12

74 21 0
                                    

Anna berjalan di belakang ayahnya. Mereka berdua melewati jalan setapak yang langsung menuju bukit di belakang rumahnya. Bukan bukit yang tinggi tetapi hanya gundukan tanah bekas pembangunan rumah perkebunan milik Tuan Eickman.

Ada pohon kamboja yang mulai tumbuh tepat di atas bukit itu. Kebetulan saat itu sedang berbunga. Warna putih dengan variasi merah di beberapa tempat. Bukan tanpa alasan sang pemilik menanam pohon kamboja di sana. Sebagaimana kebiasaan penduduk Pribumi yang suka menanam kamboja di pemakaman. Maka di tempat itu pun ada 3 makam yang dinaungi pohon kamboja.

"Ayah akan mengajakku ke sini?" Anna bertanya sambil menyaksikan kesedihan di wajah ayahnya.

"Ya, ayah hanya ... berpikir jika mereka ingin ditemani."

Mata Anna mulai berkaca-kaca. Bagaimana tidak, ayahnya mengajak gadis itu melewati pemakaman ibu dan kedua saudaranya. Pemakaman itu memang tidak jauh dari rumah Tuan Eickman. Hanya membutuhkan jalan kaki beberapa puluh langkah maka mereka berdua sudah tiba di tempat peristirahatan terakhir orang-orang terkasihnya.

"Ayah jangan bicara begitu, masih ada aku di sini," Anna bicara dengan lirih sambil menatap ayahnya.

Tuan Eickman tersenyum. Sepertinya dia tidak ingin membuat anak gadisnya larut dalam kesedihan. Untuk itu, dia mengajak Anna untuk kembali berjalan.

Mereka meninggalkan barisan nisan yang dicor disertai tulisan sebagai keterangan siapa jenazah yang dikuburkan di dalamnya. Sebelum melangkah, Anna memegang nisan bercat putih itu kemudian membuat tanda salib di depan dada. Dia berdo'a dalam hatinya untuk orang-orang yang dicintainya.

Anna berjalan tergesa untuk mengejar langkah kaki Tuan Eickman. Hingga akhirnya mereka sampai di perbatasan antara lahan perkebunan dengan hutan.

"Coba perhatikan, apa yang kau lihat di hadapanmu?" Tuan Eickman bertanya sesuatu yang sederhana.

Mereka berdua berdiri pinggir hutan.  Tempatnya mengamati keadaan lebih tinggi dari areal perkebunan. Semua itu dikarenakan tanah milik Tuan Eickman berada di kaki gunung. Tidak jauh dari sana, terhampar lereng gunung yang masih lebat dengan pepohonan.

"Itu rumah kita, kandang kuda, kandang unggas, kandang domba, kandang sapi." Anna menunjuk ke pekarangan belakang. Kemudian dia menunjuk ke pekarangan depan. "Itu menara, kebun sayuran, kebun teh ...."

"Hanya itu yang kau lihat?"

"Ya, rumah kita berwarna putih, terbuat dari tembok, bergaya Indo Eropa.  Dikelilingi rumah panggung para pegawai  ...."

"Anna, itulah yang telah aku bangun selama bertahun-tahun. Waktu terasa cepat berlalu. Ayah membangunnya ketika kau masih bayi. Sekarang, kau sudah remaja ... dan inilah yang tersaji."

"Aku harus menjaganya, itu kan yang Ayah inginkan."

Tuan Eickman mengangguk.

"Kenapa Ayah berbicara begitu padaku? Memangnya, Ayah mau ke mana?"

"Ayah tidak akan ke mana-mana. Hanya saja, aku berharap kau belajar banyak ... bagaimana mempertahankan semua ini."

"Ya, aku sudah belajar banyak hal. Bagaimana Ayah mengelola perkebunan ini juga sering aku perhatikan."

"Satu hal lagi, pelajaran yang ingin aku sampaikan hari ini."

"Apa itu?"

Tuan Eickman berbalik badan. Dia memegang senapan yang tergantung di bahu.

Anna mengikuti Tuan Eickman berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah terbentuk dalam waktu lama. Jalan setapak itu mengarah ke dalam hutan yang masih lebat. Hutan yang belum termanfaatkan kecuali menjadi arena untuk berburu bagi warga setempat.

Sesekali terdengar suara burung elang terdengar dari kejauhan. Mungkin dia hewan liar yang sedang kelaparan. Hari sudah siang tetapi belum mendapatkan mangsa untuk dimakan.

Pada masa itu, bukan hal yang lumrah seorang gadis diajak berburu oleh ayahnya. Tapi, begitulah cara Tuan Eickman mendidik anak gadisnya. Dia ingin Anna terampil menembak sehingga kegiatan ini menjadi hal rutin yang harus dilakukan.

"Dengar, ada suara di balik semak-semak itu," Tuan Eickman mengacungkan tangan kirinya. Pertanda jika Anna harus berhenti melangkah dan memusatkan perhatian. Begitupula dengan Si Bruno, dia harus berhenti mengendus dan memusatkan penglihatannya.

"Seekor celeng?" Anna mengira-ngira.

"Mungkin," Tuan Eickman mulai mempersiapkan senapan.

Begitupula Anna yang sigap memegang popor senapan kemudian mengarahkan moncongnya ke semak-semak yang bergerak-gerak.

Bruno bukan hewan pemburu. Dia anjing penjaga rumah yang baik. Pemiliknya terdahulu adalah seorang kawan Tuan Eickman di Batavia. Berburu adalah kegiatan yang baru bagi Bruno.  Kini, dia mulai mahir menjadi teman berburu yang baik.

Begitupun hari itu, kedua kaki depannya seakan siap menerkam apa pun mangsa di depannya. Anna mengelus-elus punggung hewan peliharaan itu sebagai tanda jika dia harus menenangkan diri.

"Bersiap, Anna," Tuan Eickman berbisik sambil bersiap untuk menembak. Kaki kiri di depan dengan tangan kanan siap menarik pelatuk.

Anna terbiasa untuk menunggu mangsa menampakan diri. Sebuah seni mengolah kesabaran yang harus terus diasah. Jika mangsa belum menampakan diri maka kemungkinan gagal tembak akan lebih tinggi. Dan, seorang pemburu tidak menginginkan itu.

Aha, seekor kancil. Batin Anna senang ketika si pelanduk mulai menampakan moncongnya.

Telunjuk gadis itu sudah siap menarik pelatuk.

"Sekarang!" Tuan Eickman memberi aba-aba dengan berbisik.

Anna menghela nafas panjang.

Dor! Dor!

Dua letupan senapan terdengar. Mungkin suaranya terdengar hingga ke areal perkebunan. Andai itu bukan Tuan Eickman, maka orang-orang akan panik. Tapi, pegawai di perkebunan sudah paham jika ayah dan anak itu sedang berburu. Belajar untuk mempertahan diri mereka dari bahaya.

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang