-I-53

28 11 11
                                    

HARI semakin siang. Belum ada kabar dari Ayah dan Paman Carlo. Aku juga memilih meninggalkan Nathan di kamarnya, semakin lama aku berada di sana, semakin tensi darahku naik. Dia terus saja membahas hubungan vampir dan Immanuel, atau lebih tepatnya menuduh Immanuel adalah vampir. Bisakah dia sedikit saja, menerima fakta-fakta yang aku temukan dari keluarga mereka? Bahwa mereka hanyalah keluarga bahagia biasa yang tinggal di pusat kota--sebenarnya di tengah-tengah hutan kota. Tidak ada yang aneh ketika aku berkunjung. Mereka makan, minum, mengenang sesuatu di masa lalu, resep turun temurun, kesukaan dan hobi yang menurun dari orang tua. Rasanya terlalu sulit untuk mengatakan bahwa mereka berbohong atau akting. Rasanya tidak benar saja.

Aku hanya duduk saja di lantai dua, memandang ke arah luar, menatap segitiga pepohonan pinus yang diterpa embun hujan. Melamunkan apa pun yang terlintas dipikiran.

Apa yang sedang dilakukan Immanuel sekarang? Apa dia menungguku di tangga perpustakaan? Atau duduk di salah satu kursi yang ada di sekitar air mancur? Atau membaca di dalam perpustakaan sambil melirik ke sana ke mari, berharap aku datang?

Apa yang sedang Gio lakukan sekarang? Apa dia sedang sibuk membunuh iblis malam di siang bolong? Atau sedang menyelidiki kasus di sana? Menyusuri padang pasir dan sabana untuk menemukan petunjuk? Apakah dia mengingatku di sela-sela kegiatannya? Bertanya-tanya juga tentang apa yang sedang aku lakukan? Bertanya-tanya apakah aku juga sedang memikirkan atau mengingatnya?

Apa yang terjadi kepada Alex sekarang? Apa dia selamat? Hanya dikurung saja oleh makhluk aneh itu bersama anggota pemburu iblis malam yang lain? Atau makhluk aneh itu mengoyak isi perutnya sampai habis? Menghisap darahnya sampai kering?

Aku ingin mengenyahkan saja semua pikiran negatif itu. Sampai Bibi akhirnya memanggilku dari lantai bawah, "Nathalia!"

"Iya?!" balasku.

"Ada telepon dari Gio!" lanjutnya.

Gio?

Apa dia mendengar suara pikiranku dan langsung menelpon?

Aku berlari kecil ke lantai bawah. Bibi yang sedang membersihkan debu di permukaan kursi berkata, "Kedengarannya dia sangat senang." Sambil tersenyum.

Aku balas tersenyum sebelum memasuki dapur.

Mataku menemukan gagang telepon kuning pucat yang terbaring di atas pesawat telepon yang tertempel di dinding. Rasanya sudah seperti seabad aku tidak menggunakannya untuk menelepon Gio. Aku duduk di kursi yang ada di sana, mengambil gagang telepon, dan mulai berbicara, "Halo?" sapaku.

"Nathalia?" tanyanya, nada suaranya seolah dia sedang tertawa ketika mengatakan itu.

"Apa yang lucu?" tanyaku, ikut menyunggingkan senyuman.

"Anak-anak kantor, mereka berebut manisan bunga khas kota Sexo yang kau berikan untukku." Lalu dia tertawa lagi. Aku memejamkan mata, membayangkan keceriaan menghiasi wajahnya yang tegas dan terlihat dewasa. Rasanya seperti aku melihat mentari pagi yang baru terbit di ufuk barat.

"Kau memberi mereka?" tanyaku.

"Ya. Satu bunga dibagi empat."

"Pelit sekali," tukasku.

"Ini hadiah untukku, bukan untuk mereka, salah pejabat pos yang mengirimnya ke kantor, bukan ke rumahku saja," katanya, malah terdengar kesal, meskipun aku masih bisa merasakan bibirnya tersenyum. "Aku ingin menikmati manisan ini sendirian."

"Aku harap aku tidak membuatmu jadi memiliki penyakit diabetes tipe dua," balasku, sambil terkekeh.

"Kau jauh lebih manis dari manisan gula ini. Bahkan semua gula, madu, dan hal-hal manis lainnya di seluruh dunia semesta."

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang