17

72 26 0
                                        

"Hei, buang pisau itu ... atau ...," Anna berteriak.

"Atau, apa? Kau mau menembakku?" Suara menggeram terdengar dari balik topeng.

Setelah terpapar cahaya lentera, Anna bisa melihat bagaimana corak topeng. Laki-laki itu memakai topeng berwarna merah bergambar wajah manusia yang sedang marah. Matanya terbelalak, dengan kumis tergambar diantara hidung dan gigi yang tonggos. Lebih menyeramkan ketika terlihat hidung yang panjang menonjol diantara pipi yang tembem.

"Ayo, tembak aku ...."

Tuan Eickman mengangkat kedua telapak tangannya. Dia menoleh pada Anna. Jangan lakukan itu, Nak. Hatinya berharap Anna tidak melakukan itu. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala sebagai pertanda bagi putrinya yang sudah siap menarik pelatuk.

"Kau tidak takut mati rupanya," Tuan Eickman menerka cara berpikir orang itu.

"Bagus, kalau kau mengerti jalan pikiranku. Sedangkan dirimu, aku tahu kau takut mati. Takut meninggalkan harta berlimpah yang kau miliki. Sedangkan aku, hanya manusia bebas yang tidak terikat oleh apa pun."

Anna menghela nafas dengan tempo lebih cepat. Dia ingin segera menembak orang itu kemudian menyelesaikan urusan yang datang tiba-tiba ini.

"Bagaimana, kau berubah pikiran?"

Tuan Eickman tidak mau menjawab pertanyaan pria berbaju dan bercelana hitam itu.

"Aku tahu kau datang ke tempat ini bukan semata-mata untuk membunuh."

"Ya, aku akui itu."

Anna masih sulit mengerti dengan percakapan kedua orang di depannya. Kalimat-kalimat yang mereka lontarkan seakan memiliki makna yang tersembunyi.

"Ayah, apakah Ayah mengenal orang di balik topeng ini?"

"Tidak, Nak. Tapi, kau pun tahu ... banyak orang yang iri pada keberhasilan kita. Dan, ini bukan pertama kalinya kita didatangi orang seperti dia. Meminta secuil dari apa yang kita miliki."

"Aku tidak meminta secuil, aku meminta setengahnya!"

"Kau sungguh serakah!"

Anna sepertinya geram dengan cara orang ini bicara. Dia suka mengulur waktu.

"Hei, katakan saja, siapa yang mengutusmu datang ke mari?"

"Oh, Tuan. Ternyata putrimu pintar. Tapi, sayang ... aku tak akan mengatakannya."

Suasana hening sejenak.

"Apakah kau pembunuh Tuan Edward?" Anna bertanya tanpa tendeng aling-aling.

"Tuan Edward? Siapa dia? Aku tidak mengenalnya."

"Bohong, kau yang membunuh Tuan Edward di kereta api tempo hari."

"Oh, Nona. Kau ketinggalan berita. Mungkin koran belum sampai ke sini ya? Pembunuh orang itu sudah ditangkap polisi. Aku datang ke sini untuk urusan lain." Si Pria Bertopeng menoleh pada Tuan Eickman.

"Kalian licik, sungguh licik. Menggunakan berbagai cara untuk merampas harta milikku."

"Hahahahaha! Tuan Eickman, jika kau merampas harta milik orang lain ... maka hartamu sendiri akan dirampas."

Tertawa Si Pria Bertopeng terdengar keras.  Andaikan di rumah itu ada penghuni lain, bisa saja membangunkan mereka yang tidur. Karena rumah para pegawai terpisah hingga dekat kandang ternak, maka suara orang yang bercakap-cakap tidak terdengar.

Baru kali ini Anna menyaksikan orang yang begitu tenang ketika mengancam. Orang di hadapannya pasti bukan manusia sembarangan. Pantas saja jika ayahnya memintanya untuk tenang dan tidak terburu-terburu menembak. Sebelumnya, dia pasti sudah melumpuhkan para centeng di luar tanpa menimbulkan keributan.

"Tuan Eickman, kau jangan menganggapku perampok yang menyatroni rumahmu ini karena membutuhkan sedikit uang. Tidak, aku bukan orang seperti itu."

"Ya, aku tidak menganggapmu demikian. Maka dari itu, mari kita selesaikan urusan ini tanpa harus ada yang terluka."

"Ya, itu pula yang aku harapkan. Namun, maukah kau menyanggupi syaratku tadi?"

Kini, Si Manusia Bertopeng duduk di kursi rotan berdekatan dengan kursi goyang tempat tuan rumah duduk. Tangan kanannya menggenggam pisau yang siap untuk digunakan.

Krrrttttt, terdengar suara menderit akibat pisau yang ditorehkan ke atas meja. Ujung pisau itu seperti menari-nari.

"Apa yang kau lakukan?" Tuan Eickman bertanya sekedar mengisi percakapan.

"Menandai. Menandai tempat ini jika aku pernah berkunjung ke sini."

"Bunga."

"Bunga kemboja."

Anna heran dengan sikap orang itu. Kenapa dia menggambar bunga kemboja di atas meja. Bunga simbol kematian.

"Jadi kau tidak berniat membunuh kami?" Anna bertanya untuk meminta kesimpulan.

"Nona, membunuh ... bagiku terlalu mudah. Apalagi membunuh kalian berdua."

Suasana hening sejenak. Tuan Eickman dan Anna menunggu Si Pria Bertopeng itu menyelesaikan gambarnya. Anna mulai bisa mengendurkan otot-otot tangan dan kaki. Gadis itu mulai belajar bagaimana caranya bernegosiasi dengan penjahat.

"Dia tidak berniat membunuh kalian berdua. Dia menungguku."

Tiba-tiba saja terdengar seseorang berbicara dari arah jendela. Orang itu bicara sambil membuka daun jendela berbahan kayu.

"Akhirnya, kau datang juga, kawan."

Anna bisa melihat siluet orang itu terbentuk oleh cahaya dari lentera di luar ditambah lentera dari dalam. Langit malam yang gelap mempertegas siluet itu.

Siapa lagi orang ini?

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang