-I-54

28 11 3
                                    

SETIDAKNYA, beban yang aku rasakan seperti berkurang setelah aku berbicara dengan Gio. Dia seperti mengisi lagi daya keceriaan dan harapan di suatu tempat di dalam diriku. Aneh. Karena kadang aku juga merasa seperti demikian ketika di dekat Immanuel. Dan ada lagi satu perasaan yang sama ketika berbicara atau berada di dekat mereka: perasaan bersalah karena aku merasa tidak jujur kepada mereka berdua.

Aku tidak tahu, bahkan tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka berdua tahu. Andaikan Gio tahu aku menyukai orang lain selain dia. Andaikan immanuel tahu aku memilih seseorang yang sudah mendiami hatiku sejak lama. Akankah semuanya tetap sama?

Satu-satunya yang tidak aku bohongi hanyalah Nathan. Dan dia adalah orang yang paling bersikap jujur dalam hidupku. Dia juga menyebalkan.

Hari itu berakhir dengan aku dan Nathan yang tidak pergi dari rumah. Aku belum bertanya kepada Bibi apakah kami bisa keluar. Aku dan Nathan sama-sama tidak menyinggung soal itu, mungkin kami sama-sama memiliki perasaan yang serupa: tidak ingin membuat Bibi khawatir dulu.

Barulah di keesokan harinya, ketika baru akan memulai hari, aku bertanya kepada Bibi, "Bibi, bolehkah aku pergi ke luar sebentar?"

Dia, yang sedang membereskan piring dan alat-alat memasak dari tempat cuci piring ke tempat asalnya, langsung menatap ke arahku. "Apa sangat penting?" keningnya langsung berkerut.

"Mungkin," jawabku. "Temanku, Immanuel, sepertinya akan mencari-cariku." Itu terdengar narsis, tapi aku tidak tahu harus mengatakannya seperti apa, jadi ya sudah. "Tidak biasanya aku tidak datang ke kota. Aku lupa tidak meminta nomor teleponnya kemarin. Dan ya ... aku merasa bosan."

Nathan berada di meja makan sambil membaca koran ketika aku mengatakan itu kepada Bibi.

Bibi terlihat khawatir dan sedang menimbang-nimbang. Alasan yang aku buat kurang meyakinkan, tapi untuk orang sepertiku yang mudah bosan, Bibi sepertinya jauh lebih mengerti. Mata Nathan sedikit melirik ke arahku ketika menyeruput kopi hitamnya. Dia sadar ini adalah momen yang penting. Karena ketika aku bertemu dengan Immanuel nanti, pasti aku akan bertanya soal hal yang dia inginkan, dan dia juga pasti akan ada untuk mendengarnya secara langsung.

"Bibi harus bertanya dulu kepada ayahmu." Sambil meraih gagang telepon dan menekan beberapa tombol. "Bibi mungkin bisa dianggap sebagai orang tua kedua setelah Ayah kalian. Tapi untuk mengambil keputusan, tetap berada di tangan Ayah kalian. Mungkin kalian juga sudah berumur delapan belas tahun, yang secara hukum kerajaan, kalian sudah boleh melakukan apapun tanpa perlu izin ke orang tua, karena hukum kerajaan sudah berlaku secara penuh. Tapi ... karena kalian terlahir di keluarga Brown Castellan, aturannya jadi berbeda. Setuju atau tidak, kalian harus tetap menurut. Jadi, ya ..."

Aku sudah lebih tahu tentang hal itu. Dan aku pikir ini bukan ide bagus. Ayah pasti tidak akan mengizinkan aku atau Nathan keluar rumah jika bukan karena hal yang mendesak. Apalagi alasan yang aku buat terkesan kurang bisa diterima. Kenapa juga mereka harus memberiku izin untuk bertemu dengan teman yang baru menjadi teman selama beberapa hari? Apa temanku itu sangat penting? Apa pentingnya? Apa akan terjadi sesuatu, jika dia tidak melihat aku baik-baik saja selama beberapa hari sampai suasana lebih kondusif? Apa dia tidak bisa menunggu saja kabar dariku?

Tidak ada alasan yang lebih masuk akal bagi Ayah untuk memberiku izin.

"Halo, apa saya bisa berbicara dengan Komandan Korri atau Wakil Komandan Carlo?" tanya Bibi.

"Iya, saya istrinya." Bibi setengah tersenyum, seolah si penelepon di ujung sana dapat melihatnya.

"Baik, saya akan tunggu." Lalu dia berbicara padaku. "Tunggu dulu."

"Aku juga dengar," balasku. Lalu aku berbalik sambil melipat tangan di depan dada, menatap Nathan yang sedang melirikku sambil menyeruput kopi. Aku tahu ekspresi wajahnya, tapi aku balas dengan tatapan mata bosan.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang