MOBIL meluncur di jalanan sepi. Aku menatap ke luar jendela. Pemandangan hutan pinus sudah berakhir beberapa meter yang lalu. Berganti dengan pemandangan bangunan persegi empat sampai enam lantai. Tidak banyak orang yang beraktivitas di jam seperti ini. Rata-rata orang sudah berada di rumah sebelum matahari terbenam. Begitu juga toko dan restoran. Mereka biasanya tutup sebelum matahari terbenam, ada juga yang buka 24 jam, tapi tidak banyak. Semua orang masih mencoba menghindari malapetaka yang mungkin terjadi.
"Kau terlihat lesu," kata Immanuel, memecah keheningan. "Ada apa? Tadi wajahmu sangat ceria."
Aku meliriknya sekilas sambil tersenyum. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang berpikir saja."
"Berpikir apa, sampai-sampai wajahmu terlihat lesu begitu?" tanyanya, lagi. Lalu lengang sejenak. "Apa aku boleh tahu?"
Aku berpikir. Setiap bersamanya, aku tidak bisa menutupi apa-apa. Aku adalah rumah dengan jendela yang terbuka, orang-orang bisa melihat sedikit gambaran suasana di dalam rumah, atau mungkin semuanya? Tergantung seberapa dekat mereka melihat ke dalam. Seperti itukah diriku di matanya?
"Kenapa aku selalu mencurahkan isi hati ketika bersama denganmu?" tanyaku, tiba-tiba, seperti biasa ketika aku sedang berpikir, aku akan langsung mengatakannya.
Dia malah balik bertanya, "Apa itu masalah?"
Kenapa dia tidak langsung menjawab saja dan berhenti membalikkan pertanyaan? "Rasanya aneh saja. Kenapa bisa seperti itu?"
Immanuel masih sibuk menatap jalanan di depan, tapi gerakan tubuhnya yang sedang mengangkat bahu, menunjukkan jika dia sedang mendengarkanku. "Entahlah. Mungkin karena kau merasa nyaman saja ketika bercerita denganku. Atau karena aku bisa merasakan apa yang kau rasakan, dari apa yang kau katakan dan dari ekspresi wajahmu. Atau karena kita baru saling mengenal, biasanya orang yang baru saling mengenal tidak akan menghakimi satu sama lain, mereka biasanya bisa saling memberi empati dan menceritakan banyak hal tanpa ragu, aku pernah membaca soal itu."
Aku ikut menatap jalanan lengang di depan. Apa benar seperti itu? Kemungkinan-kemungkinan yang dia katakan terdengar masuk akal. Kalau dipikir-pikir, sejak dulu aku hanya bercerita masalahku kepada orang yang memang bisa memahami dan tidak menghakimiku. Seperti Ema, Gio, Bibi, Nathan... mungkin pilihan itu yang masuk akal.
"Nathalia, sebenarnya ada apa?" tanyanya, sekarang wajahnya sedikit terlihat khawatir.
"Tidak, tidak ada apa-apa," jawabku, masih sama, berusaha tersenyum. "Aku hanya membayangkan keluargaku seindah keluargamu. Maksudku, aku jadi berandai-andai. Bagiamana jika ibuku tidak pergi dan ada di rumah. Bagaimana jika Nathan seceria Ella. Hanya sebatas itu. Dan... aku juga sedang memikirkan soal masalahku dengan Nathan."
"Seharusnya ini menjadi pengalaman yang membahagiakan bagimu, tapi malah jadi seperti ini," balasnya. "Aku minta maaf." Sambil melirikku, alisnya bertaut menggambarkan rasa penyesalan.
"Tidak, apa yang kau lakukan menurutku tidak salah. Perasaanku yang sepertinya agak bermasalah," kataku, terkekeh pahit.
Dia balas tersenyum hangat. "Perasaanmu juga tidak salah. Itu manusiawi. Kebanyakan manusia memang suka berandai-andai terhadap sesuatu yang tidak terjadi dalam hidupnya. Andaikan kejadian A tidak terjadi, andaikan B yang terjadi, andaikan aku melakukannya C, itu seperti semacam penyesalan atau ya... hanya sekadar mengandai-andai saja."
Lenggang. Aku pikir, hati dan pikiranku sedikit terasa melegakan sekarang. Kelihatannya bercerita adalah obat mujarab untuk mengurangi masalah, bagiku, entahlah bagi orang lain.
"Bagaimana dengan Nathan," kata Immanuel, melirikku sekilas. "Kau bilang kau juga memikirkan soal masalahmu dengan Nathan. Apa masih tidak ada perkembangan dari permasalahan kalian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Berawan #1
Vampire[VAMPIR] [Tamat] [13+] "Aku mencintai salah satu jenis dari mereka yang disebut vampir. Makhluk rupawan yang memiliki bentuk tubuh seperti malaikat untuk menarik mangsanya. Aku mencintai seseorang yang seharusnya tidak aku cintai. Karena harga yang...