-I-39

24 11 24
                                    

SENYUMANNYA hangat seperti yang aku ingat. Membuatku melupakan semua masalah yang sedang aku hadapi. Pakaiannya terlihat lebih rapi dari biasanya. Dia pantas menjadi seorang dokter muda sukses yang bersanding dengan perempuan tinggi semampai, dengan gaun malamnya yang menunjukkan lekuk tubuh indah, sepatu bertumit tinggi yang membuatnya semakin menawan, dan kecantikan sempurna dari rambut hitam bergelombang yang terurai. Sedangkan tampilanku seperti anak SMP yang siap pergi berkencan dengan anak SMA urakan yang mengendarai motor bobrok.

Pikiran itu membuatku merutuki diriku sendiri, kenapa aku tidak berpenampilan seperti dalam pikiranku? Kenapa aku tidak menjadi perempuan anggun? Apa pergaulanku dulu salah? Pikiran berlebihan lagi. Hhmm ....

"Kau terlihat lebih imut dan manis dari biasanya?"

Tubuhku membeku. Apa suhunya sedingin ini? Jika aku benar-benar membeku karena kedinginan, kenapa aku merasa hangat di bagian pipi? Juga aku merasakan desiran aneh di dadaku. Perutku juga serasa ingin meledak. Dia memujiku. Maksudku, dia memang pernah melakukan itu, tapi kali ini berbeda. Mungkin karena kami sama-sama mencoba mengenakan pakaian yang terbaik. Aku memang menyadarinya dari setelan yang dia kenakan. Meskipun, aku pikir, apa pun yang dia kenakan akan selalu terlihat bagus dan cocok di tubuhnya. Dia seperti manekin ... atau model, atau jemuran pakaian, atau apalah sebutannya bagi seseorang yang cocok menggunakan segala macam pakaian.

"Hhmm ... benarkah?" Tidak mungkin tidak ada perempuan yang salah tingkah ketika mendengar pujian dari seseorang yang mereka suka. Dan lidahku hampir terpeleset karena gugup.

Dia tersenyum--maksudku, dia memang selalu tersenyum ketika di dekatku, tapi senyumannya kali ini sedikit berbeda. Semoga aku tidak salah mengartikan, tapi senyumannya terlihat jauh lebih senang dari biasanya. "Kau manis dan imut, seperti permen karamel karakter." Lalu dia menyerahkan sebuah permen karamel putih, berbentuk burung merpati, yang seolah sedang bertengger melipat sayapnya.

Aku menerima permen itu ragu-ragu. Maksudku, burung merpati adalah tanda kesetiaan, kan? Atau cinta? Aku memang bukan kutu buku, tapi dia iya. Tidak mungkin dia hanya membaca buku non-fiksi. Pasti ada satu dua novel yang pernah dia baca. Dan seseorang yang serius biasanya memiliki sisi romantis yang berbeda. Salah satunya dengan memberikan barang atau sesuatu yang penuh arti dan makna.

"Terima kasih," kataku, mendongak meliriknya, lalu kembali menatap permen itu. Aku tidak sanggup jika harus menatapnya lebih lama, tidak baik untuk kesehatan jantungku. Dan lagi, aku berusaha agar tidak gugup, pipi atau lidahku bisa tiba-tiba berdarah karena tergigit.

"Kau siap?"

Pertanyaannya membuatku kembali tersadar. "Oh, ya, tentu." Ternyata kami sudah sedikit agak lama berdiri saling berhadapan. Ini selalu terjadi ketika aku bersamanya, waktu terasa lama sekaligus bergerak dengan cepat.

Kami berjalan berdampingan. Dia membawaku ke suatu tempat di sisi lain dari pusat kota, aku tidak tahu tempat apa. Sesekali aku melirik ke arah belakang. Berharap Nathan ada di sana, mengikutiku tanpa aku sadari, tapi dia tidak ada. Itu membuatku merasakan desiran lain yang terasa menyiksa.

Aku berusaha mengalihkan perasaan tersiksa ini dengan berbasa-basi kepada Immanuel, tapi aku terus saja merasa malu dan gugup jika mendongak menatapnya, yang 35 sentimeter lebih tinggi dariku. Sebagai gantinya, bibirnya yang berwarna peach itu yang memulai, "Nathan tidak ikut?"

Namun, topik yang dia pilih bukanlah sesuatu yang bisa mengalihkan perasaan tersiksaku. Alhasil, aku hanya bisa membalas dengan tersenyum manis yang terlihat getir, dengan tambahan gelengan kepala.

Dia menyadari emosi yang hadir di wajahku. Tangannya bergerak dan mengusap rambutku tiga kali. "Tenang saja, kalian pasti berbaikan." Usapannya lembut, atau terlihat hati-hati.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang