-I-20

54 13 4
                                    

AKU ingin pingsan karena tidak percaya dengan kata-katanya. Dia mengingatku!! Rasanya aku ingin terbang ke langit karena fakta itu. Jujur, terasa aneh. Aku belum pernah merasa sesenang ini karena diingat oleh seseorang. Apa ini normal?

"Ow," responku, yang merasa sangat bingung akan berkata apa. "Ya... aku melihatmu juga di sana."

Dia kembali tersenyum lebar.

Oh Tuhan... senyuman itu sangat hangat. Langit berawan seperti tersingkap begitu saja dan menampilkan kehangatan matahari paling nyaman. Membuat seluruh kota Sexo berubah menjadi kota tropis. Aku tahu aku berlebihan. Tapi senyumannya memang terasa seperti itu. Seolah dia memberikan kehangatan yang ia miliki padaku. Seolah dia menyambutku dalam hidupannya. Seolah dia berkata, "selamat datang, Malaikatku."

Seharusnya aku yang berkata dan memberikan kata sambutan seperti itu, bukan dia.

"Dan, ya. Aku bukan berasal dari kota ini," lanjutku. Aku masih mencoba menggunakan nada anggun meskipun kata-kata yang aku ucapkan malah terdengar lucu.

Dia mengangguk. "Kau turis?" Aku melihat ekspresi yang penuh keingintahuan.

Aku agak bingung menjelaskan hal itu, bahwa aku datang ke mari karena Ayah dan perkerjaannya. Maksudku, rasanya aneh saja, ada perempuan delapan belas tahun yang masih aktif ikut ke luar kota karena pekerjaan orang tuanya. Dan mungkin memang tidak ada. Sepengetahuanku, di umur-umur sepertiku ini, biasanya mereka sibuk di perguruan tinggi atau bekerja sendiri. Bukan malah membuntuti orang tua yang memiliki pekerjaan di luar kota. Namun, ini juga bukan keinginanku atau Nathan, karena Ayah yang memboyong kami. Dia ingin kami selalu ada di dekatnya... ya, setidaknya masih dalam radius kota yang sama.

"Maaf, kalau aku lancang bertanya seperti itu," katanya. Ekspresi wajahnya menunjukkan jika dia memang seolah-olah menyesal.

Aku buru-buru berkata, "Tidak, tidak apa-apa. Aku datang ke mari karena diajak Ayah. Dia ada pekerjaan di kota ini. Dan karena aku tidak memiliki banyak kegiatan, jadi aku ikut saja. Sekalian liburan." Aku menutup kata-kataku dengan senyuman. Meskipun ada rasa malu ketika menjelaskan itu, wajahku saja terasa panas. Entahlah, aku benar-benar memikirkan bagaimana penilaiannya terhadap diriku. Bagaimana penilaiannya terhadap perempuan delapan belas tahun yang tidak memiliki banyak kegiatan? Apa itu memalukan baginya? Ataukah itu biasa saja? Atau apa?

"Memangnya apa pekerjaan ayahmu?" tanyanya.

Pertanyaan itu yang aku takutkan. Apakah jawaban yang akan aku berikan juga akan mengubah penilaiannya terhadap diriku? "Hhmmm..." Jadi aku berpikir sejenak dan memberi jeda.

Jujur atau tidak, jujur atau tidak, jujur atau tidak. Kejujuran lebih baik meskipun menyakitkan, meskipun ada yang namanya kebohongan putih. Sial. "Dia pemburu iblis malam." Akhirnya itu yang terlontar dari mulutku.

Dia kembali mengangguk-angguk. Sedangkan aku memalingkan wajah bodohku darinya, menyesali apa yang aku katakan. Lalu tiba-tiba keheningan yang aku takutkan terjadi. Dia dan aku malah menonton balap motor trail yang sama sekali tidak menarik, bagiku. Mungkin sekarang penilaiannya terhadap diriku sudah berubah. Rasa sesal mengganjal di hatiku seperti sebuah batu besar yang menghalangi aliran sungai.

Aku melihat Nathan, sepertinya dia senang sekali membuat motor trail itu terbang setelah mendaki trek yang berundak dengan kecepatan tinggi. Sesekali aku mencuri pandang ke arah cowok malaikat yang berdiri di sampingku. Dia lebih tinggi dari yang aku kira. Sepertinya sama seperti Nathan. Bedanya dia terlihat lebih ramping di balik pakaian longgarnya. Dan aromanya, aku belum pernah mencium aroma laki-laki yang sewangi ini. Biasanya laki-laki selalu memiliki aroma khas maskulin dari tubuhnya. Tapi dia... aromanya berbeda. Lebih lembut dan nyaman.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang