-I-47

28 11 15
                                    

AKU tidak mungkin tidak mengenalinya, postur tubuhnya, apa yang dia kenakan, cara dia berdiri, wajahnya yang garang, mata kecilnya yang gelap--sekarang terlihat berkilat-kilat. Dan aku menyadari sesuatu, jaketnya itu. Tadi, ketika aku melihat seseorang di halaman rumah Immanuel, aku yakin orang itu mengenakan jaket yang sama seperti yang sedang dikenakan Nathan. Bagaimana mana mungkin aku tidak menyadarinya?

"Apa itu Nathan?" tanya Immanuel, setelah mobilnya benar-benar berhenti, memastikan apa yang dia lihat benar.

"Sebaiknya kau tidak usah mengantarku sampai depan pintu rumah, deh," usulku, sambil mencoba melepaskan sabuk pengaman, yang tiba-tiba rasanya sulit untuk dilepaskan.

"Kenapa?" tanyanya, dengan dahi yang mengernyit, pandangannya sekilas terarah padaku.

Banyak pilihan alasan yang bermunculan di otakku untuk menjawab pertanyaannya, tapi tidak banyak alasan yang bisa aku pilih, karena semua alasan itu bersifat jujur. "Nathan masih marah padaku." Akhirnya hanya alasan "jujur" itu yang bisa aku pilih.

"Ya, aku bisa melihat dari ekspresi wajahnya," kata Immanuel, dia sedang memandangi Nathan yang tersorot cahaya mobil. Aku menghargai ketenangannya, tapi jika dia turun, aku tidak yakin Nathan bisa mengontrol dirinya. "Tapi seharusnya tidak masalah, Nathan kan tidak sedang marah padaku?"

Sial!

Aku menggigit bibir bagian bawah. Sulit menjelaskannya. "Hhhmmm ..." Aku masih belum bisa melepaskan sabuk pengaman. "Hanya berjaga-jaga, aku takut kau jadi sasaran empuk bagi kemarahannya, Nathan kadang tidak bisa mengontrol emosi."

"Itu alasan lain kenapa aku harus ikut turun."

Haduh apalagi yang harus aku katakan? Dan kata-kata yang keluar malah, "Bisa kau tolong lepaskan sabuk pengamannya?"

"Tentu," katanya.

"Terima kasih."

Dia mendekat sampai aku bisa mencium aroma tubuhnya, yang begitu wanginya begitu khas sampai membuat dadaku ketar-ketir--aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk merona, tapi mau bagaimana lagi, dia begitu menggoda bagiku. Hanya dengan menekan satu tombol, sabuk pengaman langsung terlepas. Grogi dan rasa takut berlebihan membuatku bodoh. "Beres," katanya, sambil tersenyum dan bersiap turun lebih dulu.

Aku segera menghentikannya. "Immanuel tunggu."

Dia menghentikan gerakannya dan langsung melirikku, menunggu apa yang ingin aku katakan.

"Tolonglah. Kau tidak perlu turun. Aku tidak mau kau terkena amukan Nathan. Sudah cukup dengan sikapnya yang kurang baik padamu."

"Nathalia, aku tidak apa-apa. Menjadi teman, berarti menerima apapun resikonya, kan? Termasuk menerima saudara kembar temanmu yang garang?"

Oke kata-katanya manis, tapi mengiris hatiku. "Kau mungkin merasa tidak apa-apa, tapi aku yang merasa tidak nyaman. Kata-katanya terkadang bisa lebih tajam dan menyakitkan dari sayatan pisau."

Dia malah mengangkat bahu. "Mungkin ini bisa menjadi pengalaman yang baru, karena terkena amukan, amarah, caci maki, atau umpatan dari orang lain. Selama ini orang-orang selalu bersikap manis padaku. Aku hanya ingin merasakan hal yang berbeda. Pahit manis kehidupan."

Aku akan mengatakan jika dia orang paling aneh yang pernah aku temui. Namun, aku juga tidak bisa menyalahkannya. Mungkin karena dia hanya ingin merasakan hal itu, karena dia merasa seperti orang yang terkurung di dalam dunia yang tidak memiliki hal negatif. Semuanya manis, menyenangkan, dan sempurna. Dan ketika dia mendapatkan hal negatif dari orang lain, dia malah merasa itu pengalaman yang baru dan seharusnya dia hadapi. Itu yang membuatku aneh. Terkadang amarah orang lain adalah hal yang orang-orang hindari, bukan hadapi.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang