmu. Dari suaranya, Bibi menangkap sebuah nada antusias. Kau harus segera menghubunginya." Lalu Bibi pergi ke lantai atas.

"Iya," kataku, dengan ekspresi wajah seperti melamun. Ini serasa tidak benar. Aku melupakannya.

Kemudian terdengar teriakkan. "Nathan, ayo makan malam!"

"Aku sedang sibuk! Bawa saja ke mari!" Aku malah merindukan suara Nathan yang itu.

"Jangan bawa makanan ke kamar lagi. Sisa dan remah-remahnya bisa tercecer, membuat tikus dan kecoak berdatangan!"

"Argh... banyak yang harus aku kerjakan! Aku tidak ada waktu!" balas Nathan, lagi. Sekarang aku berbalik menatap ke arah lantai dua.

Bibi kembali turun dari lantai dua. "Nathalia, kau masih berdiri di sana?"

Mataku menangkap Bibi yang berjalan turun.

Bibi kembali mengembuskan napas berat, heran dengan perilakuku yang aneh. "Jangan banyak melamun seperti itu. Jika kau ingin menelpon Gio dulu, cepat lakukan, agar dia tidak menunggumu lebih lama lagi. Jika kau memilih untuk pergi ke atas dulu untuk membersihkan diri, ayo cepat lakukan, lalu telepon Gio dan makan malam. Bibi juga sudah menyimpan nomor yang tadi dia gunakan untuk menelepon, kau bisa langsung meneleponnya dengan menekan tombol tiga."

Bibi memberikan jeda sebelum lanjut berkata, "Bukankah tadi kau merasa berat karena memakai mantel terlalu lama?" Tangan Bibi menunjuk ke arah dekat pintu. "Tuh, tempat menggantung mantel ada di sana."

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang