-I-11

85 15 28
                                    

PAGI hari yang terasa seperti tengah malam. Aku tidak ingin keluar dari selimutku. Udara di sini benar-benar seperti di dalam lemari es. Belum genap 24 jam tapi aku sudah merindukan udara dan terik matahari yang hangat. Kalau saja Bibi tidak ikut datang ke kota ini, aku tidak perlu khawatir akan dimarahi karena berada di bawah selimut seharian.

Aku keluar dari kamar dengan mengenakan hoodie berbulu. Aku sempat melongok melihat ke kamar Nathan. Cowok itu masih mendengkur di bawah selimut. Sepertinya di tempat ini dia tidak tidur telanjang, karena aku melihat tudung hoodie menutupi kepalanya.

Ketika aku menuruni tangga, Bibi baru akan naik ke lantai dua. Dia berhenti ketika melihatku. "Kau sudah bangun?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Aku butuh minuman hangat."

"Di dapur ada air hangat bekas Alex, Paman, dan ayahmu."

"Mereka sudah berangkat?" Sambil mengernyit. "Sepagi ini? Bahkan aku tidak tahu mereka pulang pukul berapa semalam."

"Semalam mereka tidak pulang," jawab Bibi, sambil berjalan melewatiku menuju lantai dua. Sepertinya dia akan membangunkan Nathan. "Mereka baru pulang tadi pagi untuk sarapan. Lalu pergi lagi."

Tidak mungkin aku tidak terkejut. Ini jarang sekali terjadi. Ayah tidak pernah sesibuk ini sebelumnya. Apa kasus di sini separah itu? "Apa mereka bercerita?"

Bibi menarik napas dalam sebelum mengeluarkannya dengan agak berat. Sepertinya dia pun merasa khawatir. "Belum."

Aku terdiam di tangga sedangkan bibi lanjut berjalan menuju kamar Nathan. Lalu terdengar teriakkan Bibi, yang berusaha membangunkan Nathan, yang tertidur seperti orang mati.

Setelah terdiam sejenak di tengah-tengah tangga, aku ke dapur untuk membuat teh madu hangat. Aku melihat telepon kabel yang mungkin bisa aku gunakan untuk menelepon Ayah. Menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun aku pikir, dia tidak akan menceritakan sesuatu yang sangat genting padaku, apalagi dia belum menemukan titik terang bagaimana cara menyelesaikan kasusnya. Di sisi lain, aku juga tidak bisa diam saja dan menunggu. Aku harus berusaha. Setidaknya menelepon ke kantor, dan itu yang aku lakukan. Seseorang langsung mengangkat panggilanku setelah dua kali berdering.

"Kantor Organisasi Pemburu Iblis Malam kota Sexo. Ada yang bisa kami bantu?" jawab suara tenor di ujung telepon.

Aku malah ragu. Tapi akhirnya aku berkata, "Apakah Komandan Korri ada di kantor?"

"Maaf, saya berbicara dengan siapa?"

Awalnya aku sedikit ragu untuk menjawab perkataannya, tapi aku tidak bisa membuatnya menunggu terlalu lama.

"Putrinya," jawabku, akhirnya. Suaraku tercekat dan anehnya aku merasa malu. "Nathalia Castellan," lanjutku, untuk memperjelas. Aku berusaha membuat suaraku terdengar lebih percaya diri, tapi aku ragu laki-laki di ujung sana berpikir aku percaya diri, dia mungkin berpikir aku hanya orang iseng yang menelponnya pagi-pagi buta karena bosan dengan udara dingin.

Ada dua suara kecil yang terdengar, seperti sebuah suara pemberitahuan jika sambungan telepon dialihkan. Suaranya berbunyi seperti, "tuuuuut tuuuuut."

"Ada apa, Nona Muda?" Aku mengembuskan napas lega. Laki-laki tadi mempercayaiku. Atau mungkin dia memeriksa nomor panggilan, dan Ayah memberitahu operator jika itu nomor telepon rumah tempatnya tinggal sementara. Entahlah mana yang benar.

"Aku hanya khawatir," jawabku, jujur.

"Ayah baik-baik saja. Hanya sedang banyak pekerjaan yang harus Ayah selesaikan."

Aku terdiam sejenak. "Ayah tidak lupa makan dan tidur, kan?"

"Hhmm..." Terdengar keraguan dalam suaranya, dia tidak ingin berbohong dan membuatku khawatir. "Ayah sedang sibuk. Apa ada hal lain yang ingin kau sampaikan sebelum Ayah menutup telepon?"

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang