Anna belum sanggup menenangkan dirinya. Bagaimanapun gadis itu tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
"Tenanglah, ada Ayah di sini," Tuan Eickman menenangkan putrinya sambil memegang tangan gadis itu.
Anna mengangguk. "Tapi, Ayah ... para centeng pasti memiliki alasan kenapa mereka mencurigai Tuan Hasyim."
Tuan Eickman pun mengerti maksud putrinya. Ketegangan di wajah Anna tampak setelah kejadian di kereta api tempo hari. Tragedi pembunuhan Tuan Edward telah mengguncang jiwanya. Begitulah kesimpulan atas apa yang diamati Tuan Eickman.
Sebenarnya, ketegangan di wajah Anna mulai mereda. Dia kembali ceria sebagaimana sebagaimana biasa. Bermain bersama Bruno _anjing peliharaannya atau memberi pakan ratusan hewan ternak milik keluarga sang ayah.
Namun, ketegangan di wajah putriku kembali terlihat. Sesaat setelah menyaksikan pria itu datang ke sini.
Tuan Eickman itu memanggil para centeng yang bertugas menjaga keamanan. Dia bermaksud meminta keterangan atas apa yang sebenarnya telah terjadi. Beberapa orang diantara mereka ditanyai perihal keributan di kebun teh.
Dalam waktu singkat, berkumpullah para lelaki berjenggot dan berkumis tebal. Mereka berdiri melingkar di beranda.
"Anna, sebaiknya kau masuk. Biar Ayah ...."
"Tidak, Ayah. Aku harus tahu keterangan dari Paman-paman ini."
"Tapi, itu akan membuat kau semakin tegang."
"Ayah, justru aku akan lebih berhati-hati ketika mendapatkan lebih banyak informasi tentang dia."
Tuan Eickman menganggukan kepala. Dia mengerti maksud anak gadisnya.
"Bruno, lalu kenapa kau masih ada di sini?"
Tuan Eickman tersenyum ketika melihat anjing labrador itu duduk dan memandangi orang yang berkumpul.
"Ayah, Bruno mengerti apa yang sedang kita hadapi?"
Tuan Eickman heran dengan apa yang dikatakan anaknya. Dia tersenyum. Begitupula para centeng itu.
"Percayalah. Kalian menyaksikan sendiri jika anjing ini sangat membantu kita selama ini."
Tuan Eickman menganggukan kepala. Kemudian dia kembali pada pokok persoalan.
"Siapa yang pertama kali menangkap kecurigaan pada Tuan Hasyim?"
Diantara centeng yang berdiri, mereka saling lirik. Mungkin mereka bingung harus bercerita mulai dari mana. Bagi Tuan Eickman, itu bukan hal baru. Sehingga, tuan tanah itu harus lebih bersabar menghadapi anak buahnya yang kurang sigap.
"Baiklah, diantara kalian ... siapa yang memulai perkelahian dengan Tuan Hasyim?"
"Saya, Tuan," seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus menjawab.
"Apakah dia membuatmu marah?"
"Ya, Tuan. Orang itu bersikukuh untuk masuk ke wilayah perkebunan. Padahal, saya sudah melarangnya."
"Kenapa kau melarangnya? Bukankah dia sudah mendapatkan izin dari Anna? Lagipula dia bersama Raden Panca, orang yang kita kenal."
"Karena, saya mendapat tanda dari petugas menara."
"Tanda apa?"
"Tanda ... jika laki-laki itu mencurigakan."
Tuan Eickman memandang ke arah menara. Bangunan itu terletak di sudut pekarangan rumah. Tepat di sebelah timur tempat orang-orang itu berkumpul. Tingginya hingga sekitar 10 meter. Dibangun untuk menjadi tempat mengawasi perkebunan sekaligus memasang lonceng.
Lonceng biasa dibunyikan sebagai penanda jika pegawai harus bekerja atau beristirahat. Sedangkan petugasnya juga harus mengawasi setiap jengkal tanah perkebunan yang luas. Apabila malam, ada lampu sorot yang dinyalakan seperti mercusuar di pantai.
"Kau yakin jika dia mencurigakan?" Tuan Eickman bertanya pada petugas menara.
"Ya, Tuan."
"Mencurigakan bagaimana?"
"Dia ... memperhatikan setiap bagian dari perkebunan."
"Bukankah itu biasa. Dia belum pernah datang ke tempat ini."
"Maaf, Tuan. Mungkin kecurigaan saya terdengar berlebihan. Tapi, orang itu ... seperti sedang menghitung sesuatu."
"Menghitung?"
"Saya melihat matanya, berkali-kali mengarah pada para centeng. Dia seperti berusaha mengenali setiap bagian dari perkebunan ini."
Tuan Eickman terdiam. Dia melihat wajah Anna. Wajah gadis itu menatap lurus mengarah ke hamparan pohon teh yang sedang dipetik oleh pegawai pemetik daun. Dari kejauhan, tampak betapa cekatan tangan mereka memetik daun. Dengan caping bertepi lebar, seperti jamur diantara rerumputan yang hijau.
"Mungkin dia bermaksud jahat, Ayah?" Anna memberikan kesimpulan.
Tuan Eickman memegang tangan anaknya, "sayang, aku tahu kau khawatir. Tapi, kita pun tidak usah berpikir berlebihan. Karena itu bisa mengganggumu."
Anna sulit mengikuti saran ayahnya. Rona wajahnya tidak berubah. Tetap tegang.
"Baiklah, kalian boleh kembali ke pos masing-masing. Berikan laporan padaku, apa yang kalian anggap mencurigakan."
Setelah tidak dibutuhkan keterangannya, para petugas keamanan itu kembali ke tempatnya masing-masing. Mereka berjalan ke arah yang berbeda. Ada yang kembali ke atas menara, tepi perkebunan hingga perbatasan lahan.
"Ayah, apakah ayah memikirkan apa yang aku pikirkan?"
"Maksudmu?"
"Ayah, aku merasa orang itu merencanakan sesuatu ... sesuatu yang jahat."
"Berbuat jahat bagaimana, mungkin dia hanya berniat mencuri. Seperti pencuri kampung yang sering tertangkap."
"Bukan, bukan itu, Ayah. Tolong Ayah menanggapinya dengan serius."
Tuan Eickman menyimpan senapannya.
"Mungkin dia mengincar nyawaku ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...