-I-44

19 11 12
                                    

KULIT putih, rambut pirang keemasan disisir rapi bergaya belah pinggir, matanya sebiru mata Immanuel. Dari penampilannya, usianya tidak akan lebih dari 35 tahun. Terasa aneh saja. Mereka tidak terlihat seperti orang tua dan anak. Mereka terlihat seperti adik dan kakak. Senyuman merekah dari bibirnya pas--tidak tebal maupun tipis, seolah menyambut kedatangan kami. Semua wanita pasti akan meleleh. Dia seperti bidadara yang disiapkan untuk setiap perawan yang masuk ke surga. Laki-laki yang memiliki kematangan pas. Semuanya pas.

Dia melirik istrinya, seolah bertanya, "ini yang namanya Nathalia?" dengan raut wajah antusias, jika aku tidak salah mengartikan.

"Nathalia, perkenalkan, ini ayahnya El dan Ella. Louis De Marishka," kata ibunya Immanuel. Namanya seolah bukan datang dari benua ini, terdengar asing. Jika dia sedang berakting seolah-olah sedang antusias, itu sangat bagus, dia akan mendapatkan penghargaan aktor terbaik dalam ajang penghargaan film. Ekspresinya terlihat jujur. Meskipun aku merasa... ragu. Aneh saja, aku sebegitunya disambut dan ditunggu-tunggu oleh mereka, sampai membuat wajah-wajah rupawan itu begitu senang dengan kehadiranku.

Pria yang diperkenalkannya membungkuk dan tersenyum lebar ke arahku. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."

Ada jeda sebelum aku membalas senyumannya dan mengangguk. Untung saja Immanuel masih memegang tanganku, membuatku setengah sadar di tengah-tengah bayangan aneh yang terjadi di otakku. Ayahnya benar-benar membuatku terpesona.

"Maaf, saya tidak bisa ikut makan malam bersamamu. Ada pasien yang harus segera saya tangani," katanya, sambil menurunkan kemeja putih lengan panjangnya dari sikut. "Tapi saya sudah membuatkanmu makanan sederhana ini. Semoga kau menyukainya." Dia menutup kata-katanya dengan senyuman.

Aku pikir Immanuel diajari olehnya untuk membuat setiap perempuan tergila-gila hanya dengan kata-kata, atau senyuman. Karena aku merasa tergila-gila sekarang. Tapi jangan salah sangka dulu. Aku hanya terpesona, oke. Tidak lebih. Aku balas tersenyum. "Maaf karena sudah merepotkan." Aku hampir menggigit lidahku karena grogi. Aku sangat bersyukur karena kata-kata yang keluar dari mulutku tidak kurang satu huruf pun.

"Tidak. Sungguh. Saya memang ingin memasak makanan untuk orang yang..." Kata-katanya terhenti, matanya sedikit melirik Immanuel. "Maksud saya, untukmu."

Ibunya Immanuel mengangkat alis. Lalu dia berkata, "Sayang, sepertinya kau akan terlambat."

"Oh, iya," kata suaminya, seperti baru teringat jika dia sebenarnya akan pergi. Dia sudah selesai merapikan bagian lengan dari kemejanya. "Ayah berangkat dulu. Oh iya, Ayah akan menggunakan mobil ibu. Kau bisa menggunakan mobil Ayah untuk mengantar Nathalia pulang, nanti." Sambil menatap Immanuel.

Immanuel mengangguk. "Oke."

"Aku akan membawakan perlengkapanmu," kata ibunya Immanuel. Dia berjalan mengitari meja makan lalu pergi dari ruang makan.

"Ayah berangkat dulu," katanya, pada Ella, sambil mengecup puncak kepalanya.

"Hati-hati," balas Ella, tersenyum.

Lalu ayahnya beralih kepada Immanuel dan mengusap rambutnya. Jika mereka berdiri dekat seperti itu, mereka seperti anak kembar-tidak begitu sama persis mengingat warna rambut dan postur mereka berbeda. Hanya saja, aku bisa melihat kemiripan itu. Kemudian dia tersenyum ke arahku. Aku balas tersenyum. Dia pun berjalan pergi dari ruang makan, mengikuti istrinya.

Immanuel mengajakku duduk, aku pun mengikutinya. Dia duduk di samping Ella, lalu aku duduk di sisi lain Immanuel. Mataku melihat ada dua menu makanan yang tersaji di meja makan. Dua-duanya berada dalam sebuah loyang sedang, cukup untuk dimakan enam orang. Yang satu berada di dalam loyang rendah berbentuk oval dengan telinga di kedua ujungnya. Dan yang satunya berada di dalam loyang persegi tanpa telinga pegangan. Aromanya wangi, seolah aku bisa merasakan kelezatan masakan itu hanya dengan menciumnya. Jika aku tidak salah, kedua masakan itu berasal dari salah satu wilayah di kekaisaran Empiria. Aku pernah melihat beberapa restoran menyajikan makanan serupa di kota Quatur, tapi aku tidak pernah mencobanya.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang