-I-34

34 11 3
                                    

KAMI berjalan bersama menuju perpustakaan. Seperti biasa ketika akan masuk, aku menitipkan barang bawaanku kepada Nyonya Evered, wanita paruh baya penjaga perpustakaan--yang baru aku tahu namanya dari Immanuel. Dia juga menatapku seperti biasanya. Namun, sorot matanya berbeda ketika melihat ke arah Immanuel. Dia tersenyum ramah. Menunjukkan tanda-tanda bersahabat. Tapi kenapa ketika dia melirikku, pandangannya seolah-olah sedang memandangi ikan busuk?

Yah, sepertinya Nyonya Evered masih memiliki selera yang tinggi. Tapi tak lama kemudian, dia melirikku dengan tatapan seolah sedang berkata, "Oh, kau berhasil mendapatkannya. Cewek yang pantang menyerah." Kurang lebih begitulah arti dari tatapannya.

Aku ingin menjawab, "Inilah aku." Tapi aku hanya tersenyum ke arahnya.

Kami berdua berjalan masuk tanpa berbicara, tentu saja, ini perpustakaan. Setelah sampai di meja, yang biasanya menjadi tempat untuk Immanuel belajar--aku tahu karena dia duduk di sini ketika kami pertama kali bertemu, aku masih ingat dengan jelas, meja kelima dari dinding, keempat dari arah pintu masuk, di deret ke empat. Benar-benar di tengah-tengah.

Dia menyimpan buku-buku tebal yang sejak tadi dia bawa, kemudian menyuruhku duduk dengan gerakan tangannya. Aku pun menurutinya, lalu dia pergi ke suatu tempat, sepertinya untuk mengambil buku. Dan benar saja, dia kembali dengan membawa beberapa buku tebal, ketebalannya sekitar tiga sampai enam ratus halaman.

Judul bukunya tidak aku kenali, kebanyakan berbahasa latin, tapi beberapa berjudul seperti jurnal penelitian.

Aku kaget ketika dia tiba-tiba berbisik di telingaku, "Kau mau membaca buku?" tanyanya. Aku tidak tahu dia suka memakan permen yang membuat napas menjadi sejuk atau apa. Tapi udara yang keluar dari mulutnya sangat dingin dan menggelitik telingaku.

Aku tertawa kecil dan menjauhkan telingaku darinya. "Geli."

Dia ikut tertawa kecil, lalu menyimpan jari telunjuk di depan bibirnya yang sedang melengkung, menyuruhku untuk tidak berisik. Aku langsung terdiam. "Kalau mau bisik-bisik, bilang, aku kaget," bisikku, lebih dulu berkata.

Dia tersenyum geli. "Ya, sudah." Dia bicara dengan berbisik. "Kau mau membaca buku apa?"

Aku langsung menggelengkan kepala. "Tidak, tidak perlu."

"Nanti kau bosan," tukasnya.

"Aku tidak akan bosan." Oke, aku ingin membalasnya karena sering sekali membuatku melayang dan menjatuhkanku. "Kau tontonan yang sangat menarik."

Bibirnya terlihat aneh setelah aku membisikkan itu. Namun akhirnya dia tertawa geli. "Oke."

"Jangan sampai itu membuatmu salah tingkah," kataku.

"Oh, aku sudah sering ditatap perempuan," katanya.

Sial! Dia terlihat biasa saja.

"Ya, tentu saja, Casanova." Kami kembali tertawa kecil. Oh, ini baru tiga hari. Bahkan beberapa saat yang lalu aku masih tidak bisa mengendalikan diri, tapi sekarang kami bercanda, aku benar-benar tidak bisa menebak yang akan terjadinya selanjutnya. Mungkin kami akan berciuman--ah, pikiran dari mana itu?!

Immanuel membuka buku, matanya bergerak ke sana kemari, terlihat serius dan benar-benar meresapi bacaannya. Dia bahkan tidak sedikitpun merasa mengantuk atau bosan. Padahal aku saja, orang yang tidak membenci atau sangat menyukai buku, minimal sekali pernah menguap ketika sedang membaca.

Seperti yang dia katakan, dia sama sekali tidak terganggu ketika sesekali aku tatap. Aku memang tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya. Seperti yang pernah aku katakan, seolah ada magnet aneh yang menarik mataku untuk selalu menatapnya. Tapi aku juga tidak mau membuatnya tidak nyaman karena tatapanku, jadi aku hanya menatapnya sesekali saja. Kadang aku melihat ke arah buku yang dia baca, yang bahasanya tidak aku mengerti, dan hanya berisi tulisan tanpa gambar. Kadang aku menatap beberapa orang lainnya yang sedang membaca. Beberapa dari mereka juga melirik Immanuel, mau itu laki-laki ataupun perempuan, sama saja. Kadang aku juga menatap buku-buku yang tersusun rapi di rak, mencoba menghitungnya, tapi aku selalu lupa hitungan.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang