19

65 26 0
                                    

Panca heran dengan kedatangan Anna. Masih terlalu pagi bagi gadis itu untuk menemui para sahabatnya. Karena, biasanya mereka bertemu saat waktu senggang kala petang.

"Nona Anna," Bajra berdiri sambil memegang sebuah gentong yang masih basah.

Gadis itu turun dari kuda dengan gaun tidur yang masih dikenakannya.  Karena suhu udara begitu dingin, Anna mengenakan sweater berbahan wol sebagai pelapis luar baju tidur yang tipis.

"Raden, kita harus bicara!"

Kaki kiri gadis itu masih menempel di sadel, tapi dia sudah langsung berteriak dan meminta perhatian. Tentu saja itu bukan hal aneh bagi warga lain yang sering melihat Anna berteriak-teriak ketika bertamu.

"Selamat pagi, Nona."

Panca hanya tersenyum melihat wajah Anna yang tegang. Tentu saja gadis itu tidak suka dengan cara Panca menyambutnya. Hei, aku bukan tamu. Tidak usah beramah-tamah.

"Dengan kau juga, Bajra. Dan, juga Pratiwi." Anna menatap Bajra yang masih memegang gentong.

Panca menoleh pada Bajra. Pasti gadis ini ada maunya.

"Aku hanya meminta waktu kalian ... sebentar saja. Kita bicara di tempat biasa." Anna mendesak Panca dan Bajra untuk menghentikan pekerjaannya.

Burung-burung masih enggan untuk terbang. Rumput-rumput pun masih enggan bergoyang. Tapi, Anna sudah mengajak Panca dan Bajra untuk berkumpul di bawah pohon ketapang yang rimbun. Pohon itu agak jauh di belakang kandang ternak. Berbatasan langsung dengan kebun garapan warga.

"Ada apa ini? Pagi-pagi sekali kau sudah mengajak kami berunding," Pratiwi berjalan mendekat sambil merasa terheran-heran.

Anna tidak langsung menjawab. Dia menatap ketiga orang di depannya satu per satu.

"Selama ini, aku menaruh kepercayaan pada kalian."

"Ya, kami tahu itu, Nona. Tapi, ada apa? Adakah yang bisa kami bantu?"

"Aku hanya ingin menunjukan ini."

Anna menunjukan sesuatu pada ketiga orang sahabatnya. Bukan sesuatu yang istimewa bagi mereka tapi menjadi masalah serius ketika pertama kali melihatnya.

"Wah, koran terbaru?" Bajra sumringah melihat benda di tangan Anna.

"Berita tentang apa, Bajra?" Panca penasaran.

"Tentang ... pembunuhan ... di kereta api ...."

"Bukankah itu kejadian yang kau ceritakan tempo hari, Nona?" Panca mengingatkan kembali obrolan mereka beberapa hari yang lalu.

"Ya."

Anna melirik pada Pratiwi. Tentu gadis berkebaya itu merasa heran dengan tatapan Anna.

"Pembunuhnya sudah tertangkap. Di sini disebutkan begitu." Bajra menyampaikan isi berita utama di koran berbahasa Belanda itu.

Panca dan Pratiwi sama-sama melihat koran yang berisi berita serta foto dari tersangka pembunuh Tuan Edward. Pembunuh itu terlihat dirantai tangan dan kakinya. Di sebelah kanan ada seorang polisi yang sedang memegang tangan si tahanan. Dengan seragam yang tampak hitam _karena foto hitam putih_ si polisi memasang wajah angkuh sambil memegang senapan.

Anna mengalihkan pandangan ke arah cakrawala di sebelah utara. Hamparan sawah terlihat dari kejauhan. Sesekali melintas burung kuntul berbulu putih begitu kontras diantara langit yang biru.

"Berarti, bagus jika pembunuhnya sudah tertangkap." Panca berkomentar pada sebuah situasi yang tidak sepenuhnya dia mengerti.

Anna menghela nafas.

"Tapi, berita itu bohong. Aku yakin itu rekayasa."

"Bagaimana bisa kau menyimpulkan begitu?"

Anna kembali menghela nafas.

"Nona, katakanlah. Jangan membuat kami kebingungan."

Bajra malah menelisik isi pikiran Anna dengan sebuah pertanyaan, "Nona, jujur pada kami ... apakah ada bagian yang belum kau ceritakan mengenai kejadian pembunuhan itu?"

Anna tidak langsung menjawab pertanyaan Bajra.

"Ah, seharusnya aku tidak mengatakan ini pada kalian." Anna terlihat salah tingkah.

"Maksudmu apa? Benar apa yang dikatakan Bajra. Kau tidak menceritakan dengan lengkap apa yang kau lihat di kereta api itu?"

Anna meraih koran dari tangan Bajra. "Aku belum selesai membaca seluruh isi koran. Karena baru tiba pagi ini. Maaf, aku mengganggu kalian."

Gadis berambut pirang itu enggan menjawab pertanyaan Bajra. Dan, Bajra pun terlihat yakin akan prasangka yang dia lontarkan.

Anna melangkahkan kakinya. Tapi, dug, sepatu but yang dikenakan tersandung akar pohon. Anna hampir jatuh tersungkur.

"Tenang, Nona." Pratiwi meraih tangan kanan gadis berkulit putih itu, "kami akan selalu ada di pihakmu. Bukankah kau sudah menaruh kepercayaan pada kami? Kami pun begitu."

Anna menghentikan langkahnya.

"Ini berat untuk kukatakan." Anna menghembuskan udara dari hidungnya, mencoba untuk tenang. "Pratiwi, sebenarnya ... aku melihat ayahmu di kereta api itu?"

Pratiwi kaget, "untuk apa ayahku ada di sana?"

"Dia terlibat perkelahian ... dengan seseorang yang kemarin aku lihat dia bersama Panca."

"Tuan Hasyim?"


Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang