-I-05

104 16 0
                                    

KANTOR Organisasi Pemburu Iblis Malam agak sepi, tidak seramai biasanya. Aku menghampiri meja resepsionis dan mengejutkan seseorang yang sibuk dengan komputer khusus data kantor.

"Sialan!" umpatnya, terkejut.

Aku terkekeh melihatnya mengusap dada.

Selama beberapa saat, aku hanya tertawa-tawa di aula sepi itu, dan dia mengumpat-umpat kesal. Masih tidak terima dengan apa yang aku lakukan.

"Salah sendiri, kau begitu fokus dengan layar komputer," kataku. "Jika ada pencuri yang mengambil kursi tunggu saja kau tidak akan menyadarinya."

"Ya, karena aku memang harus fokus mencari beberapa data."

Aku mengangguk-angguk sambil masuk ke meja setengah lingkarannya dan duduk di kursi kerja yang kosong. "Kenapa kau begitu sibuk sedangkan kantor terlihat sepi dan tidak begitu sibuk?"

"Beberapa petinggi sedang rapat di ruangan belakang," jawabnya.

Kupikir Ayah juga ada di sana.

"Beberapa yang lain sedang latihan ke luar cincin. Mungkin mereka akan kembali sekitar dua jam sebelum matahari tenggelam," lanjutannya.

Mungkin gara-gara kemarin. Mereka sedang melacak keberadaan iblis malam. Padahal mernurutku itu seperti percuma saja. Di siang hari, iblis malam akan bersembunyi. Dan seharusnya, mereka membawaku saja, aku bisa melakukan navigasi lebih baik tanpa mengeluarkan tenaga berlebih. "Apa belum ada kabar dari mereka?"

Ema menggelengkan kepalanya. "Mereka juga bekerja sama dengan pihak keamanan. Sudah sebulan tidak ada iblis malam yang mendekati gerbang. Ini pasti memicu adrenalin mereka. Biasa, para laki-laki."

Aku mengangguk-angguk saja. Ada jeda cukup lama sebelum aku mengutarakan isi hatiku. "Padahal mereka bisa mempergunakan kemampuanku. Itu bisa menghemat tenaga."

"Mereka masih menganggap kita, para perempuan, tidak bisa melakukan apa-apa."

Itu benar. Ema, bisa dibilang, perempuan yang tangguh. Dia lebih niar dariku untuk mengejar cita-cita sebagai pemburu iblis malam. Dia berlatih bela diri, ketahanan, dan senjata sendirian. Bahkan dia pernah mengikuti tes masuk, dia masuk peringkat ke tiga calon kadet terbaik dua tahun lalu. Tapi, ya... pada akhirnya dia tidak bisa menjadi pekerja lapangan. Mau sebaik, sehebat, setangguh apa pun perempuan itu, ia hanya akan berakhir di belakang meja atau tim medis. Mengurusi data dan arsip, atau pasien dan luka.

"Kau hebat, Ema. Kau bisa menerimanya dengan baik," kataku, mencoba menghiburnya yang berwajah lesu. "Sedangkan aku. Sepertinya aku tidak begitu niat mengejar cita-citaku."

"Apa maksudmu?" tanyanya. "Kau dan Nathan mencegah tiga puluh iblis malam kemarin. Dan seharusnya para petinggi melihat kemampuanmu itu. Mungkin kau bisa dipromosikan dan mendapatkan posisi yang lebih baik dariku. Agar kau tidak sibuk memikirkan cara menghindari pernikahan, mencari pekerjaan, atau memutuskan untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin kau pelajari di perguruan tinggi."

Apa yang dikatakannya benar. Kami memang mencegah tiga puluh iblis malam kemarin. Itu juga sebabnya Ayah mengoceh sampai tengah malam, soal keselamatan dan sebagainya. Padahal kepala penjaga cincin menelepon untuk mengucapkan terima kasih kepada kami berdua, karena telah membantu mereka mengamankan Gerbang Tenggara.

"Ya, tapi aku malah mendapatkan hukuman. Aku hanya boleh melihat matahari tenggelam setiap akhir pekan saja. Bukan dua hari sekali." Karena awalnya Ayah hanya mengancamku seperti itu, tapi pada kenyataannya berbeda. "Aku pikir, mereka tidak akan mau menerima perempuan, sebelum populasi pria benar-benar terancam punah."

"Kalau begitu, kau bisa memilih menikah saja," ujarnya. "Lagi pula, calon suamimu tidak terlalu buruk. Bahkan sangat sempurna." Sambil menggerak-gerakkan alisnya ke atas dan ke bawah.

Aku memutar mataku. "Aku masih akan memilih rencana B. Untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin aku pelajari di perguruan tinggi. Lagi pula, ayahku pasti mendukung itu. Karena aku tidak perlu jauh-jauh darinya."

Dia mengangguk-angguk sambil menekuk bibirnya. Seolah mencibir apa yang aku katakan.

"Aku juga tidak mau terpaksa menikahi sahabatku sendiri karena perjodohan," kataku.

"Seharusnya kau bersyukur. Kau tidak harus mencari calon suami," katanya, nada suaranya terdengar bergetar, seolah dia sangat rapuh.

"Ema," kataku. Mengerti akan perasaannya. Sekarang umurnya dua puluh. Rata-rata perempuan di keluargaku menikah di umur-umur seperti ini. Tapi Ema belum memiliki tanda-tanda akan menikah. Mungkin dia terlalu maskulin untuk ukuran perempuan. Berambut pirang tapi bergaya mohawk, tinggi, berkulit putih, dan kekar. Jika perempuan normal kebanyakan yang memiliki tinggi badan dan warna rambut sepertinya memilih menjadi model di pusat kota, dia memilih menjadi pemburu iblis malam. Apalagi Ema masih ingin bekerja di Organisasi Pemburu Iblis Malam. Sedangkan rata-rata perempuan, biasannya, akan meninggalkan apa pun pekerjaannya untuk mengurus keluarga-jika tidak ada yang mengurus anak-anak.

"Aku mungkin akan hidup sendirian saja," katanya. "Lagi pula aku menyukai pekerjaanku. Meskipun pekerjaannya tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan, tapi yang terpenting, aku masih berada di Organisasi Pemburu Iblis Malam."

"Bagaimana dengan Miguel?" tanyaku. Karena aku cukup terkejut dengan perkataannya barusan. Itu pacarnya. Satu-satunya laki-laki yang bisa menyaingi Ema. Umurnya sama seperti Gio. Dan aku juga belum mendengar keseriusan dalam hubungan mereka. "Kalian masih berpacaran, kan?"

"Ya," jawabnya. "Tapi sepertinya dia bukan laki-laki yang suka berkeluarga."

"Dia pernah mengatakannya, atau...." tanyaku. Hubungan mereka memang jarak jauh Miguel sedang bertugas di kota Unom. Dan setahuku, hubungan mereka baik-baik saja.

"Sebenarnya tidak," jawab Ema, tangannya masih sibuk menggerak-gerakkan tetikus, dan matanya masih sibuk menatap layar. "Tapi, ya, dia tidak memiliki tanda-tanda akan melamarku. Maksudku, dia sama sekali tidak pernah membicarakan soal pernikahan. Bahkan dia menghindari pembicaraan itu. Dia juga melarangku membicarakannya. Dia bilang, kita tidak perlu berandai-andai akan masa depan."

Sekarang aku mengerti kenapa dia mengatakan kalimat tadi. "Dan kau akan meninggalkannya jika dia tak kunjung melakukan itu?" tanyaku.

Dia berhenti melakukan apapun yang awalnya sedang dia kerjakan. "Aku tidak tahu." Namun ekspresi wajahnya menunjukkan jika ia akan berkata, "Tentu saja aku tidak akan meninggalkannya. Aku mencintainya." Tidak ada keraguan. Tapi dia membuat dirinya seolah-olah ragu.

"Maka jangan berpikir kalau kau akan hidup sendirian," kataku.

Dia tersenyum sekilas ke arahku sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya. "Dan, bagaimana denganmu?"

"Bagaimana denganku apa?" Aku malah balik bertanya, pura-pura tidak mengerti.

Dia mengembuskan napasnya dengan kasar. "Hubungan kalian."

"Kami baik-baik saja," jawabku.

"Maksudku apakah dia akan melamarmu?"

Sebenarnya itu bukan pertanyaan yang seharusnya aku jawab, dan seharusnya Ema tidak menanyakan hal itu padaku. Seharusnya dia menanyakan itu pada Gio. Tapi terlepas dari, apa sebenarnya kata yang pantas menggambarkan hubungan antara kami berdua, orang tua kami sudah setuju. Aku tidak tahu bagaimana tanggapan Gio akan hal ini, dan Gio pun tidak berusaha mencari tahu tanggapanku. Jadi aku berasumsi... bahwa... hubungan kami...

"Itu tidak penting," jawabku, akhirnya. Jawaban yang tidak ingin didengar semua orang yang mengharapkan kejelasan. Tidak ada unsur penolakan, persetujuan, atau ketidaktahuan.

"Gio itu sempurna, Nat," katanya. Aku tahu dia sedang menahan senyumannya yang ingin mengembang. "Dia seperti pangeran dalam impianmu, kan? Meskipun dia bukan anak raja, tapi keluarganya cukup kaya. Dan jika kau tidak mau kekayaan keluarganya, dia cukup lihai bekerja sebagai pemburu iblis malam. Jabatannya sudah menjadi wakil ketiga divisi tim alpa, yang menjaga daerah paling selatan. Gagah, tegas, tangguh, atletis, kau merasa selalu terlindungi jika berada di dekatnya, dan dia penyayang. Khususnya, dia menyayangimu. Sangat menyayangimu."

Ayo, cetak miring kata itu untuk memperjelasnya. Menyayangimu. Bukan mencintaimu. Seolah itu penting.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang