57

105 29 2
                                    

Panca dan Bajra berhasil masuk ke dalam lubang itu kemudian menutup pintunya. Masih terdengar samar orang yang berusaha mendobrak dari arah luar.

"Bagaimana, Nona? Apa yang harus kita lakukan?" Panca meminta arahan Anna.

"Kita diam saja di sini. Mudah-mudahan dia tidak berhasil masuk."

Ruangan itu gelap. Tak ada setitik pun cahaya masuk. Oleh karena itu, Anna meraba-raba dinding tanah ruangan di sekitarnya. Hingga, gadis itu berhasil menemukan benda yang dicarinya. Sebatang lilin dan sebuah pemantik api.

"Ah, ternyata begini suasananya," Bajra akhirnya bisa bernafas lega karena gelap pun sirna.

"Tidak terlalu luas, tapi cukup untuk kita berada di sini beberapa saat."

Anna membuka sebuah peti yang memanjang dengan lebar sekitar setengah meter. Dia menemukan obat luka yang diperlukan serta segulung kain kasa. Setelah dibasuh air, luka di di kakinya dibalut hingga darah berhenti keluar dari balik kulitnya yang semakin pucat.

"Ayahku sudah mempersiapkan ini jauh-jauh hari," Anna membuka percakapan.

"Aku jadi teringat lubang yang ada di bawah kediaman Nyonya Edward," Bajra tersenyum sambil menengadahkan wajah ke langit-langit yang rendah.

"Iya, mirip," Panca pun melakukan hal yang sama sembari menyentuh dinding lubang.

"Benarkah?"

Panca dan Bajra mengangguk. Si Bruno pun sepertinya setuju dengan pernyataan Panca dan Bajra. Hanya saja, tidak terlihat bagaimana seekor anjing setuju akan pernyataan dua orang manusia.

"Bedanya, di sini sudah tersedia perlengkapan untuk bertahan hidup,"  Bajra menambahkan ceritanya.

Anna menyenderkan tubuhnya di dinding. Dia duduk di atas peti yang sekaligus berfungsi untuk tempat tidur. Kedua kaki gadis itu menjulur ke arah pintu yang berjarak tidak lebih dari satu meter.

Suasana hening sejenak.

Hingga pada akhirnya, Panca memecahkan kesunyian, "Nona, sepertinya ada yang kau pikirkan?"

"Iya, aku ... terpikirkan sesuatu yang belum mendapatkan jawaban."

"Apa itu?" Bajra bertanya penasaran.

Anna terdiam sejenak. Sorot matanya seperti kosong. Pikiran gadis itu menerawang ke tempat lain.

"Kenapa, Nona? Kenapa kau diam?"

"Jika lubang ini mirip dengan yang ada di kediaman Nyonya Edward, terpikirkah oleh kalian ... jika ini bukan kebetulan?"

Panca dan Bajra saling lirik. Sedangkan si Bruno hanya memejamkan matanya. Anjing itu ingin sekali melepaskan lelah.

"Entahlah, Nona. Mungkin kebiasaan membuat lubang untuk perlindungan seperti ini bukanlah hal baru. Jadi, siapa pun bisa saja memiliki gagasan yang sama," Panca berpendapat.

"Iya, mungkin sekali begitu, Nona."

Anna menganggukan kepala. Antara setuju dengan pendapat kedua kawannya atau menerima pendapat demikian.

"Ah, kalian lapar? Di sini ada makanan. Daging kancil yang telah diawetkan, juga ada roti."

Anna membuka peti kemudian meraih sebuah toples kaca yang tertutup rapat. Mereka berempat memakan perbekalan yang sudah tersedia sejak lama di sana.

"Apakah sesuatu yang salah, jika aku meragukan kejujuran ayahku sendiri?"

Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba demikian, Panca dan Bajra heran. Mereka berdua menatap Anna.

"Coba kalian ingat-ingat, kejadian di kereta api, kemudian kejadian di Sukabumi _rumah Nyonya Edward_ lalu kejadian hari ini."

"Ya, aku ingat hal itu," Bajra bicara sambil mengunyah.

"Raden, apakah kau tidak merasa aneh dengan Paman Aditama?"

"Tidak."

"Pertama, pada kejadian di kereta api menuju Bandung, Raden Aditama ... adalah orang yang dikejar. Kedua, pada kejadian di rumah Nyonya Edward ... Raden Aditama tiba-tiba ke luar dari lubang."

"Kami tidak mengetahui, tiba-tiba dia datang dari arah lubang," Bajra menambahkan.

"Ketiga, Raden Aditama datang hari ini ... dengan topeng di wajahnya."

Panca dan Bajra saling lirik.

"Aku curiga, jika ayahku ada di balik semua ini ...."

Panca dan Bajra menggelengkan kepala.

"Aku memang tidak memiliki bukti. Tapi, kecurigaanku semakin kuat ketika komplotan penjahat itu bicara tentang kesepakatan yang tidak ditunaikan oleh ayahku."

"Jadi, hari ini mereka datang untuk menagih janji dari Tuan Eickman?"

"Janji apa?"

"Aku rasa, ayahku menjanjikan sesuatu pada mereka. Mungkin imbalan, aku tidak tahu."

"Aku bingung, Nona."

Anna pun menoleh pada kedua kawannya, "sama, aku juga."

Bajra menghela nafas kemudian meminum air yang tersedia di botol kaca. "Nona, jadi komplotan itu siapa?"

"Aku yakin mereka anak buah Tuan Hasyim yang sengaja diutus untuk menagih janji."

"Atau, mereka merasa dikhianati karena pimpinannya malah masuk penjara."

Panca memejamkan mata. Kemudian membukanya kembali dan menatap api di lilin yang mulai redup.

"Dengar, suara pintu didobrak tidak terdengar lagi."

"Ya, sepertinya orang itu telah pergi."

"Atau, mati karena racun ular itu bekerja."

Anna memilih untuk menunggu hingga beberapa saat. Sambil beristirahat, mereka hanya ingin memastikan jika keadaan sudah membaik. Bajra mencoba memejamkan mata hingga dia tertidur. Hingga, Panca membangunkannya.

Pintu kayu itu dibuka. Cahaya matahari tidak terang sebagaimana sebelumnya. Hutan yang mulai gelap menjadi pertanda petang menjelang.

"Paman Aditama, sejak kapan di sini?"

"Oh, Nona. Sejak tadi, tentu saja. Keadaan sudah aman, Nona. Apakah kau mau pulang?"

"Ya. Tapi, bagaimana Paman tahu jika ada komplotan datang ...?"

"Sejak kemarin lusa, saya mendengar kabar jika ada puluhan orang datang dari Cirebon dengan kereta api. Saya sedang di Batavia, makanya mengikuti mereka hingga ke sini."

Anna menganggukan kepala. Kemudian matanya tertuju pada seseorang yang sedang menggali tanah.

"Ayah, apa yang sedang Ayah lakukan?"

"Oh, Sayangku. Dia orang yang tadi mengejar kalian. Raden Aditama berhasil 'membereskannya'. Makanya, aku menyuruh dia istirahat saja."

Anna melirik ke arah Raden Aditama yang merebahkan diri di dinding tebing. Ada sebuah topeng tergeletak di dekatnya berjejer dengan golok yang penuh dengan darah.

Tuan Eickman menggali sebuah kuburan dengan sekop berkarat. Alat itu sepertinya sudah tersedia di sini sejak lama.

"Ayah, bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Tentu, Sayangku," laki-laki itu menjawab sambil terus menggali. Keringat membasahi kemeja putih yang mulai lusuh.

Mata Anna berkaca-kaca. Itu terlihat ketika dia menoleh ada Panca dan Bajra yang duduk di pintu lubang.

"Ayah, apakah Ayah yang memberi perintah kepada Paman Aditama ... untuk membunuh Tuan Edward?"

-Selesai-

_________________________

Terima kasih sudah membaca, memberi tanda bintang dan berkomentar.
Boleh berkunjung ke #SerialPanca lainnya.

Semoga terhibur.

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang