-I-52

28 12 4
                                    

"NATHALIA!! bangun!! Pukul berapa ini?!" Suara Bibi terdengar sangat keras, seolah dia menggunakan pengeras suara standar pagelaran konser musik di stadion.

Aku langsung terlonjak kaget dan buru-buru ke kamar mandi. Aku tidak ingat pukul berapa aku tidur, sepertinya sudah lewat tengah malam. Karena ketika Nathan pergi dari kamarku semalam, aku tidak langsung tertidur. Aku memandangi dulu hujan selama beberapa jam. Lalu aku tidak ingat lagi apa-apa.

"Haduh ..." desah Bibi. "Bibi kira kau tidak akan lagi bangun terlambat setelah beberapa kali tidak terlambat bangun. Tapi ternyata kebiasaan itu sudah terlalu mendarah daging. Kau sama saja seperti Nathan. Bahkan sekarang dia tidak mau pergi dari tempat tidur. Bibi tidak tahu harus bagaimana lagi melakukannya. Tapi tidak mungkin juga Bibi menyerah. Ayah kalian mengandalkan Bibi ...."

Ocehan Bibi tenggelam oleh suara keran air yang kunyalakan. Aku tahu ini kebiasaan buruk, tapi sekarang aku sedang tidak ingin mendengar semua kata-kata itu. Setelah aku selesai menggosok gigi, barulah terdengar teriakan, "Nathalia! Nanti setelah selesai mandi, kau langsung bereskan kamarmu dan pergi ke bawah, mengerti?!"

"Iya!" balasku, dari dalam kamar mandi.

Seharusnya aku tidak merasa terganggu dengan apa yang dilakukan Bibi, toh dia juga berusaha melakukan yang terbaik untuk kami--menjadi orang tua. Kemarin dia begitu terpukul dengan kabar menghilangnya Alex. Aku jadi berpikir, apa yang akan terjadi padanya jika salah satu dari kami yang menghilangkan?

Aku buru-buru mengenyahkan pikiran buruk itu dan langsung keluar dari kamar mandi. Berganti pakaian, membereskan kamar, kemudian keluar untuk menyambut rutinitas yang membosankan.

Sebelum turun ke lantai bawah, aku melongok melihat ke kamar Nathan. Dia masih mendengkur. Sebagian besar tubuhnya tertutup selimut, tapi satu tangannya keluar, menjuntai ke sisi tempat tidur. Aku bersyukur dia tidak nekat berusaha kabur, Bibi bisa benar-benar panik jika itu terjadi.

Aku menemukan Bibi sedang mencuci piring di dapur. Dilihat dari suasana rumah, sepertinya Ayah, Paman Carlo, dan ... hanya mereka ... aku lupa Alex menghilang. Aku mengembuskan napas berat, kembali teringat tentangnya langsung menambah rasa lesu dalam diriku, lalu aku menghampiri Bibi di dapur. Sebuah pertanyaan keluar begitu saja dari bibirku, "Belum ada kabar dari Paman atau Ayah tentang perkembangan kasus Alex?"

Bibi langsung menghentikan apa yang sedang dia kerjakan. Pertanyaanku seolah membuat waktunya berhenti sejenak. Dia mematung sebelum akhirnya mendongak sambil menarik napas dalam-dalam, terlihat berusaha keras menatap air mata yang seolah bisa tumpah begitu saja dari matanya. Aku baru sadar dan menyesali apa yang sudah aku tanyakan. Kemudian dia mengembuskan napasnya dengan berat. "Belum." Sambil melirikku sekilas dan menggelengkan kepala, kemudian dia kembali sibuk dengan kegiatannya menggosok pantat piring dan wajan.

"Aku minta maaf," kataku, sambil memeluk Bibi dari samping. "Aku tidak bermaksud membuat Bibi sedih lagi." Aku mengerti Bibi sedang bersembunyi dari perasaannya yang tidak karuan, dengan mengerjakan rutinitas dan sikapnya yang rewel terhadap perilaku Nathan dan aku.

"Oh, Sayang." Bibi menyandarkan kepalanya ke kepalaku. Suaranya terdengar lirih dan rapuh.

"Sekarang kita sarapan apa?" tanyaku, berusaha mengalihkan perhatiannya. Beberapa orang memang lebih suka mengalihkan perasaan ketimbang menerimanya, dan aku tidak bisa memaksa Bibi untuk menerima kesedihan itu, lagi pula aku juga masih merasa sedih. Tapi tidak banyak yang bisa aku lakukan. Sebenarnya ada, aku mungkin bisa berguna sebagai navigator untuk mempermudah pencarian mereka, tapi Ayah pasti melarangku. Ditambah dengan kejadian waktu itu, saat aku menembus batas kemampuanku, menyebabkan efek samping yang membuatnya bertambah khawatir. Bahkan Nathan juga mungkin bisa berguna sebagai tenaga tambahan, tapi Ayah menolaknya.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang