-I-08

82 14 2
                                    

KETIKA aku atau Nathan bertanya soal Ibu, pasti Ayah akan berkata, "Dia pergi." Sambil menatap ke arah timur, seolah dia pergi ke arah sana.

"Ke mana?" tanyaku.

"Ke tempat yang seharusnya dia berada," jawabnya, masih menatap jauh ke arah timur sambil setengah tersenyum.

Biasanya orang-orang akan mengatakan itu kepada orang yang sudah mati, dan aku juga pernah bertanya kepada Nenek atau Bibi untuk menyakinkan kebenarannya. "Apa Ibu meninggal? Tapi kenapa aku dan Nathan tidak pernah melihat makamnya?"

Dan mereka akan menjawab, "Ibu kalian tidak meninggal. Dia hanya pergi."

"Ke mana tepatnya dia pergi?" tanyaku. "Dan kenapa dia harus pergi?"

"Ke tempat yang seharusnya dia berada," jawab mereka. "Dan karena itu keputusannya," untuk menjawab pertanyaan kedua. Aku sempat berpikir mereka bersekongkol untuk menjawab seperti itu ketika kami bertanya demikian. Mana mungkin jawabannya bisa sama seperti itu. Dan pasti ada yang mereka tutup-tutupi.

"Kenapa dia memutuskan untuk pergi?"

"Karena memang seharusnya dia pergi."

Pembicaraan itu hanya akan terus berputar-putar. Tak salah jika Nathan berpikir jika Ayah yang salah. Aku mengerti perasaannya.

"Mungkin Ayah selingkuh," tuduhnya, nada suaranya terdengar marah meskipun aku tidak melihat ekspresi wajahnya. "Kau pernah dengar, kan, cerita soal Ayah memiliki pacar sebelum menikah dengan Ibu?"

Ya, aku tahu. Dia kembang desa. Namanya saja sudah Rosetta. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Dia masih sangat cantik meskipun umurnya dua tahun di bawah Ayah. Rambutnya pirang bergelombang, tinggi dan bentuk tubuhnya proporsional untuk wanita berumur di atas empat puluh-terlihat sepuluh sampai lima belas tahun lebih muda. Dia selalu terlihat malu-malu ketika bertemu dengan Ayah. Wajahnya selalu bersemu dan suara lembut-atau memang karakternya seperti itu. Tapi aku tidak setuju jika Ayah selingkuh. Maksudku, Ayah selalu bersikap biasa saja jika ada perempuan itu. Tidak ada sesuatu yang spesial yang menunjukkan jika dia masih mencintainya-menurutku.

"Aku kira karena itu."

Jadi itu yang dipikirkan Nathan soal ini. Tapi sayangnya, pendapatku agak sedikit berbeda. Mungkin kesalahan Ayah soal hal lain....

"Bagaimana menurutmu?" tanya Nathan, akhirnya.

Aku kembali mengembuskan napas dengan berat. "Aku memang berpikir Ayah membuat kesalahan. Tapi, aku pikir... bukan itu kesalahannya."

"Lalu apa?"

"Soal pekerjaan."

Nathan terdiam. Mungkin aku harus melanjutkan pendapatku sampai tuntas.

"Kebanyakan orang di luar keluarga menganggap pekerjaan menjadi pemburu iblis malam adalah sesuatu yang membahayakan. Karena kau bisa saja mati, atau terinfeksi seperti mereka," jelasku. "Ibu mungkin berpikiran yang sama. Dia tidak mau Ayah melakukan itu, dan mencoba melarangnya. Tapi kau tahu, Ayah lebih keras kepala dari kita berdua. Dia menolak untuk berhenti dan ingin terus menjadi sesuatu yang membesarkan namanya sejak muda. Ibu kesal, dan akhirnya memberikan Ayah pilihan. Ibu, atau pekerjaannya. Dan Ayah tidak bisa menjawab. Lalu Ibu berpikir, karena Ayah terdiam-itu artinya keduanya sama-sama penting dan berharga, jadi dia memilih pergi. Kau bisa melihat tatapannya yang rapuh setiap kali dia menatap ke arah timur saat kita tanya soal Ibu? Pasti dia menyesali sesuatu. Dan itu yang dia sesali."

Lengang sampai beberapa saat. Aku pikir Nathan tertidur. Dan ketika aku akan bertanya, dia berkata, "Penjelasmu terlalu rumit. Seperti siaran TV series yang disiarkan kerajaan. Atau novel-novel romansa tragis yang sering dibaca gadis muda sepertimu."

"Hei." Aku tidak terima dan mengikut punggungnya yang keras. Lebih serasa mengikut dinding hangat.

"Tapi aku pikir itu juga bisa saja terjadi," lanjutnya. "Mungkin itu terjadi dan Ayah selingkuh. Itu cukup untuk membuat Ibu pergi, dan Ayah menyesali perbuatannya sampai sekarang."

"Kau tidak punya bukti."

"Semua orang tidak memberikan bukti yang jelas. Jadi kita buat saja bukti kita sendiri," tukasnya.

Kembali lengang. Tidak ada yang terjadi. Kami sibuk dengan pikiran baru yang memenuhi kepala kami. Yang terdengar hanya bunyi napas Nathan-entahlah, napas pria selalu terdengar, tidak selembut napas wanita-dan sebentar lagi Nathan menjadi seorang pria.

"Apa kau merindukannya?" tanyaku.

Ada jeda cukup lama sebelum dia menjawab, "Ya." Sambil menyembuhkan napas. Nada suaranya terdengar lembut sekarang. Aku tahu, agak sulit bagi laki-laki untuk mengutarakan isi hatinya. "Kau?"

"Tentu saja," kataku. "Aku berharap memiliki seseorang yang bisa aku ajak... membicarakan sesuatu, atau memberikan pendapat atas sesuatu. Kau tahu, untuk sesama gender. Mungkin dulu ada Nenek dan sekarang ada Bibi. Tapi...."

"Aku mengerti," katanya. Dia mungkin tidak mau mendengar kata-kataku sampai tuntas.

"Dan meskipun ada Ema, tapi rasanya berbeda." Aku lupa. Aku malah memikirkan diriku sendiri, tapi tidak memikirkan Nathan. Dia laki-laki, dan aku tidak tahu apakah dia membicarakan isi hatinya di depan para laki-laki. Maksudku, para laki-laki yang aku lihat lebih sering bergulat satu sama lain. Dan hubungannya dengan Ayah... tidak seharmonis hubungan ayah-dan-anak-laki-lakinya yang ada dalam standarku.

"Bagaimana perasaanmu?" Pertanyaan yang tiba-tiba. Padahal kami baru saja membicarakan Ibu, tapi topik berubah secara mendadak.

"Soal apa?" tanyanya.

Aku menarik dan mengembuskan napas dengan agak berat. Mencoba memutar otak, kata apa yang pas untuk dikatakan. "Soal dirimu... kehidupanmu... soal... semuanya. Bagaimana perasaanmu?"

"Aku baik-baik saja." Nada suaranya kembali berbeda. Dan ada keheningan sebelum dia lanjut berkata, "Ya... sebenarnya... tidak."

Baik. Akhirnya dia mau mengutarakan isi hati kecilnya pada saudari perempuannya. Selama ini aku hanya menebak-nebak saja, Nathan tidak pernah benar-benar mengutarakan isi hatinya secara langsung, dan sekarang mungkin dia akan mulai mengatakannya.

Apa yang aku harapkan tidak terjadi. Aku kira dia akan berbicara soal Ayah, atau perempuan yang dia suka. Tapi yang kudengar malah suara dengkuran. Bahkan aku sampai beranjak untuk memastikan apakah dia benar-benar tertidur atau tidak. Aku menatap wajahnya yang damai selama beberapa saat. Napasnya teratur dan terlihat berat. Mulutnya sedikit terbuka dan mulai mengalirkan sungai bening ke permukaan bantal. Oke, sepertinya dia benar-benar tertidur. Ya sudahlah. Mungkin dengan dia mengutarakan jika dia tidak baik-baik saja sedikit membuat hati dan pikirannya tenang. Dan meskipun, pada akhirnya dia membuatku agak penasaran, apa yang sebenarnya yang membuatnya merasa tidak baik-baik saja, tapi aku senang karena dia telah mengatakan.

Dengan mengetahui ada seseorang yang tidur di sisiku, aku mulai berasa tenang dan damai. Tapi aku baru bisa benar-benar terlelap satu jam setelah itu.

Aku tidak mendengar kepulangan Ayah. Sepertinya dia bekerja lembur sampai pagi. Tapi tidak apa. Dia bisa istirahat selama perjalanan delapan jam besok. Itu mungkin tidak efektif. Tapi dia harus istirahat daripada tidak sama sekali. Kadang itu membuatku khawatir akan kesehatan. Dia memang jarang terkena penyakit-sama seperti Nathan, mungkin karena suhu tubuhnya. Yang kuingat, dia berbaring sakit hanya ketika terluka saja. Dia kuat, gesit, ceria, seolah dia bisa menghentikan laju kereta dengan satu pukulan. Namun, perasaan khawatir tetaplah sebuah perasaan. Dan aku adalah perempuan, yang katanya memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dari laki-laki. Aku tidak bisa, tidak mengkhawatirkannya. Rasanya aneh melihat orang yang disayangi terbaring lemah karena sakit. Lalu, aku tidak ingat lagi apa-apa.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang