-I-29

34 10 6
                                    

AKU pulang tanpa semangat. Bahkan aku pulang terlambat karena berjalan terlalu lama. Matahari sudah akan tenggelam ketika aku sampai di rumah. Langit cerah yang selalu aku rindukan selama hampir dua Minggu terakhir ini, seperti tidak berarti apa-apa. Padahal langit benar-benar indah. Gradasi warna jingga dan merah muda yang menawan. Dihiasi gumpalan awan-awan mendung kecil di beberapa titik.

Inilah momen yang selalu ingin aku lihat. Momen yang aku rindukan. Aku memilih diam dan duduk di teras. Menatap matahari yang akan terbenam di ufuk timur. Aku juga mencoba meringankan beban dengan menarik dan mengembuskan napas beberapa kali. Seolah aku adalah orang dengan masalah atau cobaan hidup paling banyak di dunia.

"Ibu, aku merindukanmu," kataku lirih. "Aku juga merindukan Nathan."

Beberapa orang mungkin akan merasakan atau pernah merasakan apa yang aku rasakan ini. Merasa sudah menyia-nyiakan orang, tapi ternyata kau benar-benar membutuhkannya. Aku ingin menangisinya, rasa penyesalanku. Karena di saat seperti inilah aku merasakan kesepian.

Matahari sudah tidak lagi terlihat. Cahaya yang mengikutinya perlahan-lahan menghilang. Berganti dengan langit lembab berawan mendung, yang tidak tahu pasti akan menurunkan hujan atau hanya awan berat.

Telingaku mendengar suara pintu terbuka, diikuti suara Bibi. "Kau sudah pulang?"

"Sudah," jawabku, sambil berbalik sekilas padanya.

"Matahari sudah tidak ada, kau mau menunggu apa lagi?" tanya Bibi, dan belum sempat aku menjawabnya, dia sudah kembali berkata, "Bibi tidak tahu kau tahu dari mana, tapi kata-katamu benar untuk hari ini. Kau bilang kau akan bertemu matahari, dan itu terjadi."

Aku kembali menarik dan mengembuskan napas dengan agak berat. Bukan matahari itu yang aku maksud. Matahari lain, yang senyumannya sangat hangat dan membawa gravitasi yang selalu menarik perhatianku. Tapi aku meresponsnya kata-katanya dengan berkata, "Ya, aku tahu matahari akan mengunjungiku hari ini. Dia memberi kabar. Kami seperti sepasang kekasih."

"Kau terdengar berbeda. Agak sedikit puitis. Apa yang terjadi?" Aku merasakan jika Bibi sedang mengernyit kebingungan, aneh dengan perubahan sikapku, lagi. Tapi untunglah begitu, dia lupa jika aku pulang terlambat.

"Tidak ada, tadi aku hanya bermain di perpustakaan."

"Oh, pantas saja," katanya. "Ayo masuk, waktunya makan malam, Bibi membuat steak." Lalu aku mendengar langkah Bibi menjauh.

Aku tidak menyangka Bibi mengartikan kalimatku berbeda. Padahal aku benar-benar bermain-main di perpustakaan tadi, hanya berjalan-jalan saja di dalamnya, tanpa sedikitpun menyentuh buku atau melihat sebuah tulisan. Tapi ya sudah, apapun untuk membuatnya diam dan tidak banyak bertanya soal apa yang aku rasakan.

Kami hanya makan malam berdua. Nathan masih tidak ingin ikut makan bersama kami di meja makan. Bibi bilang dia masih belajar, dia bahkan berkata, "Bibi belum pernah melihatnya belajar setekun ini. Saat sekolah saja, dia sangat anti membuka buku. Nilainya saja selalu merah, sudah untuk bisa lulus dari SMA."

Pilihan jawabnya memang antara tekun belajar atau sedang menghindariku. Tapi aku tidak mengatakannya. Jika Bibi merasa aku menyalahkan Nathan, dia akan mengadukannya kepada Ayah, dan Ayah akan memarahinya juga memaksa Nathan untuk meminta maaf lebih dulu padaku. Aku tidak mau itu. Di sini posisinya aku yang salah, semua orang yang tahu permasalahan kami pasti bisa melihatnya. Aku tidak ingin dia semakin membenciku karena semua orang hanya memikirkan tentang keselamatan atau kenyamananku.

Setelah makan malam, aku pamit kepada Bibi untuk pergi ke kamar, dan mungkin tidak akan turun lagi sampai besok. Lalu Bibi menghentikan langkahku ketika sudah setengah jalan. "Oh, iya. Nathalia"

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang