-I-03

133 18 8
                                    

MOTOR memasuki gerbang kota bagian dalam. Berbeda dari cincin luar kota, cincin bagian dalam yang langsung membentengi kota, lebih tinggi sepuluh meter.Jalanan kota tidak ramai. Hanya ada satu dua kendaraan saja yang terlihat masih berkendara. Orang-orang kota Quatur, bahkan hampir semua orang di delapan kota yang menyangga kerajaan Wesfiw, tidak akan berada di luar rumah setelah matahari tenggelam jika bukan urusan penting. Pihak kerajaan yang memberikan peraturan itu, untuk menjaga keamanan warga dari ancaman iblis malam.

Udara memang semakin mendingin. Aku memakai jaket Nathan yang masih menyimpan kehangatan dari tubuhnya. Jaket ini tidak terasa seperti baru saja dikenakan oleh seseorang, lebih seperti memakai jaket yang baru saja dijemur di bawah sinar matahari atau baru saja terkena panas dari setrika. Sehangat itu tubuhnya, sampai-sampai dia tidak perlu mengenakan jaket di suhu seperti ini. Dia bertahan hanya dengan kaus hitam lengan pendek yang membentuk tubuhnya. Tanpa menggertakkan gigi atau menunjukkan tanda-tanda jika dia kedinginan.

Hampir sembilan puluh persen laki-laki dalam keluargaku memiliki suhu tubuh yang ekstrim. Kami bahkan punya dokter khusus. Bila para laki-laki di keluargaku datang ke dokter kerajaan, mereka bisa panik karena suhu tubuh yang bisa mencapai 40-45 derajat celsius. Manusia biasa bisa mati jika memilih suhu tubuh seperti itu. Salah satu kemampuan unik keluargaku.

"Kau tidak tidur, kan?" tanyanya.

"Tidak," kataku.

Lalu kembali hening. Yang terdengar hanya deru mesin motor membelah jalanan kota yang dipenuhi berbagai macam kabel.

Kami sampai di rumah sebelas menit kemudian. Pak Tua yang Nathan maksud sudah menunggu di depan rumah dengan wajah marah. Ketika Nathan memarkir motor di depan garasi dan mematikan mesinnya, pria itu sudah menghampiri kami.

Dia langsung memelukku. "Ayah senang kau tidak apa-apa."

Aku mendesah. "Ayah, aku sudah delapan belas tahun. Seharusnya Ayah tidak lagi memperlakukan aku seperti anak delapan tahun. Dan seharusnya aku sudah boleh memilih apa pun yang ingin aku lakukan, seperti Nathan."

"Nona Muda, kau baru saja melanggar aturan. Jangan sampai Ayah menghukummu hanya boleh datang ke bukit pasir luar cincin dua hari sekali." Dia sudah melepaskan pelukannya dan menatapku dengan tajam, lalu dia beralih menatap Nathan. "Dan kau, Tuan Muda. Kau seharusnya membawa kakakmu pulang tepat waktu."

Nathan melipat kedua tangan dan memutar matanya dengan malas. "Nona Muda Ayah itu keras kepala. Aku sudah melakukan tugasku. Aku tidak membuatnya tergores dan kedinginan. Dia sendiri yang sulit diajak pulang." Sambil melangkah panjang memasuki rumah.

"Tuan Muda, Ayah belum selesai berbicara! Hei!" Ayah mulai berteriak-teriak memanggil Nathan yang tidak menghiraukannya.

"Ayah, sudahlah. Jangan berteriak-teriak. Jangan sampai tetangga menontoni kita. Malu," kataku, memperingatkannya.

Ayah mengembuskan napas. "Dia sangat sulit diatur." Dia lalu menatapku. "Kau juga sama." Sekarang dia terlihat seperti orang tua yang khawatir. "Ayo, kita makan malam," ajaknya, menggiringku masuk.

Seharusnya aku tidak perlu risi dengan perilaku ayah. Beberapa anak perempuan mungkin iri padaku, karena tidak memiliki hubungan ayah-dan-putrinya seperti kami. Entahlah karena mereka sudah tidak memiliki ayah atau karena hubungan mereka tidak harmonis. Aku patut bersyukur.

Sesampainya di ruang makan, Nathan sudah lebih dulu menyantap hidangannya. Ayah memelototinya.

"Apa?" tanya Nathan. "Aku lapar." Dengan mulut penuh dengan daging steak sintetis-terbuat dari jamur, belalang, jangkrik, dan ulat pohon. Proteinnya dua kali lipat daging ayam.

Pihak kerajaan mulai membuat varian makanan itu setelah hewan mamalia besar mulai digigit iblis malam, dan berubah menjadi salah satu dari mereka. Harga daging melonjak naik, karena waktu pembudidayaan dan perawatannya cukup memakan waktu juga biaya. Sedangkan budidaya serangga lebih murah dan cepat dipanen. Ditambah kandungan nutrisi yang tinggi dan rendah lemak. Pihak kerajaan menjadikannya solusi. Mereka tinggal memikirkan bagaimana caranya agar masyarakat mau membeli dan mengonsumsinya. Jadi mereka menjadikannya daging steak sintetis, ada juga yang dibuat menjadi sosis dan nugget. Dan itu cukup berhasil.

"Setidaknya kau menunggu Ayah dan saudarimu duduk di meja," kata Ayah, dengan penuh penekanan.

Nathan menjatuhkan garpu dan pisau makannya, lalu menatap meja dengan tatapan malas. Mulutnya masih mengunyah.

Ayah duduk di kursi yang ada di ujung meja, dan aku duduk di sampingnya, tepat di hadapan Nathan. Aku membuka jaket Nathan dan menyimpannya di sandaran kursi. Nathan langsung kembali memotong steak sintetis tepat ketika kami berdua duduk.

Aku dan Ayah mulai ikut makan. Menurutku, rasanya tidak terlalu berbeda dari daging sapi. Tapi aku sedang tidak berselera makan-sebenarnya aku memang selalu tidak berselera makan, tak heran tubuhku tidak sebesar Nathan atau pun Ayah. Jadi aku memotongnya menjadi dua dan memberikannya pada Nathan. Nathan tidak membantah dan langsung saja memakan makanan yang aku berikan. Nafsu makannya luar biasa. Kadang dia juga meminta tambah.

Tidak butuh waktu lama, Nathan sudah selesai menyantap semua makanannya dan bersendawa. Aku merasa curiga dengan apa yang dia lakukan, kenapa dia harus terburu-buru? Aku pikir dia tidak selapar itu. Wajahnya tidak terlihat kelaparan ketika sampai beberapa saat lalu. Tapi akhirnya aku menyadari apa yang sedang dia lakukan, jadi aku pun buru-buru menghabiskan makan malamku.

Dia beranjak. Dan seperti biasa ketika akan pergi tidur, dia mencium pipi Ayah sambil berkata, "Malam, Ayah."

"Malam, Tuan Muda."

Lalu dia mendekatiku, mengambil jaketnya dan mencium puncak kepalaku. "Malam, Nat."

"Malam Nathan," balasku. Masih sibuk, berusaha menghabiskan makan malam secepat mungkin.

Nathan langsung naik ke lantai dua. Aku baru bisa menyusulnya sepuluh menit kemudian. Berbarengan dengan Ayah, yang juga baru selesai menghabiskan makan malamnya. Aku buru-buru menenggak habis air minumku, membereskan semua alat makan, membawanya ke dapur dan mulai mencucinya-jika tidak bibiku akan marah mengamuk besok pagi. Barulah setelah itu, aku mendekati Ayah yang masih duduk di meja makan. Mencium pipinya dan mengucapkan, "Selamat malah, Ayah."

"Selamat malam, Nona Muda," katanya, seraya mengusap pipiku. "Ayah mencintaimu."

Seolah-olah kasih sayang Ayah berbeda antara aku dan Nathan. Mungkin orang lain tidak akan terlalu melihat perbedaannya. Tapi aku bisa melihat dengan jelas. Tentu saja Nathan juga menyadarinya dengan jelas, dia selalu menyelipkan kata-kata yang seolah bermaksud demikian ketika berbicara. Dari kata-kata Ayah, tatapannya, bahkan perilakunya. Sangat kental, bahwa Ayah sedikit lebih menyayangiku ketimbang Nathan. Atau mungkin, karena Ayah dan Nathan sering bertengkar. Atau mungkin, karena aku anak perempuannya. Pertanyaan itu tidak akan pernah selesai.

"Aku juga mencintai Ayah," balasku. Sambil berlari menaiki tangga menuju lantai dua.

Tepat ketika kakiku menginjak lantai dua, telepon berdering. Aku melewati kamar Nathan yang sudah sangat hening-biasanya terdengar musik EDM, rock, atau rap, dan buru-buru masuk sambil menutup pintu kamarku.

Aku menghitung mundur dari enam puluh sampai satu. Dan ketika sampai di satu, teriakan terdengar. "Nona Muda! Tuan Muda! Cepat ke mari dan jelaskan semuanya kepada Ayah!!"

Aku tahu kenapa kamar Nathan sepi. Karena dia sedang menutup kepalanya dengan bantal sambil mengenakan headphone.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang