39

47 20 0
                                    

Keesokan harinya, Panca dan yang lainnya tidak bisa segera pulang. Mereka harus menjalani pemeriksaan di Kantor Polisi setempat. Jadwal kepulangan mereka pun harus diundur hingga siang.

Kini, di siang hari yang cerah, rombongan yang dipimpin oleh Tuan Eickman itu baru bisa melanjutkan perjalanan hingga di Stasiun. Mereka menunggu keberangkatan kereta api selanjutnya.

"Kau tampak kelelahan. Aku juga, ingin segera sampai dan tertidur seharian."

"Aku belum tentu bisa tidur, Pratiwi."

"Nona, apalagi yang kau pikirkan. Semua urusan sudah selesai. Aku lega," Pratiwi bicara sambil memandangi langit yang cerah.

"Bagaimana bisa kau merasa lega, tidak adakah dalam pikiranmu ... tentang kebenaran perkataan Nyonya Edward?"

"Perkataan yang mana, Nona?"

Anna menghela nafas panjang. Dia menyenderkan punggungnya di kursi tunggu Stasiun.

"Jika pembunuh Tuan Edward ...."

"Adalah ayahku?"

Anna mengangguk.

"Sebenarnya aku pun ingin tahu kepastiannya. Namun, aku sudah terbiasa untuk tidak perlu tahu apa yang dilakukan ayahku di belakang kami. Aku belajar dari ibuku."

"Bagaimana bisa?"

"Karena kehidupan di luar sana begitu kejam. Kau menyaksikan sendiri bagaimana Tuan Eickman bertaruh nyawa demi mempertahankan perusahaan yang kalian miliki?"

"Tapi, kebenaran itu harus terungkap."

"Kebenaran yang mana? Kau bicara di depanku tentang kebenaran?"

"Tentu saja aku harus bicara itu."

"Nona, aku bisa berdamai denganmu selama ini ... aku tidak memegang satu prinsip kebenaran. Kalian, datang ke tanah kami kemudian merampas milik kami, apakah itu suatu kebenaran?"

Anna agak terkejut ketika Pratiwi berbicara demikian.

"Kami, bangsa pribumi, bukan tidak tahu kebenaran. Kami hanya ingin hidup tanpa banyak pertentangan. Jika takdir kami harus menjadi warga kelas rendah, kami menerimanya."

Anna terdiam.

Sebenarnya, obrolan mereka tidak selalu seserius itu. Mungkin karena terbawa suasana genting, apa yang dipikirkan oleh Anna dan Pratiwi menjadi begitu serius.

Persahabatan Anna dengan Pratiwi, Panca serta Bajra memang sesuatu yang unik dalam ukuran masa itu. Ketika gadis perkebunan _anak tuan tanah_ sudi untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan orang-orang pribumi. Persahabatan mereka sampai pada titik dimana mereka bisa saling ejek hingga bertengkar. Namun, pada akhirnya mereka akan kembali berbaikan.

Sikap keras kepala Anna bisa dimaklumi oleh teman-temannya. Jika dilihat dari luar, teman-temannya seperti mengalah sebagaimana orang-orang pribumi yang selalu mengalah pada orang Eropa. Namun, sikap itulah yang membuat Anna memiliki kepercayaan. Berbanding terbalik sebagaimana doktrin yang berlaku saat itu jika orang pribumi itu bodoh dan tidak bisa dipercaya. Makanya, orang pribumi tidak layak dijadikan sahabat bagi orang Eropa.

Begitupula ketika Pratiwi begitu berterus terang. Anna tidak merasa heran ketika sahabatnya itu berbeda pandangan dalam masalah-masalah yang lebih luas. Anna lebih suka menghentikan obrolan ketika Pratiwi menyindir sikap orang Eropa di Nusantara.

Anna melamun, sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia menyadari jika apa yang dikatakan Pratiwi sulit disanggah. Hanya suara peluit yang bisa menggoyahkan lamunannya.

Tuuuutttt!

Suara peluit pun terdengar. Kereta sudah siap untuk kembali berangkat.

"Kami pun tidak terlalu banyak mengeluh jika harus berada di gerbong berbeda dengan kalian," Pratiwi bicara sambil mengangkat buntalan bawaan miliknya.

Gadis itu berjalan ke arah gerbong kelas III, mengikuti Panca, Bajra dan si Bruno yang berlari-lari kegirangan.

Anna masih duduk termangu ketika Kepala Stasiun meminta semua calon penumpang untuk masuk ke dalam gerbong. Pria berkumis melengkung itu berjalan ke arah si gadis dan meminta Anna untuk segera masuk. Ayahnya pun harus membujuk Anna untuk segera masuk ke dalam gerbong.

Tidak lama berlalu, Anna pun berjalan gontai ke dalam gerbong dan duduk di kursi barisan paling depan. Gerbong kelas I saat keberangkatan itu masih kosong. Hanya ada tujuh penumpang berpakaian rapih dengan gaun dan kemeja terbaiknya. Kecuali, Anna dan Tuan Eickman yang terpaksa harus mengenakan baju lusuh. Mereka tidak sempat mandi apalagi berganti pakaian.

"Tadi, Ayah bicara apa dengan Kepala Stasiun?"

"Sekitar kasus yang terjadi. Ternyata isunya sudah sampai di telinganya."

"Gosip cepat menyebar."

"Mungkin, polisi sengaja memberitahunya."

"Mengapa harus memberitahu Kepala Stasiun?"

"Polisi berkesimpulan jika kasus ini masih ada hubungannya dengan kasus di terowongan tempo hari."

"Ya, aku mengerti. Pihak perusahaan kereta api harus bertanggungjawab."

Percakapan ayah dan anak itu terhenti. Mereka lebih suka menggunakan waktu di perjalanan untuk beristirahat. Menikmati pemandangan melalui jendela.

Kereta api meninggalkan kota Sukabumi ke arah Buitenzorg. Deru mesin terdengar keras sebagaimana biasanya lokomotif menarik gerbong-gerbong menyusuri perbukitan.

Anna melihat ayahnya sudah terpejam, atau hanya berusaha memejamkan mata; meskipun kursi kayu bukan tempat nyaman untuk tertidur. Seorang kondektur menghampiri seperti sedang memeriksa keadaan. Laki-laki paruh baya berkulit cokelat itu belum bermaksud memeriksa karcis. Hanya tersenyum pada para penumpang sebagai salam penyambutan.

"Tuan, apakah perjalanan kereta api selalu dikawal oleh pasukan berkuda?" Anna bertanya pada si kondektur.

"Tentu tidak, Nona. Kuda tidak akan sanggup mengikuti laju kereta api. Hewan itu bisa kelelahan," si Kondektur tertawa renyah mendengar pertanyaan Anna.

"Lalu, siapakah mereka yang berkuda di ujung gerbong?"

Si Kondektur melongok ke luar jendela, "sialan!"

"Kenapa Tuan? Ada yang salah?"

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang