50

48 22 0
                                    

Dor!

Satu tembakan ke arah laki-laki yang sedang memegang pisau itu. Tangannya berdarah, pisau pun terjatuh.

Dor! Dor!

"Aku tidak menjanjikan apa-apa pada kalian." Tuan Eickman seperti puas dengan tembakannya.

Laki-laki itu roboh.

Anna pun tercengang. Perasaan Anna kala itu bukan hanya takut tetapi bercampur dengan keheranan. Ditambah, dia juga senang karena orang yang menyanderanya kini hanya seonggok daging dan tulang tak bernyawa. Suatu perasaan aneh bagi Anna.

Darah segar membasahi lantai.

Ruang tengah kediaman Tuan Eickman kala itu berubah menjadi tempat mayat bergeletakan. Dua orang centeng di depan pintu. Satu orang penjahat yang belum diketahui siapa namanya dan dari mana asalnya. 

Anna berdiri sambil terus menahan rasa sakit. Demi menahannya, tidak terasa air mata pun mengalir dari pelupuk mata. Cukup deras bila dibandingkan tangisan gadis itu sebelumnya. Karena, jarang dia menangis dengan berlinang air mata seperti kala itu.

"Sayang, kau mau ke mana? Duduk dulu di sini," Tuan Eickman menunjuk kursi.

"Aku mau mencari obat."

"Biar Ayah yang carikan."

"Tidak usah. Aku juga penasaran ingin bertemu Bi Imah. Kenapa dia membiarkan orang masuk ke rumah kita!" Anna menaikkan nada suaranya.

"Begitukah?" Tuan Eickman mengikuti anak gadisnya.

"Ya, ketika penjahat itu masuk. Bi Imah tidak memberi peringatan apa pun."

Anna tiba di lorong menuju dapur. Tempat itu sedikit gelap. Aneh, kenapa jendela di sini tertutup. Lalu, di mana si Bruno?

"Bi, kau kenapa?"

Anna mendapati wanita pembantu itu dalam keadaan tak berdaya. Tubuhnya diikat seutas tali. Mulutnya pun ditutup sehelai kain.

"Siapa yang melakukan ini padamu?"

Bi Imah tidak menjawab.

"Lalu, siapa yang meringkus anjing ini?"

Bi Imah pun tidak menjawab pertanyaan Anna. Gadis itu langsung membuka tali yang mengikat si Bruno. Pantas saja dia tidak menggonggong.

"Jangan bergerak ... dan ... jangan berteriak," Bi Imah bicara dengan pelan.

"Apa maksudmu?"

Wanita berkebaya itu mendekatkan sebilah pisau di leher Anna. Si Bruno terheran-heran. Sepertinya anjing itu belum mengerti apa yang tengah terjadi.

Anna terdiam.

"Berdiri, kemudian ikuti aku ...!"

"Hei, kenapa kau melakukan ini padaku? Apakah kau bagian dari mereka?"

Bi Imah terdiam.

"Bi, apa yang membuatmu seperti ini?"

"Diam. Jangan banyak bertanya ...!"

Si Bruno baru menyadari jika situasi sedang tidak baik-baik saja. Anjing itu mulai menggonggong. Ruangan dapur yang sempit menimbulkan gema. Suara anjing yang menggonggong itu ternyata terdengar hingga ke ruang tengah.

Tuan Eickman berlari ke arah dapur. Laki-laki itu terheran-heran dengan keadaan yang dilihatnya. Baginya, apa yang dilihat sungguh sulit diterima.

"Hei, apa yang kau lakukan pada anakku? Lepaskan Anna!"

"Tuan, maaf. Saya ingin menjalankan tugas."

"Tugas dari siapa?"

Tuan Eickman sedang memegang senapan. Tapi, tangannya seakan lemah. Seakan tidak sanggup mengangkat senjata itu kemudian menarik pelatuknya. Ya Tuhan, senjata ini sungguh tidak gunanya.

"Ayah, tolong aku ...," Anna memohon.

"Kau tenang sayang. Berpikir. Kau gadis cerdas, aku yakin kau bisa melalui ini."

Tuan Eickman seakan melihat sosok yang berbeda pada wanita pembantu rumah tangga di hadapannya. Tak dinyana, wajah polos yang selama ini tampak kini berubah menjadi wanita yang dirasuki iblis. Matanya menatap berani pada Tuan Eickman. Orang yang memberinya pekerjaan hingga bisa hidup bersama mereka di rumah itu.

"Apa salahku sehingga kau melakukan ini padaku, Imah?" Tuan Eickman masih sulit mencerna apa yang dilakukan wanita di hadapannya.

"Haruskah aku menceritakan apa yang telah kau perbuat di depan anakmu?"

Tentu saja Anna heran dengan pertanyaan itu. Ah, rahasia apa lagi yang ada diantara orang-orang dewasa di hadapanku?

Bi Imah menyeret Anna. Tangan kirinya dikalungkan di leher. Tangan kanannya masih memegang pisau yang direkatkan di leher Anna. Kemudian, pintu dibuka. Cahaya masuk ke dalam ruangan yang sebelumnya gelap.

Sesuatu yang sulit diterima oleh orang-orang di luar rumah. Pegawai yang sedari tadi berkumpul di pekarangan terheran-heran dengan apa yang mereka lihat. Seorang pembantu rumah tangga menyandera anak tuannya.

"Imah, apa yang kau lakukan?"

"Hei, jangan coba-coba melakukan itu. Aku tak akan segan untuk membunuhmu!"

Bentakan, hardikan hingga cemoohan keluar dari mulut para pegawai yang berkumpul. Pria dan wanita, orang tua maupun anak-anak menyaksikan kejadian yang sulit diduga itu. Ada yang kesal, marah sekaligus kasihan pada Anna yang tidak berdaya.

"Semuanya tenang. Kalian jangan terpancing amarah." Tuan Eickman mencoba menenangkan keadaan.

"Kalian semua, jangan ada yang berani mendekat. Kalau ada, gadis ini bisa mati di tanganku!"

Bi Imah terus menyeret Anna.

Wanita-wanita yang tidak kuat menahan emosi, menangis sambil membalikan badan. Mereka tidak bisa menerima apa yang dilakukan Bi Imah. Bahkan ada beberapa orang mundur menjauhi tempat kejadian.

"Katakan saja apa maumu?"

"Tuan, keinginan kami sudah jelas. Serahkan apa yang kau punya. Maka gadis ini akan selamat."

Tuan Eickman terdiam.

"Jangan, jangan turuti keinginan mereka, Ayah." Anna bicara sambil beruraian air mata.

"Oh, Tuan. Kau lebih memilih harta daripada anakmu sendiri."

"Tidak, Ayah. Mereka hanya menggertak."

"Aku tidak menggertak!"

Tuan Eickman menghela nafas, "baiklah. Aku akan menuruti keinginan kalian."

Bi Imah tersenyum.

"Hei, lepaskan anakku. Kenapa kau terus menyeretnya?"

"Tuan, aku tahu ... kau tidak bisa mengabulkan keinginan kami ... dalam waktu dekat. Perlu beberapa hari untuk mengurus alih nama perusahaan ini."

"Ah, kalian sungguh serakah."

"Kami menukarkan hal yang setimpal."

Tuan Eickman tidak bisa bicara lebih banyak lagi. Dia berdiri terpaku melihat Anna diseret menjauh dari rumah. Hingga mereka berdua tiba di bawah pohon asam jawa, dekat dengan pemakaman.

"Tuan, aku tunggu kau di tempat biasa. Itupun jika kau tidak ingin ... anakmu yang tersisa ini ... menyusul ibu dan kedua adiknya dikubur di sini." Bi Imah berteriak dari kejauhan.

Bersama dengan wanita itu menaiki bukit, berdatangan puluhan laki-laki dengan senapan di tangan mendekat. Mereka menampakan diri setelah sebelumnya bersembunyi di hutan tidak jauh dari lahan milik Tuan Eickman.

"Hei, kalian mau membawaku ke mana?" Anna bertanya lirih.


Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang