-I-42

19 10 5
                                    

PERI. Hanya itu satu kata yang menggambarkannya. Dia perempuan mungil sepertiku. Hanya saja wajahnya lebih cantik dariku--menurutku seperti itu. Mirip seperti ibunya, tapi memancarkan aura berbeda. Jika ibunya memancarkan aura keibuan dan ramah, dia memancarkan aura jenaka dan riang. Dia tersenyum senang ketika melihatku, lalu memelukku.

"Akhirnya kita bertemu," katanya, nada suaranya benar-benar imut, seperti pembawa acara anak-anak di televisi. Aku terkejut dan bingung, harus membalas pelukannya atau diam saja.

"Ow, kau sangat wangi. Seperti cupcake yang baru saja diangkat dari panggangan." Sambil melepaskan pelukannya. Aku bernapas lega, karena dia melepaskan pelukannya, itu membuatku merasa canggung.

Ya, jarang ada yang memelukku, apalagi memujiku tentang aroma. Padahal aku menggunakan parfum yang seharusnya berbau seperti bunga-bungaan, bukan beraroma vanila atau vanili. "Hhhmm, terima kasih," kataku, sambil melirik Immanuel sekilas--wajahnya tersenyum senang, seolah dia senang ketika melihatku akrab dengan adiknya, "Mungkin karena tadi bibiku sedang memanggang brownies di rumah, aromanya jadi menempel."

Ini sungguh kejutan. Aku kira dia adalah cewek tinggi bak seorang model dengan rambut indah dan wajah sempurna. Tapi dia adalah cewek mungil yang imut dan riang. Dia bisa membuat semua orang yang melihatnya tersenyum.

"Aku Emmanuella," dia memperkenalkan diri. Aku sudah menduganya. Jika ada versi lain dari Immanuel, pasti nama perempuannya itu.

"Aku Nathalia," kataku, sambil ikut tersenyum senang.

"Ya, aku tahu. Aku bahkan tahu banyak tentangmu," katanya, masih tersenyum riang. "Saudaraku sering bercerita tentangmu." Kami melirik satu-satunya cowok di tempat itu yang sedang berjalan ke sana ke mari entah sedang mencari apa.

"Aku rasa dia mencoba menceritakan tentangku kepada semua orang," responsku, mencoba bercanda dengan sedikit membuat suaraku terdengar seperti sebuah bisikan.

"Itulah yang terjadi jika kau disukai oleh seseorang sepertinya," tukasnya, yang juga ikut berbisik, nada candaanku dibalasnya dengan mengedipkan mata. "Rahasiamu akan bocor ke mana-mana."

"Itu namanya rahasia yang diketahui oleh banyak orang," balas Immanuel, begitu saja. Tentu saja dia pasti mendengar kami, bisikan kami hanya dibuat-buat.

"Mana ada rahasia semacam itu," tukas Emmanuella. Lalu wajahnya seperti baru mengingat sesuatu. "Oh iya, aku membuatkan sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju salah satu meja. Kamarnya memang dipenuhi oleh laci setinggi pinggang. Tiga dinding di bagian depan, belakang, dan samping tempat tidurnya dihiasi bingkai berbagai ukuran dan bentuk yang disusun menawan tidak beraturan--disusun di bagian tengah-tengah. Berisi foto-foto, yang objeknya tidak jelas, tapi terlihat estetik. Ranjang tidurnya berbeda dari dua ranjang yang ada di kamar sebelumnya. Ranjangnya berbahan besi kuningan. Jika dua kamar sebelumnya menggunakan sprei putih polos biasa, kamarnya menggunakan sprei berbagai macam motif. Motif selimut, sprei dan sarung bantalnya berbeda-beda. Apa kamar setiap seniman seperti ini?

Dia mengambil sesuatu dari permukaan laci, dan menyembunyikan benda tersebut di punggungnya. Aku melirik Immanuel, mencoba bertanya menggunakan ekspresi, apa yang sedang dilakukan oleh saudarinya. Dan Immanuel membalas ekspresiku seolah berkata, ikuti saja permainannya.

Aku menelan ludah. Rasa gugupku kembali hadir. Hadiah macam apa yang akan diberikan gadis itu?

"Tada!" Dia menunjukkan bingkai yang berisi gambar diriku. Memiliki hiasan-hiasan cantik. Terlihat begitu ... berseni, dan indah. Dia menyerahkan bingkai itu padaku.

"Terima kasih," kataku. Meraihnya sambil tersenyum senang. Rasanya aneh mendapatkan hadiah dari seseorang yang baru saja kau temui.

"Kau suka?" tanyanya, wajahnya masih antusias dan riang, sampai-sampai dia menggigit bibir bagian bawah. Membuat semua orang yang mendapat pertanyaan itu tidak tega mengatakan jika karya itu jelek.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang