-I-51

25 12 9
                                    

LANGIT mulai kembali menurunkan butiran-butiran airnya, terlihat kelam dan sendu. Bunyi hujan yang membentur atap tidak membuatku tenang, beberapa kilat terlihat menyambar di balik awan. Aku berbaring mendongak menatap jendela yang berada di atas tempat tidurku. Jam sudah mendekati tengah malam, tapi aku tidak sedikitpun merasa ingin terlelap. Rasa gelisah bercampur khawatir dan sedih memenuhi rongga dadaku. Tidur adalah waktu istirahat yang membutuhkan ketenangan, dan aku sama sekali tidak tenang.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Aku melirik seseorang yang sedang melipat tangan di depan dada sambil menyandarkan bahunya di ambang pintu. Dia mengenakan setelan tidur. Hoodie merah tua, celana panjang garis-garis, dan sandal tidur. Sedangkan aku mengenakan piyama di balik selimut yang menyelimuti sampai ke leher.

"Aku tidak bisa tidur," katanya.

"Aku tidak mengantuk," kataku.

Aneh bukan? Kami masih terlihat seperti musuh bebuyutan beberapa jam yang lalu. Kemudian terjadilah sebuah kejadian yang seolah memadamkan api peperangan, atau membuatnya mengecil, atau membeku sejenak.

"Tidak mungkin kau mengantuk, ketika perasaan gelisah dan khawatir sedang mendominasi pikiran dan hatimu," tukasnya.

Aku balas menuduh, "Kau tidak akan bisa tidur di tengah-tengah keinginanmu yang menggebu, karena ingin pergi dari rumah untuk membantu proses pencarian."

Tidak ada kemarahan di wajahnya, begitu pula di wajahku. Dia malah berjalan mendekat, lalu duduk menekuk lutut di atas karpet berbulu dan bersandar ke tempat tidurku. Aku tidur bergeser mendekati dinding. "Kau ingin naik?" tanyaku.

"Tidak, sepertinya aku tidak akan lama," jawabnya, "Aku akan kembali ke kamarku. Aku hanya ingin di sini saja sebentar." Kemudian mendongak menatap langit-langit, kepalanya bersandar di selimutku.

Aku menggigit bibir bagian bawah. Tidak ada waktu yang tepat selain sekarang untuk bertanya padanya. Namun, aku merasa apa yang akan aku tanyakan ini bisa memantik lagi api pertengkaran, tapi di sisi lain aku merasa inilah saatnya.

"Nathan?"

"Apa?" Tanpa melirik ke arahku, nada suaranya tidak terdengar marah.

Oke, baiklah. "Apa ... sekarang kita berbaikan?" tanyaku, akhirnya. Kemudian menelan ludah dengan susah payah.

"Kita tidak pernah bermusuhan," katanya, terdengar enteng sekali, padahal aku berusaha mati-matian untuk tidak terlihat gugup. "Kau merasa kita bermusuhan?"

"Kau marah padaku."

"Memang," jawabnya. Kobaran api mulai terasa. "Aku marah dan sangat kesal padamu." Ada jeda beberapa detik sebelum dia melanjutkan, "Tapi aku sama sekali tidak pernah menganggapmu sebagai musuhku."

Ah...

Tapi, tunggu dulu ... ini belum selesai.

"Kau mengacuhkanku, kau bersikap kasar, seolah-olah kau tidak ingin melihat atau berada di dekatku," kataku. "Apa itu bukan tanda jika kita sedang bermusuhan?"

Dia menghembuskan napasnya. "Dengar, sepertinya kita memiliki arti kata 'permusuhan' yang berbeda. Kalau kau musuhku, aku akan berusaha menjatuhkanmu. Membunuhmu. Minimal mengajakmu berperang, atau mungkin berkelahi. Tapi yang terjadi di antara kita, hanya adu argumentasi, karena perbedaan pandangan dan pendapat."

Jika dia sedewasa kata-katanya, seharusnya permasalahan ini tidak akan berlarut-larut seperti sekarang. "Lalu kenapa kau melakukan itu? Berhari-hari kau membuatku merasa bersalah." Aku berusaha tidak mengeluarkan air mata. Mengungkapkan isi hati atau perasaan sampai menggebu-gebu biasanya selalu membuatku merasakan lonjakan emosi. "Apa semua itu karena kata-kataku yang menyinggung perasaanmu?"

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang