-I-33

33 11 7
                                    

JIKA aku bisa menghentikan waktu sejenak, sekarang pasti aku sedang berjalan ke sana ke mari, memikirkan jawaban yang mana yang seharusnya aku katakan. Aku pikir, setiap kali ada seseorang yang akan berteman dengan lawan jenis, pasti pertanyaan ini selalu keluar. Entah karena ada maksud terselubung, atau agar kenyamanan kedua belah pihak. Tapi rasanya aneh saja. Karena menurutku, ketika seseorang menanyakan itu, artinya orang tersebut seolah-olah ingin mendekati dalam artian sebuah hubungan--yang tentu saja bukan sekedar pertemanan.

Immanuel masih menatapku dari balik kacamatanya. Menunggu sebuah jawaban dari pertanyaan yang tidak ingin kudengar. Aku ingin menjalani saja hubungan ini. Jika memang dia menginginkan pertemanan, seharusnya tidak jadi masalah jika pada akhirnya aku mengatakan jika aku memiliki seseorang. Mungkin ini karena aku sudah mendapatkan jawaban yang aku inginkan darinya, bahwa dia belum pernah memiliki pacar. Aku sudah cukup senang dengan fakta itu, dan tak ingin mendengarnya mempertahankan hal serupa padaku, karena jawabanku rumit.

"Belum," kataku, akhirnya. Lalu memejamkan mata beberapa saat. Gambaran wajah kecewa dari Gio terlintas begitu saja. Lalu aku membuka mata dan mendapatinya sedang tersenyum senang, hangat dan nyaman untuk dilihat.

"Artinya aku tidak perlu meminta izin kepada seseorang jika ingin menjalin pertemanan denganmu, dan aku juga tidak perlu membuat seseorang salah paham tentang hubungan kita. Maksudku, orang-orang pasti mempertanyakan hubungan cewek dan cowok, yang berjalan atau menghabiskan waktu bersama."

Aku hanya mengangguk-angguk merespons kata-katanya. Bayang-bayang wajah kecewa Gio masih menghiasi pikiranku.

"Dan aku tidak masalah dianggap sebagai pacarmu," katanya, begitu saja, sangat ringan dan mudah.

Aku langsung meliriknya dengan wajah super bodoh. "Apa?"

"Maksudku... ya, aku tidak masalah jika ada seseorang yang menganggap aku pacarmu. Kau tidak masalah juga, kan? Itu tidak memalukan, kan? Maksudku, kau tidak malu kan, jika orang-orang menganggap aku pacarmu?"

Tuh, kan, dia terlalu santai menghadapi pembicaraan semacam ini yang menurutku berarti sangat dalam. Dia sama sekali tidak terlihat gugup atau jengah ketika mengatakan hal semacam itu. Yang benar saja, aku malu karena berpacaran dengan seseorang dengan tampang malaikat sepertinya? Aku pikir yang pantas malu adalah dirinya, berpacaran dengan seseorang yang tidak menarik sepertiku.

"Tidak, tidak, kenapa aku harus malu?" tanyaku. "Yang seharusnya malu itu dirimu, karena disandingkan denganku. Yang sangat tidak pantas." Seperti biasanya, aku mengungkapkan apa yang terlihat dalam benak.

Dia malah tersenyum. "Nathalia, kau terlalu merendah."

"Aku tidak merendah."

Dia tertawa kecil seolah responsku adalah sebuah lawakan. "Kau menganggap dirimu sendiri tidak pantas bersanding denganku, karena apa? Kutebak karena belum pernah ada cowok yang mendekatimu atau mengajakmu berteman sebelumnya, kan?"

Aku berpikir sejenak. Yep, memang tidak ada. "Aku bahkan tidak pernah melihat cowok-cowok keren melirikku ketika sekolah."

"Kau ingin dilirik cowok keren?" tanyanya.

Ah, pertanyaannya selalu membuatku kikuk. "Maksudku, mereka pusat alam semesta bagi para perempuan, kan?" Aku setengah tertawa ketika mengatakan itu, dan untungnya, dia juga ikut tertawa seolah mengerti apa maksudku. "Dan ketika mereka melirik seorang perempuan, itu artinya perempuan itu menarik bagi mereka, kan? Sedangkan aku, aku belum pernah melihat mereka melirikku."

Sekarang Immanuel mengangguk-angguk, meskipun masih ada sisa tawa di bibirnya. "Mungkin mereka melirikmu saat kau sedang tidak meliriknya. Cowok mungkin akan sangat malu, ketika ia kepergok oleh seseorang yang sedang ia pandangi."

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang