Kereta api bertenaga uap sedang berjalan di rel yang lurus. Rel itu membelah areal pesawahan yang luas menjadi dua sisi.
Sisi sebelah barat tampak pesawahan luas yang sedang menghijau. Pertanda musim tanam padi baru dimulai. Sisi sebelah timur juga terdapat areal pesawahan yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk.
"Sayang, bisakah kau duduk?" Tuan Eickman menyuruh Anna untuk duduk.
"Tidak bisa, Ayah. Lihatlah ke luar, pemandangannya sungguh indah."
Anna nyaris mengeluarkan kepalanya dari jendela ketika takjub menyaksikan pemandangan di luar gerbong. Penumpang yang lain tersenyum menyaksikan tingkah gadis itu. Mereka bisa memaklumi jika seorang gadis remaja masih menyisakan sifat kenakan-kanakan.
"Biarkan saja, Tuan. Biarkan dia menikmati perjalanannya." Seorang pria tua memberi komentar.
"Ya, lagipula kita masih lama sampai di tempat tujuan. Anggap saja perjalanan ini juga bagian dari rekreasi."
Anna senang karena dia didukung oleh penumpang lain. Padahal, sebenarnya walaupun tidak ada yang mendukung sikapnya, gadis itu tetap akan membantah perintah ayahnya.
"Terima kasih Tuan dan Nyonya bisa mengerti."
Beberapa bangku di gerbong kelas I itu kosong. Hanya terisi kurang dari separuh bangku yang tersedia. Memang tidak banyak penumpang di gerbong khusus itu. Terlebih, perjalanan kereta berlangsung di tengah pekan. Belum banyak orang yang berniat melakukan perjalanan untuk sekedar pelesiran.
Seluruh penumpang di gerbong kelas I adalah orang dewasa. Seorang suami beserta istrinya. Dapat disimpulkan jika mereka pun melakukan perjalanan untuk tujuan yang sama. Sekedar melepas penat dari hiruk-pikuk Batavia. Mencari suasana baru menuju alam Priangan yang dikelilingi pegunungan.
Hanya Tuan Eickman yang tidak membawa pasangannya. Bukan karena dia lebih suka melakukan perjalanan bersama anak gadisnya. Tapi, sudah lama laki-laki itu menduda sejak kepergian istrinya.
"Tengok ke luar, ada bocah angon sedang menggembala kerbau!"
"Ah, kau seperti belum pernah melihat kerbau saja," Tuan Eickman merasa heran dengan sikap anaknya.
"Tapi, yang ini berbeda, Ayah?"
"Apa bedanya?"
"Bedanya ... aku melihatnya dari atas kereta!"
Para penumpang ikut tertawa mendengar percakapan Anna dan ayahnya. Mereka merasakan hal yang berbeda ketika menumpang kereta api hari itu. Bukan hanya pemandangan menakjubkan yang tersaji di luar sana, tapi suasana dalam gerbong menjadi begitu hangat karena kehadiran Anna. Seorang gadis yang lincah dengan matanya yang terus berbinar sejak awal keberangkatan.
Dengan gaun putih favoritnya, Anna tampak anggun bersama rambutnya yang lurus dengan warna sedikit pirang sebagaimana yang dimiliki ayahnya. Ujung rambut gadis itu sedikit melengkung ke dalam seperti kail.
Bila melihat tubuhnya, tidak akan ada yang menyangka jika dia gadis berumur 14 tahun. Tubuhnya lebih tinggi dari rata-rata gadis seusianya. Namun, bulu mata lentik diantara bola mata kecokelatan masih tersisa dari wajah anak-anak yang sedang tumbuh dewasa.
"O, ada terowongan!"
Anna berteriak hingga dia tidak sadar jika teriakannya membangunkan seorang pria yang terkantuk-kantuk. Pria bertopi bundar itu terkejut dan hampir tersungkur ke depan. Untungnya, tongkat yang menopang dagu masih kuat menahan hentakan.
"Duduklah di sini, sayang. Terowongan gelap. Jangan sampai kau hilang ditelan mulutnya," pria tua itu kembali menyegarkan suasana.
"Seberapa gelapkah di sana?"
"Sesaat lagi kau akan tahu."
Drgg, getaran terasa berkali-kali ketika menumpang kereta api.
"Itu karena relnya yang tidak tersambung dengan baik," Tuan Eickman memberitahu anaknya sebelum gadis itu bertanya lebih banyak.
Anna mengerlingkan mata. Ayahnya tahu jika anak itu tidak nyaman duduk saja di bangku. Apalagi harus selalu duduk berhadapan dengan ayahnya sepanjang perjalanan. Bangku kereta yang dipasang berhadapan sengaja agar para penumpang bisa saling bercengkrama. Namun, Anna tidak nyaman ketika ayahnya lebih terdengar menasehati daripada mengajaknya bercengkrama.
"Hei, kau mau ke mana?"
"Ke belakang. Ada bangku kosong di sana," Anna menjawab pertanyaan ayahnya sambil berlalu.
"Ah, sayang ... kau tidak bisa diam."
Penumpang lainnya tersenyum.
"Tuan, putri anda sungguh penuh energi," seorang perempuan berkomentar sambil memegang kipas. Hanya sebagai hiasan, padahal angin dari luar gerbong berhembus begitu kencang.
"Nyonya, maaf jika mengganggu. Anak saya diam ketika tertidur saja."
Anna mendengar percakapan ayahnya dengan penumpang lain walau agar samar. Suara deru mesin lokomotif mengganggu pendengaran.
Dan, Anna hanya tersenyum simpul.
Kini, dia lebih tertarik dengan pemandangan di luar jendela.
Bukit menjulang di hadapan matanya. Bukit yang subur. Aneka pohon tumbuh menutupi bukit. Beberapa diantaranya hampir menyentuh kawat telegraf yang terpasang di pinggir rel.
Anna belum bisa melihat terowongan yang dimaksud. Mungkin beberapa saat lagi. Dia hanya melihat seorang anak kecil berdiri tepat di pinggir rel. Warna kulitnya cokelat gelap. Mungkin karena tubuhnya sering terpapar sinar matahari. Terlebih, tidak mengenakan baju. Hanya celana dan penutup kepala helaian kain yang menempel di tubuh.
Oh, ternyata ini terowongannya.
Anak kecil itu melambaikan tangan kanannya. Anna pun balas melambai.
Tapi, matanya tidak melihat ke arahku, pikir Anna. Dia melambaikan tangan pada siapa?
Sebelum Anna memperoleh jawabannya, gerbong kereta berubah menjadi gelap. Kendaraan itu sudah masuk ke dalam terowongan.
Anna tidak bisa melihat apa pun kecuali terlihat samar tembok terowongan yang dekat sekali dengan jendela. Deru mesin lokomotif semakin nyaring terdengar. Pantulan suaranya menimbulkan gema di dalam terowongan yang semakin gelap itu.
Membutuhkan waktu beberapa saat untuk bisa kembali melihat cahaya.
Anna pun menunggu dengan sabar.
Sampai akhirnya, cahaya masuk ke dalam jendela. Dan, Anna bisa melihat sesuatu.
"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?"
Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau.
Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitupun pisau di tangannya.
"Nona, saya hanya sedang jalan-jalan."
Ketika gerbong kembali terang, kedua orang itu pergi berlalu. Mereka menuju ke gerbong selanjutnya yang dipisahkan oleh sebuah pintu.
Anna bangkit berdiri. Dia penasaran. Gadis itu melihat dari pintu berjendela kaca. Kedua orang tadi terlibat perkelahian.
"Arghhhh! Tolong!"
Tiba-tiba ada suara wanita meminta tolong dari deretan bangku depan. Anna memalingkan wajahnya ke sumber suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...