Anna mempersiapkan diri untuk menyambut komplotan pengganggu yang baru saja masuk ke dalam gerbong. Mereka datang seperti sekawanan monyet kelaparan yang masuk ke dalam rumah tanpa permisi.
Suara orang berkelahi terdengar. Dua pengawal yang sedang berjaga di luar gerbong tak berdaya ketika komplotan itu datang. Dalam sekali serang, keduanya terlempar hingga jatuh ke tanah. Mereka terlempar dari atas gerbong hingga tersungkur di bebatuan yang berfungsi sebagai peredam getaran.
Anna masih sulit mengerti kenapa pengawal itu begitu tidak berdaya. Mereka dibayar mahal untuk memberikan keamanan pada rombongan Tuan Eickman. Tapi, mereka hanya berfungsi sebagai "pajangan" untuk dipamerkan kepada penumpang lain.
Ketika pintu gerbong dibuka, tampaklah sekawanan orang-orang bertopeng masuk satu per satu. Anna tahu harus melakukan apa.
Dor!
Moncong senapan mengeluarkan sebutir peluru.
"Arghh!"
Satu orang tertembak. Dia jatuh tersungkur. Darah mengalir di lantai.
Namun, mereka tidak sendiri. Temannya berlari ke depan dengan cekatan. Anna tidak bisa mengarahkan senapan dengan tepat. Orang bertopeng itu melemparkan sebuah pisau kecil ke arah lengan Anna.
Untung saja, Tuan Eickman mendorong Anna hingga terjatuh ke samping. Gadis itu selamat dari tusukan pisau. Anna terkaget-kaget. Membutuhkan waktu bagi gadis itu untuk kembali fokus pada pertarungan.
"Kau tidak apa-apa?"
Anna menganggukkan kepala.
Komplotan orang bertopeng itu tidak menghentikan serangan. Tangan mereka cekatan mengayunkan golok ke berbagai arah. Tentu saja Anna dan Tuan Eickman pun tidak kalah sigap menghindar. Senjata penyerang malah terbentur pada kursi.
Lima penumpang lain yang tidak tahu duduk persoalan hanya bisa terdiam. Mereka ketakutan. Tidak ada seorang pun yang berani membantu untuk melindungi Anna dan ayahnya.
"Hei, hentikan!"
Ternyata orang yang ditunggu datang juga. Raden Aditama masuk ke dalam gerbong melalui jendela.
"Kau ke mana saja?"
"Maaf, Tuan. Urusan di luar baru bisa diselesaikan."
Raden Aditama memasang kuda-kuda, tangan kosong tanpa senjata. Dengan diawali sebuah senyuman sinis, laki-laki itu maju ke depan. Menerjang siapa pun yang berani melawan.
Sepertinya Anna tidak perlu membantu karena para penyerang itu
bukan lawan yang sepadan untuk Raden Aditama. Senjata seperti golok atau pisau seakan tak berguna menghadapi tangan kosong seorang jawara.Untuk sesaat, Raden Aditama di atas angin. Serangan-serangan lawan bisa dipatahkan dengan mudah. Namun, jumlah mereka hingga sepuluh orang makanya Raden Aditama mulai merasakan kelelahan.
Sebenarnya, laki-laki itu bisa menebas leher para penyerangnya. Namun, dia hanya ingin melumpuhkan para pengacau itu. Dia menginginkan mereka bisa tertangkap hidup-hidup. Tapi, itu bukan hal penting lagi. Orang-orang ini harus mati saat ini juga.
Raden Aditama mulai mencabut golok. Dia menggunakan senjata itu untuk menusuk ulu hati atau menebas tangan lawan.
"Ahhh! Sialan!"
"Bajingan!"
Kata-kata kasar mulai keluar dari mulut mereka. Darah bercucuran. Sungguh bukan pemandangan yang layak dilihat oleh seorang gadis remaja seperti Anna.
Gadis itu tidak tahu harus melalukan apa. Dia hanya bisa memukul keras penjahat itu ketika dia terhuyung tepat ke arahnya.
Duuk!
Orang itu pingsan. Dan, Anna ketagihan untuk melakukan hal yang sama. Senapan di tangannya diayunkan ke depan hingga mengenai kepala orang yang sedang mengerahkan tenaga menyerang Raden Aditama.
Pertarungan terus berlanjut hingga tersisa tiga orang. Ketika teman-temannya sudah terluka parah, tiga orang itu seperti sengaja menunggu lawannya kelelahan. Mereka mulai tahu kelemahan lawannya. Sehingga salah seorang diantara mereka mengayunkan golok dengan sekuat tenaga ke pundak Raden Aditama. Dia diserang dari belakang.
Namun, serangan itu gagal.
Sebilah pisau menancap tepat di batang lehernya. Darah mengucur deras. Dia pun jatuh tersungkur.
Penumpang lain yang ketakutan tidak menyangka jika Pratiwi sanggup melempar pisau hingga tepat sasaran. Kedatangan gadis yang langsung melayangkan serangan cukup tidak memberikan kesempatan lawannya untuk menghindar. Akhirnya, benda ini berguna, pikir Pratiwi.
Tersisa dua orang, maka mereka pun terkepung dari dua sisi. Sisi sebelahnya ada Anna yang mengacungkan senapan. Dan, di sisi lain ada Raden Aditama bersama Pratiwi.
Mereka berdua tampak kalut.
Namun, tak dinyana salah seorang diantara mereka melompat ke atas kursi kemudian berusaha keluar dari gerbong melalui jendela. Sayang, itu tidak berhasil. Si Bruno segera menggigit pantat orang itu dan menariknya untuk kembali masuk.
Sedangkan temannya, berusaha kabur dengan melompat ke kursi kemudian melayang ke arah pintu gerbong. Pratiwi belum sempat melemparkan pisau. Dia sudah berhasil keluar dan mengancam Panca yang sedang berdiri di depan pintu.
Tentu saja Panca mundur. Dia tidak ingin mati konyol dengan melawan orang yang mengacungkan golok. Perlahan anak itu mundur menjauh dari pintu.
Sayang, si penyerang tidak mengira jika masih ada orang yang menunggu di luar pintu. Satu tendangan di ulu hati sudah sanggup membuatnya terjatuh tersungkur ke tanah.
"Terimakasih, Bajra."
Bajra tersenyum.
Ketika adegan penghabisan sedang berlangsung, ternyata Anna masih geram dengan satu orang yang tersisa.
"Siapa yang mengutus kalian?"
Anna membentak sambil membuka topeng kayu yang dikenakan seorang laki-laki. Dia malah tersenyum ketika ditanya demikian. Wajahnya terlihat lemah dan lelah. Tersirat keputusasaan dalam raut mukanya.
"Katakan!"
Sudah dua kali Anna membentak. Tapi, orang itu tidak mau menjawab. Sekaligus tidak berani melawan karena ujung senapan menempel di kepala. Tak dinyana, dia malah merogoh sesuatu dari dalam bajunya.
Srrrttt, sebilah pisau menggorok leher. Dia bunuh diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...