-I-38

32 12 18
                                    

KALI ini, langit dingin dan berawan menjadi atap yang membuatku resah. Nathan berjalan dua langkah di belakangku. Dia membawa dua barang milikku. Satu kantong kertas berisi paket untuk Gio, dan satu lagi kantung kertas berisi brownies untuk Immanuel. Tenang saja, tidak akan tertukar. Bentuk dan ukurannya berbeda, aku hanya takut Nathan tiba-tiba marah dan melempar kedua barang itu sampai pecah berkeping-keping.

Aku ingin membuka obrolan karena empat hari ini kami tidak saling berbicara, selain kata-kata yang saling menuduh di meja makan atau amarahnya--ini peperangan terlama yang pernah terjadi. Tapi aku malah merasa kikuk ketika akan memulai, apalagi wajah Nathan selalu terlihat marah, dengan rahangnya yang mengeras seperti sedang menggigit sesuatu sekuat tenaga.

Kami sampai di halte dan langsung menaiki bus. Pemberhentian pertama kami adalah kantor pos. Aku akan mengirimkan dulu paket Gio. Ketika sedang menunggu nomor antrean yang tidak terlalu panjang, aku sudah sangat gatal ingin mengajaknya berbicara, tapi aku takut luapan emosi malah membuatku menangis dan merusak wajahku.

"Nathan ..." Namun akhirnya-aku menelan ludah dengan susah payah-aku mengatakan itu juga.

Dia melirikku dengan sebelah alis terangkat, bahkan tatapan matanya terlihat tajam. "Apa?" Nada suaranya saja masih ketus.

"Hhmm ..." Aku sudah memulai tapi aku tidak tahu apa yang harus aku bicarakan dengannya. "Kau ... sudah tahu, jika Ayah meminta kerajaan meluncurkan roket, atas nama Organisasi Pemburu Iblis Malam?" tanyaku, akhirnya menemukan topik, meskipun suaraku terdengar seperti tercekik.

Dia mengangkat bahunya sekilas. "Tidak secara langsung. Tapi aku memang mengetahuinya."

Sial. Obrolannya buntu karena Nathan hanya mengatakan itu. Aku kembali memutar otak untuk membuat kami saling bicara lagi. "Hhmm ... bagaimana menurutmu?"

"Bagaimana manurutku apa?" Dia malah balik bertanya, aku kan jadi bingung.

"Ya ... hhmm ..." Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang sudah serasa seperti gurun di kota Quatur. "Apakah tindakan yang Ayah lakukan itu benar?"

Dia berdecak kesal. "Kenapa kau menanyakan hal ini padaku?"

"Nomor dua puluh empat, silakan maju," kata petugas kantor pos.

Aku maju sambil membawa kantong kertas dan melongok ke dalamnya, lagi-lagi memastikan, apakah barang yang aku bawa adalah kardus yang dibungkus oleh kertas kado berwarna merah muda dengan hiasan pita. Lalu aku menyimpan barang itu di meja yang ada di depannya.

"Silakan tulis." Dia menyerahkan secarik kertas berisi data yang harus aku isi beserta bolpoin. Seperti siapa nama pengirimnya dan alamat lengkapnya, lalu nama dan alamat pengirim. Saat sedang menulis, aku melirik Nathan sekilas. Entahlah, aku malah memilih perasaan yang tidak-tidak, aku merasa dia akan pergi meninggalkanku. Tapi setelah tahu dia masih berdiri tak jauh dariku sambil menjinjing kantung kertas, aku langsung mengenyahkan pikiran itu.

Aku selesai mengisi data yang dibutuhkan untuk pegawai kantor pos dan menyerahkan kertas tersebut. Kemudian aku membayar biaya pengirimannya. Aku tahu alamat pengirim dari paket yang Gio berikan, jika aku tidak tahu dia tinggal di mana di kota Tria pun, aku bisa mengirimkannya ke cabang kantor Organisasi Pemburu Iblis Malam di sana.

Entah kenapa, aku ingin proses ini cepat selesai, aku ingin pergi mendekati Nathan. Aku tidak mau banyak berasumsi atau apa pun tentang perasaan aneh ini, tapi mungkin aku hanya rindu kepada Nathan, menyebabkan aku selalu ingin berada di dekatnya.

Kami melanjutkan perjalanan menuju pusat kota. Karena aku dan Immanuel tidak membuat titik pertemuan secara pasti, jadi aku kembali datang ke mari, ke halaman perpustakaan tempat kami sering bertemu.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang