"MAAF, kamarku agak berantakan," jelasnya, terdengar sedikit nada malu dalam suaranya yang lembut. Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil menatapnya dengan tatapan mata tidak percaya. Dia menyadari keanehan dalam ekspresi wajahku, ketika aku berjalan memasuki ruangan yang... memiliki aroma yang sangat kuat. "Apa?" tanyanya, bibirnya setengah tersenyum.
"Tidak ada," jawabku, ikut setengah tersenyum. "Kau sebut ini berantakan?" Seraya menatap ke sana ke mari.
Dia mengangguk. "Apa lebih parah dari yang kau pikirkan?"
Aku berjalan lebih dalam dan menghirup aroma yang membuatku kalang kabut lebih kuat-tentu saja kutahan mati-matian. Aroma ini melukiskan berbagai macam jenis... rasa. Sebuah candu yang lebih mematikan dari gejolak endorfin berlebih. Andai dia tahu jika yang aku pikirkan bukan soal rapi atau berantakan kamarnya. Aku malah memikirkan hal lain. Dan lagi, tidak ada sesuatu yang bisa disebut berantakan di kamarnya, kecuali seprei biru tua yang terlihat kusut. Memang ada banyak rak buku di kamarnya, tapi buku-buku itu masih terlihat rapi menurutku. Tumpukan kertas di meja belajarnya, terlihat biasa saja bagi seseorang yang memang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, khususnya kedokteran. Tempat duduk nyaman di sudut ruangan yang cocok untuk digunakan sebagai area membaca, dengan lampu baca yang melengkung, ada beberapa pakaian dan selimut di sana.
Dia mengikuti arah tatapan mataku. "Padahal tadi aku berusaha beres-beres, tapi tetap saja ada yang terlewat." Merujuk ke pakaian dan selimut yang tersampir di sandaran kursi.
"Ini bahkan tidak bisa disebut berantakan," kataku. Tentu saja, kamar Nathan lebih buruk lagi. Bahkan aku, yang belajar beres-beres rumah setiap hari, kadang lupa membersihkan kamar sendiri.
"Tapi aku disebut orang paling berantakan di rumah. Khusus Ella, dia yang paling sering mengkritikku."
Aku hanya mengangguk-angguk. Jika kau tinggal dengan seorang maniak kerapihan-seperti Bibi, kamar Immanuel pasti termasuk berantakan baginya. "Mungkin mereka hanya memiliki definisi kerapihan yang berbeda denganmu."
"Ya, mungkin," balasnya.
Aku berjalan memutari tempat tidurnya, lalu mataku menemukan bingkai yang berisi beberapa foto di dalamnya. Termasuk fotoku-salah satu yang dia minta, kemarin. Aku menatap fotoku dan meliriknya bergantian, sambil tersenyum dan mengerutkan bibir. Pasalnya, hanya fotoku saja yang objeknya manusia. Foto-foto lainnya hanya berupa foto pemandangan, bunga, rerumputan, pohon, awan, dan beberapa objek lainnya. "Kenapa kau simpan fotoku di tengah-tengah foto seperti ini?"
"Memangnya tidak boleh?" tanyanya, dengan senyuman, tapi acuh tak acuh.
Dia suka sekali balik bertanya ketika aku bertanya padanya. "Aku hanya bertanya." Aku melirik ke luar jendela, menatap hujan.
"Aku tidak tahu mau menyimpannya di mana lagi, fotomu yang lain ada di saku belakang celanaku," katanya. "Dan..."
"Dan...?"
"Kau terlihat lebih indah dari objek mana pun yang ada di sana." Tatapan matanya hangat dan intens.
Jantungku berdetak tidak karuan dan aku merasa kepanasan. Aku harus mengalihkan perhatian. Aku tidak ingin merasa sesak. Jadi aku bertanya, "Tunggu. Kenapa kau simpan fotoku di saku belakang celanamu?" Sejurus kemudian, aku pikir menanyakan hal itu padanya hanyalah membuang-buang waktu, dia hanya akan menjawab hal yang sama manisnya seperti sebelumnya. Aku berharap gula berlebih ini berakhir, tapi aku sendiri yang menambahkannya.
"Aku ingin selalu membawamu ke mana pun aku pergi."
Aku langsung menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sudah kuduga. Maksudku, sepertinya dia masih belum mengerti apa yang dia katakan bisa membuat seorang perempuan meleleh, terutama perempuan itu adalah diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berawan #1
Vampire[VAMPIR] [Tamat] [13+] "Aku mencintai salah satu jenis dari mereka yang disebut vampir. Makhluk rupawan yang memiliki bentuk tubuh seperti malaikat untuk menarik mangsanya. Aku mencintai seseorang yang seharusnya tidak aku cintai. Karena harga yang...