36

59 23 0
                                    

"Aku tidak akan melepaskan orang ini," suara menggeram terdengar dari dalam kegelapan.

Lampu dapur sudah dipadamkan entah oleh siapa. Anna pun hanya sanggup melihat samar-samar bentuk tubuh orang yang menyandera Tuan David. Mata gadis itu belum bisa membedakan dengan jelas siapa orang yang membuat Tuan David tidak berdaya.

"Hati-hati, Nona. Dia memegang pisau," Pratiwi mengingatkan sambil perlahan meraba lampu tempel di dinding.

Gadis itu mencabut lampu dan mengarahkannya ke lorong menuju dapur. Cukup jelas untuk memperhatikan apa yang tengah terjadi. Seseorang tengah menempelkan pisau ke leher Tuan David. Laki-laki berjas cokelat muda itu sungguh terlihat tak berdaya. Dia ketakutan.

Ketika cahaya menerpa pisau, terlihat logam mengkilat menandakan jika senjata itu sering diasah. Bentuk pisau itu melengkung dengan ujung meruncing. Anna tahu betul siapa pemilik pisau melengkung seperti itu.

Anna pun tetap mengarahkan senapan ke arah si penyandera. Anna belum biasa melihat wajah orang yang berani melakukan penyanderaan. Topeng menyembunyikan raut mukanya.

"Dugaanku benar, ternyata kau di balik semua kekacauan ini?"

"Bagus, jika kau tahu."

Anna menghela nafas. Gadis berambut sedikit pirang itu melemaskan genggamannya. Senapan yang dipegang tidak lagi diarahkan ke depan.

"Lalu, kenapa kau tidak membunuh Tuan David?"

Tentu saja semuanya heran dengan pertanyaan demikian, termasuk Pratiwi.

"Nona, apa yang kau pikirkan?" Pratiwi menoleh ke arah Anna.

"Jika laki-laki bertopeng ini bukan orang suruhan Tuan David, kenapa tidak langsung membunuhnya? Apakah mereka berdua sedang bersandiwara?"

Sontak, Nyonya David berteriak demi membela suaminya, "Anna, kenapa kau menuduh suamiku bersandiwara?"

Anna terdiam. Dia tidak menoleh ke belakang dimana Nyonya David menangis ketakutan. Hanya sang tuan rumah yang tidak bicara sepatah kata pun. Karena itu, Anna bertanya pada Nyonya Edward sebuah pertanyaan yang lebih mengherankan.

"Nyonya Edward, apakah anda juga setuju dengan pendapat saya?"

Tentu saja sang tuan rumah tidak bisa berkata-kata dengan mantap. Anna menoleh ke arah Nyonya Edward yang masih duduk termangu.

"Bagaimana, Nyonya?"

"Sayangku, tentu saja Tuan David tidak sedang bersandiwara. Bagaimana bisa kau menyimpulkan demikian?"

"Jika Tuan David tidak sedang bersandiwara, kenapa dari tadi dia berada di sini? Tidak pergi ke paviliun sebagaimana dilakukan oleh yang lainnya?" Anna kembali menoleh pada Tuan David dan si penyandera.

"Karena aku ketakutan."

Mendengar percakapan yang membosankan, si penyandera itu malah berteriak kencang. Meskipun, suaranya masih terdengar tidak jelas.

"Diam! Aku tidak ingin mendengar omong kosong ini!"

"Lalu apa yang kau ingin kau lakukan, lakukanlah!" Anna tidak kalah kencang ketika berteriak.

"O gadis manis, ternyata kau ingin bermain-main denganku ...."

Suara teriakan Anna terdengar hingga ke luar. Tentu saja itu mengundang orang untuk masuk ke dalam. Ada lima orang centeng berpakaian serba hitam masuk sambil menenteng senapan dan juga golok. Disusul Tuan Eickman yang berjalan dengan tergesa.

Si penyandera sepertinya tidak takut dengan bala bantuan yang berdatangan. Dia malah memperjelas ancaman dengan membawa Tuan David ke sisi yang lebih terang.

Semua orang mundur. Mereka harus memperhitungkan resiko.

"Ayo lakukan ... jika kau ingin nasib Tuan David sama dengan Tuan William dan Tuan Robert." Anna memperjelas sikapnya.

Semua orang heran dengan kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu. Tapi, sepertinya Tuan Eickman tidak demikian karena dia terdiam. Setuju dengan sikap anaknya.

"Aku tahu jika ini bagian dari rencana kalian. Membunuh Tuan Robert dan Tuan William, kemudian menyisakan Tuan David yang berpura-pura menjadi sandera."

"Tutup mulutmu!" pria bertopeng itu kembali menggeram.

"Atau, kau belum mendapat persetujuan dari majikanmu karena Tuan David berjanji akan menyerahkan sebagian saham perusahaannya?"

Pertanyaan itu cukup mengherankan bagi siapa pun yang mendengar. Terlebih, bagi para pengawal yang tidak mengerti duduk persoalannya.

"Ada alasan, kenapa kau menggunakan topeng ketika menjalankan aksimu, Tuan Hasyim ...," Anna langsung menyebut nama.

"Ah, kau hanya menebak."

"Karena, orang lain tidak ingin melihat rona wajahmu ketika beraksi. Kau sadar, jika target pembunuhanmu adalah orang-orang terpelajar dari daratan Eropa. Jadi, kau tahu jika mereka bisa membaca bahasa tubuhmu."

"Diam!"

"Tuan Hasyim, aku tahu kau orang hebat. Bisa membunuh siapa pun yang kau inginkan. Tapi, kali ini bayaran untukmu begitu tinggi sehingga merencanakan semuanya dengan begitu matang. Kau sangat hati-hati."

Semuanya terdiam. Menunggu kemana arah pembicaraan Anna.

"Seorang pembunuh sepertimu, hanya uang yang bisa mengurungkan niatmu. Sebagaimana Tuan David bisa membujukmu untuk menghentikan langkahmu."

Tuan David merasa tersindir dengan kalimat Anna.

"Anna, aku tidak demikian. Aku bukan bagian dari mereka."

"Mereka? Siapa lagi? Memangnya ada orang lain selain Tuan Hasyim?"

Tentu saja Tuan David semakin gugup.

"Maksudku ...."

"Tuan David, sedari tadi kau terlihat sangat gugup. Kegugupanmu bukan karena takut dibunuh tapi takut rencana kalian gagal."

"Anna ...."

"Anda segera masuk ke dapur karena sadar pembunuhnya akan datang dari sana. Kau sudah tahu rencananya dari awal!"

"Tidak ... tidak ...," Tuan David semakin terlihat gugup.

Anna terus mundur hingga hampir merapat ke dinding dekat jendela.

"Bagaimana Tuan Hasyim, apa kau masih berharap mendapatkan imbalan berupa saham perusahaan Tuan David?"

Pria bertopeng itu terdiam.

Suasana hening sejenak.

Namun tak dinyana, Anna mengarahkan senapan pada Nyonya Edward.

"Anna, apa yang kau lakukan?" Tuan Eickman membentak anak gadisnya.

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang