-I-12

69 13 3
                                    

Aku tidak tahu apa yang aku rasakan ketika melihatnya. Seperti ada... zing! yang terjadi. Apa ini sihir? Tunggu, tidak ada yang membaca mantra. Mungkinkah dia? Aku memang sedang mencari laki-laki yang terlihat cerdas dengan kacamatanya untuk aku pandangi selama di perpustakaan, tapi yang aku dapatkan malah malaikat dengan kacamatanya. Aku tidak akan kuat. Gelato milikku akan meleleh meskipun suhu udara sedingin lemari es.

Sepertinya bukan aku saja yang terkesima, tersihir, atau ter... apa? Aku tidak tahu! Dia ikut menatapku seolah merasakan apa yang aku rasakan. Atau... dia menatapku karena merasa aneh seperti orang-orang tadi di luar? Karena aku mengenakan pakaian tebal yang membuat tubuhku dua kali lipat lebih besar dari ukuran normal? Kenapa sekarang aku memikirkan apa pendapatnya tentang pakaianku? Padahal, jika dia tidak suka, aku tinggal pergi meninggalkannya, seperti apa yang terjadi di luar.

Harus ada salah satu di antara kami yang mengalihkan pandangan. Aku atau dia? Namun tidak ada satu pun dari kami yang melakukannya. Aku seperti berjam-jam menatapnya, tapi bahkan mataku tidak kering meskipun aku tidak berkedip. Atau, waktu yang terasa membeku?

Seolah aku bisa memandanginya terus, seperti lukisan abadi yang tetap bisa dinikmati setelah berabad-abad lamanya. Wajahnya sempurna melebihi pahatan terkenal karya Raphael di istana Leona, pusat pemerintahan kekaisaran Empiria. Atau lukisan 'Lahirnya Kembali' yang berisi sepuluh gambar malaikat berusia ratusan tahun karya Xavier Thomson, yang berada di museum terkenal kekaisaran Empiria-aku pernah melihat kedua seni itu dalam foto di sebuah majalah.

Rambut ikal mengkilap, seperti terbuat dari cokelat hitam yang terkena suhu hangat. Alis tebal seperti dilukis secara sempurna. Bibirnya seperti kelopak bunga mawar paling indah. Hidung, rahang dan dagunya seperti dipahat dengan kokoh sampai bisa menghancurkan gunung batu terkuat. Dia seperti malaikat sesungguhnya yang bisa dilihat secara langsung. Karya Tuhan memang tidak bisa dibandingkan dengan karya manusia.

Aku pikir aku terlalu berlebih-lebihan menggambarkan apa yang aku lihat. Dia tidak terlihat seperti patung, hanya saja... kadang aneh saja melihatnya begitu tampan. Atau, mungkin ini yang disebut dengan jatuh cinta? Ini yang disebut aku sedang mengalami relativitas ketampanan. Aku melihatnya tampan yang tidak manusiawi, sedangkan orang lain melihatnya biasa saja? Atau, dia terlihat tampan dan berwajah mulus karena aku melihatnya dari jarak beberapa meter? Padahal dari dekat wajahnya biasa saja... atau bahkan penuh dengan jerawat?

Semuanya terbuyarkan ketika petugas perpustakaan menegurku, menyadari jika aku membawa makanan ke dalam perpustakaan. Sampai ada setetes gelato yang mengotori buku yang terbuka di hadapanku.

"Keluar," kata perempuan paruh baya bersambut abu-abu. Kacamata yang ia kenakan seolah melorot ke batang hidungnya, dengan nada rendah tapi terdengar tegas, sambil menunjuk ke arah pintu keluar.

Akhirnya aku yang lebih dulu mengalihkan pandangan. Aku menatap wajah wanita itu dengan raut wajah bodoh. Aku merasa seperti orang yang baru tertangkap basah berciuman. Atau, seperti orang yang masih memproses kerja otaknya setelah terbangun dari tidur panjang.

"Keluar," ulangnya, nada suaranya masih terdengar tegas.

Aku tidak bisa apa-apa. Sambil beranjak, aku meliriknya lagi sekilas. Dia tak lagi melirikku, dan kembali sibuk dengan apa yang sedang dia kerjakan. Namun berbeda. Dia tidak terlihat sibuk seperti sebelumnya. Aku bertanya-tanya apakah fokusnya teralihkan karena aku?

"Ayo cepat, Nona. Jangan sampai saya memanggil petugas keamanan untuk menyeretmu ke luar."

Sekarang dia mengancam. Aku menatap cowok patung... atau cowok berwajah malaikat itu sebelum berjalan keluar. Aku berusaha untuk tegar, meskipun rasanya kecewa karena tidak bisa memandangi lagi pemandangan paling impresif yang pernah aku lihat, sejak es krim setinggi seratus sentimeter di tengah-tengah musim panas di kota Quatur.

Sesampainya di luar perpustakaan, aku berjalan mondar-mandir gelisah. Memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa memandangi cowok malaikat tadi, sambil menjilati gelato yang setengah meleleh. Aku putus asa dan memilih duduk di tangga masuk perpustakaan. Ketika aku melirik ke dalam, petugas perpustakaan melihatku tanpa menggunakan kacamata melorotnya yang tersangkut di tengah-tengah batang hidung. Sepertinya dia dendam karena aku mengotori buku kesayangannya.

Aku mengembuskan napas berat seraya menatap kolam air mancur di kejauhan. Gelato milikku sudah habis, dan aku terlalu sibuk memikirkan laki-laki tadi ketimbang memakan roti lapis jatahku.

"Kau sedang apa duduk di situ?"

Aku mendongak dan mendapati Nathan. Dia mengenakan tudung hoodie, yang tadi dia pakaian saat tidur, dan menggunakan jaket musim dingin tebal di bagian luar. Dia duduk di sampingku, sambil masih memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket.

Meskipun agak sedikit berpikir, akhirnya aku bisa menjawab, "Aku... sedang duduk."

"Seolah aku tidak bisa melihat itu." Sambil membuang muka ke arah kolam air mancur.

Lengang selama beberapa saat, sampai akhirnya Nathan menyadari awal tujuanku pergi keluar rumah. "Tunggu, bukankah kau seharusnya membeli roti lapis?"

Aku mengangkat kantong kertas berukuran sedang yang sejak tadi aku pegang.

"Mana jatahku?" pintanya.

"Kau tidak mau memakannya di rumah? Bersama Bibi atau mungkin... menunggu yang lainnya juga pulang?"

Nathan memutar matanya. "Oh ayolah. Ayah dan yang lainnya tidak akan pulang cepat. Sepertinya mereka banyak pekerjaan."

"Kau tahu apa yang mereka kerjakan?"

"Entahlah." Sambil mengangkat bahunya sekilas. "Pastinya, tentang iblis malam."

Sekarang aku yang memutar mata. "Kau tidak penasaran? Ini tidak seperti dirimu."

"Aku butuh waktu beradaptasi, di sini dingin."

"Aku kira suhu dingin tidak akan mempengaruhimu."

"Diam!" katanya, tidak terima dengan apa yang aku katakan.

Keheningan kembali menyelimuti kami berdua. Kami sama-sama menatap kolam air mancur di kejauhan selama hampir setengah jam. Sebelum dia kembali bertanya, "Tunggu, tadi kita sedang apa di sini?"

"Aku sedang duduk-duduk saja."

"Tidak mungkin." Dia tidak percaya. "Kau pasti menunggu sesuatu."

Harusnya ada penjelasan tentang ini selain kami berdua kembar, atau mungkin, gelagatku sudah cukup menggambarkan jika aku sedang menunggu seseorang?

"Sudahlah, jika kau ingin pergi, pergi saja," tukasku.

"Roti lapisku," pintanya.

Aku mengembuskan napas berat dan mengambil satu roti lapis daging babi yang dibungkus kertas aluminium. Lalu memberikannya. "Ini."

Dia mengambil bungkusan tersebut dan mulai membukanya. Roti panggang itu masih mengeluarkan asap, kertas aluminium membuat kehangatannya terjaga. Nathan mulai menggigit roti lapis hangat itu. Selain daging babi, di dalamnya juga terdapat keju yang meleleh, irisan kecil-kecil dari tomat, kol, dan wortel. Dia memakannya dengan lahap, tanpa menghilangkan momen menikmatinya. Mungkin dia sedang menggodaku, agar aku juga memakan roti lapis milikku. Seolah aku mudah tergoda saja.

"Kau bilang kau akan pergi," ucapku.

"Aku tidak mengatakan aku akan pergi. Aku hanya meminta jatahku."

Aku kembali memutar mata untuk merespons kata-katanya. "Terserah kau saja."

Cowok patung tadi tidak lagi terlihat. Aku tidak bisa menunggu sampai perpustakaan tutup dua jam setelah matahari tenggelam. Karena aku harus pulang empat jam sebelum itu, seperti apa yang dipesankan Ayah. Lagi pula Nathan terus mengoceh jika kami sudah telat. Padahal belum genap sepuluh menit lewat dari waktu sebelumnya.

Aku tidak bisa apa-apa selain mematuhinya. Aku juga tidak ingin kepercayaannya Ayah kembali berkurang padaku, setelah hukumannya yang hanya memperbolehkan aku melihat matahari tenggelam di akhir pekan. Mungkin aku juga bisa kembali melihatnya di hari esok. Malaikat berkacamata itu. Aku berharap demikian.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang