Anna senang ketika memberi pakan ternak di pagi hari. Apalagi jika hewan-hewan itu berkerumun meminta sarapan.
"Hei, tunggu dulu. Jangan berebut!"
Ada angsa, itik, ayam hingga puluhan ekor merpati berebut pakan yang disajikan di pekarangan belakang. Baginya, memberi makan hewan-hewan itu menjadi hiburan tersendiri. Bukan karena tidak ada pegawai yang bisa melakukan itu, tapi Anna lebih suka melakukan itu sendiri.
"Nah, sekarang waktunya memberi makan ikan-ikan," Anna berucap sendiri seakan berdialog dengan hewan-hewan peliharaannya.
Gadis itu berjalan ke arah punggung bukit tidak jauh dari rumahnya. Rumah khas dari perkebunan orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Lokasinya tepat di atas bukit diantara hamparan kebun teh yang menghijau.
Kini Anna tiba di deretan kolam ikan yang berbatasan langsung dengan sungai kecil. Hulu sungai itu bermula di gunung tepat di belakang perkebunan. Hingga, air itu mengalir sampai di kolam milik keluarga Anna. Di dalam kolam tampak berenang-renang ikan mas, ikan mujair dan banyak juga ikan lele.
"Hei, Anna!"
Ada seseorang yang memanggil gadis itu. Anna memandang ke seberang sungai. Satu orang yang datang dikenal betul oleh Anna. Namun, Anna tidak mengenal orang yang satunya lagi.
"Hei, Panca!"
Anna melihat Panca berjalan mendekat. Dia tampak menuruni lembah yang terbentuk antara lahan milik Lurah Bakti dan lahan milik Tuan Eickman. Seseorang mengikuti Panca dari belakang.
Siapa orang yang bersama Panca?
Mata Anna berfokus pada orang di belakang Panca. Tubuhnya jangkung, di kepalanya terbelit sehelai kain hijau, jubah menghiasi tubuhnya. Dari penampilan orang itu siapa pun akan tahu jika dia orang Arab.
Ketika mendekat, Anna bisa memperoleh jawaban dari pertanyaan yang terbersit dalam hatinya.
"Nona Anna, apa kabarmu?"
Orang yang datang bersama Panca menyapa seakan mereka sudah kenal lama.
"Saya ... baik, Tuan."
Panca melirik, "kalian sudah saling kenal?"
"Tentu saja. Kita pernah bertemu di kereta api waktu itu."
"Tuan ...."
"Saya Hasyim, pedagang dari Cirebon. Sekedar berjalan-jalan. Maaf bila mengganggu pagi anda yang cerah."
"Tuan Hasyim, eee ...."
"Kenapa, Nona. Adakah yang ingin anda sampaikan pada saya?"
"Tidak. Saya ... hanya tidak menyangka jika kita akan berjumpa di sini."
"Dunia benar-benar sempit, Nona."
Anna mengangguk. Dia tersenyum. Sebuah senyum yang dipaksakan.
Percakapan diantara mereka berlangsung singkat saja. Panca dan Tuan Hasyim meneruskan jalan-jalan pagi menyusuri sungai.
"Kami hanya minta izin untuk berjalan-jalan di perkebunan," Tuan Hasyim menutup perbincangan sambil berlalu.
"Ya, silakan. Semoga Tuan bisa menikmati suasananya."
Anna lupa jika dia hendak memberi makan ikan. Pakan di ember terjatuh ke tanah tanpa disadari.
Gadis itu malah berlari menuju puncak bukit. Menyusuri jalan setapak diantara rerumputan yang tumbuh tinggi. Hingga akhirnya anak remaja itu sampai di depan pintu rumah.
"Ayah, pembunuh itu ada di sini ...."
Tuan Eickman menoleh kepada Anna. Kedua tangan berhenti mengelap senapan. Laki-laki itu menatap tajam anak gadisnya.
"Benarkah?"
"Iya, Ayah. Sekarang dia ada di kebun teh. Sedang berjalan-jalan bersama Panca."
"Mungkin kau salah lihat waktu itu. Atau, mungkin hanya mirip ...."
"Tidak, Ayah. Dia benar-benar orang yang telah membunuh Tuan Edward di kereta api waktu itu."
Tuan Eickman mulai menganggap serius kata-kata yang keluar dari mulut anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Misteri / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...