-I-23

43 13 0
                                    

NATHAN seolah-olah menghindariku. Dia turun untuk sarapan, tapi tidak sarapan di meja makan bersamaku dan Bibi, dia membawa sarapannya ke atas. Sama sekali tidak melihat atau menyapaku, tentu saja. Ayah, Paman Carlo, dan Alex pulang untuk sarapan-sangat jarang terjadi. Kali ini Alex mengatakan terimakasihnya, karena telah dibelikan roti lapis, secara langsung padaku. Sambil tersenyum manis. Aku membalas seadanya.

Ketika aku pamit kepada Bibi untuk pergi ke luar karena tugas rumahku sudah selesai setelah tangah hari, Nathan sama sekali tidak keluar dari kamarnya. Seharian dia berada di kamar, dan yang anehnya, tidak terdengar musik favoritnya yang ekstrim. Aku pikir dia butuh waktu untuk memaafkanku. Jika aku jadi dirinya, aku juga akan butuh waktu agak lama untuk memaafkan seseorang yang mengatakan itu padaku, terutama yang mengatakannya adalah saudaraku sendiri.

Aku menyusuri jalanan seperti biasanya. Di bawah langit tengah hari kota Sexo yang mendung, lembab, dan dingin. Suhu tengah hari di sini seperti tengah malam di kota Quatur. Dan seperti biasanya, aku mengenakan pakaian yang pasti dilirik oleh sebagian orang secara aneh. Ini musim panas di kota Sexo, seharusnya suhu tidak terlalu dingin, tapi aku berpakaian seolah-olah sekarang sedang berada di tengah-tengah badai salju. Tapi terserahlah, yang penting aku tidak kedinginan.

Ketika sampai di depan toko roti lapis, aku malah berpikir ingin membeli hal berbeda. Mataku menemukan restoran lain, yang menjual enchilada dan burrito. Aku pikir, jika aku membeli makanan seperti itu, akan membuat Nathan mengingat rumah. Jadi aku masuk dan memesan masing-masing enam porsi menu tersebut untuk dibawa pulang.

Setelahnya, aku pergi ke kedai gelato. Namun aku bosan menjilati gelato, jadi aku memesan roti gelato saja. Bentuknya mirip seperti roti es krim, tapi dengan isi gelato-tentu saja apa lagi isinya?

Secara otomatis, setelahnya aku langsung berjalan menuju perpustakaan. Tapi sesampaimya.di depan gedung tersebut, aku malah tidak ingin masuk dan malah duduk di tangga paling bawah, sambil memandangi air mancur tengah kota dari kejauhan dan menggigit roti gelato-yang rasanya empuk, manis, lembut, dan dingin.

Lalu ada seseorang yang menyapaku ketika roti gelato milikku tinggal sepertiganya. "Nathalia?"

Aku melirik ke arah sumber suara, yang berada di belakangku-tepat di puncak tangga, dengan mulut penuh dengan roti gelato. Karena terkejut dengan wujud seseorang yang aku lihat, aku langsung menelan apa yang ada di mulutku, padahal belum terkunyah sepenuhnya. Alhasil membuat tenggorokanku sedikit sakit ketika roti gelato melewatinya, dan aku merasakan camilan itu turun ke kerongkongan sebelum memasuki lambung. Benar-benar sensasi yang aneh, yang tidak akan pernah aku lupakan.

"Oh, hai," kataku, akhirnya, setelah roti gelato masuk ke lambung. Aku melihatnya membawa beberapa buku tebal khas orang ambisius, yang sedang menempuh pendidikannya di perguruan tinggi, dan ingin mendapatkan IPK sempurna di setiap semester.

"Kau sedang apa di sini?" tanyanya, sambil masih mengernyit dan tersenyum.

"Membeli ini." Aku mengangkat bungkusan yang sejak tadi menemaniku duduk. "Burrito dan enchilada."

Immanuel mengangguk-angguk. "Untuk dibawa pulang?"

"Yep," kataku. Berusaha tetap tenang meskipun jantungku berdegup kencang.

"Tapi kau tidak langsung pulang," katanya, yang sekarang malah berjalan turun mendekatiku.

Aku mengalihkan pandanganku sekilas sebelum menatap mengikutinya yang sedang bersiap duduk di sampingku. Jujur, rasanya sulit sekali mengalihkan perhatian darinya. Bahkan aku sedikit melihat orang-orang dari ujung mataku, yang juga sedang memandangnya. Dan hidungku dimanjakan dengan angin yang tercampur aroma tubuhnya, yang benar-benar wangi. Maksudku, aku tidak tahu itu aroma tubuhnya atau parfum. Aku belum pernah mencium parfum laki-laki yang wanginya seperti ini. Aroma itu membuat jantungku semakin berdegup kencang dan salah tingkah.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang