45

53 24 0
                                    

Panca memutarbalikkan arah pedati. Anak remaja itu kalut ketika mendengar ada sekelompok orang yang mencari ayahnya.

"Kita kembali ke desa, Raden?" Bajra menginginkan kepastian.

"Ya, kita harus memberitahu warga desa jika bahaya sedang mengintai."

Pedati berjalan pelan dan Panca tidak bisa menunggu waktu lebih lama lagi.  Jarak dari desa tetangga menuju Desa Pujasari cukup jauh. Ditambah jalan yang menanjak bisa menyusahkan laju dua ekor sapi yang menarik pedati.

"Ah, andai aku tahu jika mereka akan datang, aku tidak akan berangkat berdagang!"

"Aku juga berpikir begitu, Raden."

Di atas pedati, keduanya membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di Desa Pujasari. Satu sisi mereka berdua terlambat memperoleh berita kedatangan komplotan orang itu. Di sisi lain, mereka bersyukur karena belum jauh dari kampungnya.

"Jika mereka sudah tiba di desa kita sejak kemarin, berarti mereka sudah ...."

"Setidaknya mereka sudah melakukan pengintaian sejak kemarin. Aku yakin jika mereka melakukan itu."

"Celakanya, Raden Aditama sedang tidak di rumah. Dia sedang pergi ke Batavia."

"Sepertinya itu menjadi pertimbangan para penjahat itu."

Bajra tidak bisa mengajak si sapi untuk berlari layaknya kuda. Karena keadaan demikian, anak remaja itu mengajukan usul.

"Bagaimana kalau kita turun di sini. Kemudian memotong jalan lewat kebun warga."

"Ya, aku setuju."

"Bagaimana dengan si sapi?"

"Kau bawa mereka pulang. Aku akan berjalan kaki melalui kebun warga."

Panca langsung melompat dari atas pedati. Dia tidak memperdulikan Bajra yang tidak ingin ditinggal sendirian.

"Hei, tunggu aku!"

"Kau jangan ikut aku, siapa tahu ada orang yang berpapasan denganmu. Katakan pada mereka untuk kembali pulang!"

Panca begitu cepat menghilang dari pandangan. Dia sudah berlari menyusup ke dalam semak belukar menjauh dari jalan berbatu.

Panca tidak ingin menengok ke belakang dan menghiraukan panggilan Bajra. Hal yang dipikirkannya adalah bagaimana bisa cepat sampai di kampung dan menyampaikan kabar penting yang baru saja didapatinya.

Anak remaja itu berlari seakan kesurupan. Berlari sangat cepat diantara pepohonan yang menjulang tinggi. Kadang berlari diantara bebatuan yang menonjol di tanah. Onak dan duri tidak dihiraukannya. Kaki telanjang Panca begitu cekatan menapaki tanah kapur di perbukitan.

Bola mata nan hitam tidak mau melihat ke belakang. Pandangannya senantiasa tertuju ke atas bukit. Atap-atap rumah di Desa Pujasari belum tampak. Berarti pemukiman warga masih jauh dari jangkauan.

Namun, dalam pandanganya pun dia melihat sesuatu yang mengherankan. Sesuatu yang tidak lazim ada di perkebunan warga.

Ini jejak kaki kuda.

Panca berhenti berlari, sejenak. Dia merunduk, khawatir ada seseorang yang memperhatikannya.

Jejak kaki kuda ternyata tidak mengarah ke Desa Pujasari. Mungkin mereka sengaja menjaga jarak.

Panca kembali berlari. Dengan segenap tenaga yang dimiliki, dia berlari ke arah bukit dimana pemukiman mulai tampak meskipun dari kejauhan.

Ada pohon pisang yang menghalangi, mencoba untuk disingkirkan. Ada seekor ular sedang berjemur tepat di jalan setapak kosong dari rerumputan. Itu pun dihalau oleh Panca.

Dalam waktu beberapa menit kemudian, Panca bisa melihat dengan jelas atap rumah penduduk.  Terlihat pula kandang ternak serta penghuninya. Kuda-kuda yang mengibaskan ekor. Domba yang terus mengembik, bersamaan. Ayam yang berlarian sambil terus bersahutan.

Apakah hewan-hewan itu mencium bahaya?

Ketika perasaannya semakin cemas, maka Panca tidak ragu untuk berlari menaiki bukit yang menanjak. Ada jalan setapak menuju kampung. Di jalan setapak itulah dia bertemu dengan seseorang yang dikenalinya. Sekaligus dia pun melihat sekelompok orang yang tidak asing baginya.

Sialan! Aku terlambat!

Panca berteriak untuk mengalihkan perhatian, "Anna!"

Tentu saja semua orang menengok ke arah Panca di lereng bukit.

"Panca, jangan mendekat!"

Peringatan dari Anna tidak dihiraukan oleh Panca. Dia tidak melihat dengan jelas apa yang tengah terjadi. Punggung bukit dan bongkahan batu menghalangi pandangan. Ditambah, pepohonan berukuran besar yang menyulitkan pandangan.

Ternyata, maksud Anna melarang Panca mendekat bisa dimengerti ketika mereka saling berdekatan.

Panca terheran-heran, "Pratiwi, kenapa denganmu ...?"

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang