-I-09

82 15 9
                                    

UNTUNG saja aku terbangun sebelum matahari terbit. Nathan tidak sengaja menaruh lengan kanannya di atas tubuhku dan membuatku terbangun. Jika Bibi mengetahui kami tidur bersama, dia akan mengoceh sampai musim dingin.

Semalam aku tidur larut, dan di siang harinya aku banyak berkeliaran. Aku merasa lelah dan masih membutuhkan waktu tidur. Jadi aku putuskan untuk kembali membaringkan tubuhku di atas kasur. Aku tidak peduli lagi jika Bibi akan memarahiku nanti. Tapi setelah kejadian itu terjadi, aku menyesalinya.

Bibi datang tepat saat matahari terbit. Dia langsung mengoceh dan menyuruh kami mengemas barang-Nathan lebih dulu. Aku punya waktu untuk mengumpulkan semua pakaian dan barang yang ingin aku bawa ke dalam koper-termasuk yang baru kami beli kemarin, di saat Bibi sedang mengomeli Nathan. Dan tentu saja aku melakukannya dengan aturan yang dia buat. Lipat pakaian dengan baik, gulung pakaian dengan baik, bawa secukupnya, dan aturan-aturan lainnya yang bisa membuat kepala pecah.

Tapi Nathan kebalikannya. Dia balik marah-marah karena Bibi membangunkannya. Dia hanya mengambil pakaian secara asal lalu menumpuknya di koper yang terbuka. Tanpa dilipat ataupun digulung, dan tentu saja itu Bibi semakin naik pitam sampai membuat mulutnya berbusa karena mengoceh terlalu cepat.

"Aduh! Bisa benar sedikit tidak, sih? Kenapa kau masukkan baju-baju kotor ini? Itu juga, masukan pakaian yang baru kau beli kemarin! Lipat dengan benar bajunya! Ini masih kusut! Kau tidak dengar?! Kau ini Nathan, seperti anak kecil saja!" Sedikit dari banyaknya isi ocehan Bibi yang masih ribut di kamar Nathan.

Aku tidak memperhatikan banyak karena aku juga sangat sibuk. Tapi yang jelas, sepertinya Nathan belum benar-benar siap bangun. Dia hanya duduk di atas kasur sambil melempar-lempar barang ke dalam koper, matanya masih terpejam dan wajahnya yang setengah terlihat kesal, dia sama sekali tidak menghiraukan yang Bibi katakan.

Aku patut bersyukur karena ketika Bibi datang ke kamarku, lagi-lagi aku sudah selesai memasukkan pakaian ke dalam koper dan sedang berada di kamar mandi. Tapi Bibi tetaplah Bibi, dia pasti membuka koperku lagi dan memeriksa semuanya secara detail. Apakah aku benar melipat bajunya, apakah bajunya digulung dengan benar, apakah cara penyusunnya sudah benar, dan sebagainya.

Dia hanya mengoceh sedikit. Diantaranya, "Melipat baju itu yang benar, jangan sampai kusut. Ini lagi, kalau digulung, caranya jangan asal-asalan gitu, baju yang awalnya sudah dilipat dengan rapi jadi kembali kusut. Susunannya harus tepat. Baringkan pakaian yang besar, dan berdirikan pakaian yang kecil."

Istilah-istilah yang dia buat selalu membuat kepalaku sakit. Terlalu banyak yang harus dilakukan dan diingat setiap kali dia mengoceh. Jadi seperti biasa, aku akan setengah mendengarnya saja, dan mencoba fokus dengan apa yang aku kerjakan. Itu cukup untuk membuatku tetap waras.

Ayah tidak ada ketika kami sarapan, juga ketika salah satu bawahannya datang untuk mengantar kami menuju stasiun kereta bawah tanah. Kata Bibi dia sibuk mengurus sesuatu bersama suaminya, pamanku, Paman Carlo. Entah apa, yang jelas, katanya apa pun yang mereka kerjakan harus selesai sebelum berangkat menuju kota Sexo.

Stasiun ramai lancar seperti biasanya. Dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki tujuan yang berbeda-beda. Tiket sudah dibeli kemarin, kami langsung melewati tempat pembelian tiket, dan menemui petugas yang memeriksa tiket kami sebelum memasuki peron. Kereta baru akan datang sekitar sepuluh menit lagi. Ayah, Paman Carlo, dan Alex datang lima menit kemudian.

Kami memasuki kereta ketika petugas memperbolehkan kami masuk. Penumpang yang akan naik, harus menunggu penumpang yang akan menuruni kereta. Ayah duduk bersama Alex. Lalu dibelakang mereka ada Nathan dan aku, barulah Bibi dan Paman Carlo.

Aku agak sedikit terkejut, karena kami menggunakan gerbong kelas satu. Kursinya saja terbuat dari bahan yang nyaman dan empuk, bisa dibuat menjadi tempat tidur. Padahal biasanya kami menggunakan gerbong kelas bisnis saja. Mungkin karena Ayah ingin istirahat dengan tenang selama perjalanan. Ayah dan Paman Carlo memang langsung tertidur ketika masuk ke dalam gerbong, meskipun kereta belum berangkat. Alex tidak tidur, cowok besar berambut pirang dan bergaya undercut itu sedang memangku laptop, sepertinya sedang membuat laporan atau semacamnya. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang dia kerjakan.

Bibi, ya... dia sedang mengerjakan apa yang sering dilakukan ibu-ibu dikala senggang. Benar. Merajut.

Nathan, seperti biasanya ketika dia berada dalam kereta, mendengkur di sampingku. Headphone yang tersambung dengan ipod menggunakan kabel menyumbati kedua telinganya. Aku sampai bisa sedikit mendengar alunan lagu hip-hop dan rock yang mengalun silih berganti. Aku bertanya-tanya, bagaimana dia bisa tidur nyenyak dengan pendengaran yang penuh oleh musik semacam itu?

Aku juga ingin tidur nyenyak sepertinya ketika dalam perjalanan, tapi setiap kali aku bepergian dengan kereta, aku sulit mengantuk. Seharusnya, dengan tidak banyaknya pemandangan yang bisa dilihat selain lorong beton dengan lampu tempel berwarna lembut, aku bisa cepat mengantuk karena bosan. Tapi ini seperti kebalikannya. Sepertinya aku harus mencari lagu hip-hop dan rock yang cocok untukku sendiri agar bisa tertidur seperti Nathan.

Setelah jalur darat dinyatakan berbahaya bagi warga, pihak kerajaan membuat satu-satunya mode transformasi aman yang bisa digunakan siang maupun malam. Kereta bawah tanah. Jalur kereta dibuat melingkar mengelilingi delapan kota besar penyangga kerajaan Wesfiw searah jarum jam. Ada sekitar 28 kereta dan stasiun, yang beroperasi berbarengan. Jarak antar stasiun dibuat sama, yang bisa ditempuh selama satu jam. Jadi, selalu ada kereta yang berangkat setiap jam dari setiap stasiun.

Lama-lama, menatap lorong di luar jendela kereta membuatku semakin bosan. Tak terhitung berapa kali aku menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan keras. Aku juga tidak ingin terlihat terjaga. Bibi bisa menyuruhku merajut sepertinya. Dia akan berkata, "Seorang perempuan harus bisa membuat waktunya tetap padat. Jangan biarkan ada waktu luang yang habis oleh lamunan. Kerjakanlah sesuatu. Contohlah merajut. Kau tidak tahu apa yang bisa kau buat."

Dan aku ingin berkata, "Terserah! Aku senang tidak melakukan sesuatu dan berandai-andai menjadi seorang pemburu iblis malam handal, yang tidak bisa aku lakukan."

Tapi seperti yang selalu aku katakan, aku tidak seberani itu untuk mengungkapkannya.

Alex, yang duduk di depanku beranjak dari tempat duduknya. Matanya yang sebiru lautan terhalang kacamata ketika melirikku. Aku tidak sadar jika dia sempat memakai kacamata. Kalau tidak salah, dia hanya setahun lebih tua dari Gio.

Dia melirik ke arah belakang. Dilihat dari gelagatnya, sepertinya dia sedang memeriksa kami. Seolah memastikan sesuatu yang tidak kumengerti.

"Kau tidak tidur?" tanyanya, ketika menyadariku sedang memperhatikannya. Sambil melepaskan kacamata, yang sejak tadi membuatnya terlihat cerdas ketimbang terlihat seperti kutu buku.

Aku meletakkan jari telunjukku di bibir. Menyuruhnya diam. Jika Bibi tahu aku tidak tertidur, bisa gawat. Aku juga ingin tidur, tapi tidak bisa.

Dia mengerutkan keningnya. "Mau aku bawakan sesuatu?" tanyanya, sekarang dia berbisik. "Aku mau pergi ke gerbong makanan."

Mungkin mengunyah permen karet atau kacang almond panggang bisa mengusir kebosananku. "Aku ikut saja."

"Ow, tentu," katanya. Sepertinya dia tidak menduga jika aku memilih ikut bersamanya.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang