Semua mata tertuju pada sosok bertopeng itu. Panca kagum pada kemampuannya bertarung. Dia berkelahi seorang diri melawan belasan orang bersenjata tajam.
"Dia bisa menjaga dirinya, aku yakin." Anna meyakinkan Panca.
"Ya, sepertinya begitu."
"Aku pernah melihatnya berkelahi dengan Tuan Hasyim."
Panca percaya pada ucapan Anna. Manusia bertopeng itu memang lihai memainkan senjata yang dibawanya. Sebilah golok dengan ujungnya membentuk sudut tumpul. Sama sebagaimana yang sering digunakan warga untuk membelah kelapa atau memotong dahan pohon. Tidak ada yang istimewa.
Keistimewaan orang itu justru dari gerakannya yang lincah. Diantara deretan pohon-pohon besar, dia bisa menyerang sekaligus bertahan. Lawan-lawannya seakan tak berdaya ketika satu serangan bisa melumpuhkan.
Pertarungan itu tidak seimbang jika ditengok dari jumlahnya. Satu orang berbanding belasan laki-laki dan seorang wanita. Namun, Si Manusia Bertopeng nampak mudah meladeni serangan yang serampangan dari lawannya.
"Raden, sebaiknya kita cepat pergi," Bajra mengingatkan.
"Ya, sebelum mereka kembali memperhatikan kita," Anna setuju dengan Bajra.
Panca menoleh pada Anna dan Bajra. Kedua sahabatnya mengangguk sebagai pertanda untuk segera pergi.
"Bruno, ayo pergi!" Anna mengajak anjing kesayangannya itu untuk segera meninggalkan arena pertarungan.
Selang beberapa saat, keempatnya telah meninggalkan orang-orang yang sedang bertarung sengit itu. Mereka berjalan jauh hingga ratusan meter. Awalnya, Panca dan Bajra tidak merasa heran dengan arah yang mereka tempuh. Apalagi si Bruno, anjing itu ikut saja ke mana majikannya berjalan. Namun, Panca tidak bisa menyembunyikan keheranannya itu.
"Nona, kenapa kita semakin menjauh dari rumah?"
Anna berhenti berjalan, "kita tidak pernah tahu ... apakah orang-orang yang ada di rumahku ... masih setia pada ayahku ... atau justru mengkhianatinya."
Panca menoleh pada Bajra.
"Aku masih tidak bisa menyangka jika Bi Imah adalah bagian dari komplotan. Makanya, kita harus menjauh dari mereka untuk sementara."
Panca dan Bajra mengangguk sebagai tanda mengerti. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Menyusuri sela-sela pepohonan yang tumbuh tinggi menjulang. Pohon-pohon itu berebut cahaya matahari sehingga nyaris tidak menyisakan tumbuhan di bawahnya untuk menyerap sinar matahari.
"Lukamu semakin parah, Nona. Sebaiknya aku ikat dahulu dengan kain," Bajra merunduk sambil membuka ikat kepalanya.
"Tidak usah, sebentar lagi kita bisa menemukan obat."
Panca dan Bajra saling lirik. Mereka kurang paham dengan Anna. Bagaimana menemukan obat padahal mereka berjalan menjauh dari rumah.
"Ikuti saja aku, sebentar lagi kita menemukan sumber air."
Panca dan Bajra setuju saja ada perkataan Anna. Gadis itu terus berjalan sambil menyeret kakinya yang terluka. Mereka berjalan beberapa puluh langkah melewati pepohonan yang terasa semakin rapat. Tidak ada jalan setapak yang memudahkan kaki mereka untuk melangkah.
Ketika mereka berjalan dengan tergesa, tanpa disadari ada seekor ular yang melingkar di dahan pohon. Ukurannya cukup besar. Lebih besar dari tangan Panca tetapi sedikit lebih kecil dari lengan Bajra. Warna hijau menjadi ciri khas kulit si ular.
"Nona, jangan ke sana, ada ular!"
Anna menengadahkan wajahnya ke atas. Ternyata, si ular itu menjulurkan lidahnya yang bercabang.
"Sepertinya, si ular sedang menunggu mangsa."
"Untungnya kita melewati jalan ini."
Panca, Bajra dan Anna berjalan menjauh dari si ular. Meskipun sebenarnya ular itu tidak terlalu peduli dengan kehadiran tiga orang manusia. Dia hanya peduli ada seekor katak pohon yang mungkin menghampiri.
"Nona, apakah mata air di sebelah sana?" Bajra menunjuk sebuah mata air di bawah pohon-pohon pisang berdaun lebar.
"Ya, di bawah tebing itu."
Panca senang ketika mendapati sumber mata air. Dia segera mendahului Anna. Berlari menuju mata air itu.
"Kau kehausan, Raden?"
"Ya, Nona."
Panca berjongkok tepat di depan genangan air yang jernih. Tidak tampak lobang atau apa pun yang menunjukan darimana air itu berasal.
"Mungkin rumpun pohon bambu itu menyimpan air cukup banyak." Bajra memperhatikan rumpun bambu di dekat tebing.
Tebing itu tidak terlalu tinggi. Hanya sekitar lima meter. Terbentuk dari bebatuan dengan kemiringan hampir sembilan puluh derajat. Ada lubang-lubang berukuran kecil dimana sepasang burung cekakak sedang membangun sarang.
Bajra tergoda untuk segera menghampiri mata air. Anak itu kehausan. Begitupula dengan si Bruno, lidahnya menjulur ke genangan air. Hingga mereka lupa, jika Anna masih berdiri di bawah pohon beringin. Sendiri.
"Diam, jangan bergerak dan jangan berteriak ...!"
Tak dinyana, seorang anggota komplotan mengalungkan pisau ke leher Anna. Gadis itu mematung.
Tentu saja Panca dan Bajra tidak bisa berkata-kata. Berbeda dengan si Bruno yang tidak bisa menahan diri untuk menggonggong. Anjing itu hampir saja melompat dan mengigit orang yang menyandera Anna.
"Tenang, Bruno. Kita bisa mengatasi ini ...," Anna bicara lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...