Sebilah pisau menyayat kulit seekor pelanduk yang baru saja ditembak. Kecil tubuh hewan itu lebih mirip seekor kelinci dibanding seekor anak domba.
"Lain kali, kau harus belajar menyayat kulit hewan seperti ini," Tuan Eickman meminta anak gadisnya untuk meniru.
"Tidak, aku tidak bisa. Lebih baik aku mencari buah-buahan untuk bertahan hidup di hutan."
"Buah-buahan memang baik untuk tubuh. Tapi, kau membutuhkan daging untuk menambah tenaga."
Bagi Anna, kadang dia tidak tega pada hewan yang disayat seperti itu. Anak gadis itu memang penyayang hewan, tapi sang ayah memaksanya untuk belajar berburu dengan alasan keterpaksaan.
"Jika hanya ini yang ingin Ayah tunjukan, kenapa tidak menunggu besok saja."
"Aku tahu kau sedang tidak ingin belajar berburu. Tapi, bukan ini perkara utama yang ingin aku tunjukan."
"Apa lagi? Masih adakah?"
Tuan Eickman begitu cekatan melepaskan kulit si kancil dari tubuhnya. Bukan karena kesibukan, laki-laki itu tidak langsung menjawab pertanyaan anak gadisnya. Dia ingin menjawab itu dengan sesuatu yang ingin ditunjukannya.
"Sebentar, bersabarlah. Kau harus belajar bersabar ketika berada di tengah hutan."
"Tapi, ini bukan hutan belantara. Rumah kita pun masih terlihat dari sini. Hanya terhalang barisan pohon ...."
"Anggap saja ini keadaan bahaya ... benar-benar bahaya ... dan seperti yang sudah kukatakan ... hal yang ingin kutunjukan sama pentingnya dengan nyawamu ...."
Darah Anna berdesir. Dia melihat keseriusan di wajah ayahnya. Dan, dia tidak ingin lagi banyak membantah.
Tuan Eickman menggaruk gundukan daun dan sedikit tanah yang masih gembur. Dia meraih ranting kering yang tergeletak di tanah. Ranting itu digunakan untuk membuat sebuah galian dangkal diantara akar-akar yang menonjol.
"Itu untuk apa?"
"Kita tidak akan membawa hasil buruan ke rumah. Kulitnya harus dikubur di sini."
"Agar tidak meninggalkan jejak?"
"Dan cepat membusuk."
"Lalu, kita akan membawa daging hewan ini ke mana?"
Tuan Eickman tersenyum. Ternyata kau penasaran juga, gadis manis.
Tuan Eickman beranjak. Dia memikul senapan dengan karkas si kancil tergantung di moncongnya. Dia pun berjalan dengan langkah tegap.
Anna berjalan mengikuti ayahnya. Sedangkan Bruno berlari-lari kecil di depan mereka berdua. Menyusuri hutan yang masih lebat sehingga cahaya matahari nyaris tidak menyentuh tanah. Terhalang oleh dedaunan yang rimbun di atas kepala.
"Masih jauh?"
"Sebentar lagi," Tuan Eickman memberi harapan agar anaknya tidak terus bertanya-tanya.
"Semakin lama semakin gelap."
"Ya, dan kau harus hafalkan jalan menuju ke sini."
"Sepertinya bisa, tidak terlalu sulit."
"Ada sumber air, kau sudah pernah ke sini kan?"
"Ya," Anna menjawab dengan mantap.
Tuan Eickman berhenti melangkah. Dia menyimpan hasil buruannya di atas tanah beralaskan daun pisang yang lebar.
"Tapi, kau belum pernah ke sana kan?"
Anna merasa heran dengan pertanyaan ayahnya. Tuan Eickman berjalan beberapa langkah tidak jauh dari sumber air yang mengalir dari dalam tanah.
"Ada apa di sana?"
"Bawa daging itu kemari. Kau akan tahu ada apa di sini."
Anna menggendong daging pelanduk dengan kedua tangannya. Dia mendekat ke arah sebuah lereng curam diantara bebatuan. Lereng itu tersamarkan oleh tumbuhan yang merambat.
"Sebenarnya, Ayah ingin menunjukan ini padamu ...."
Anna terbelalak ketika Tuan Eickman menyingkapkan tanaman merambat itu. Sesuatu yang menarik bagi Anna. Gadis itu pun tersenyum gembira.
"Ini Ayah buatkan khusus untukmu."
Tuan Eickman mengarahkan pandangan ke berbagai arah. Dia memeriksa apakah ada orang yang mengikuti karena apa yang akan ditunjukan adalah hal yang rahasia.
Sebuah pintu terbuat dari kayu berukuran sekitar 1 meter persegi. Terlihat masih baru dibuat karena papannya terlihat masih basah. Terpasang di tebing yang tidak terlalu curam. Tepat diantara 2 pohon jati berukuran besar.
"Ayah yang membuatnya?"
"Ya, masuklah," Tuan Eickman mengajak Anna sambil membukakan pintu. "Cepat masuk, jangan sampai ada yang tahu keberadaan tempat ini."
Anna pun segera masuk dengan menggendong karkas di dadanya. Setelah ketiganya masuk, pintu ditutup kembali. Ruangan menjadi gelap.
"Tenang, di sini ada lilin." Tuan Eickman menyalakan sebuah lilin yang sudah siap dengan wadah berpenutup kaca. Modelnya mirip lentera yang bisa dijinjing.
"Wah, ini luar biasa, Ayah."
Sebuah ceruk dengan diameter sekitar 1 meter serta panjang sekitar 3 meter. Sudah dilengkapi dengan bangku panjang untuk tidur.
"Ada bantalnya juga, selimut, tikar ... meskipun tidak ada kasur, tapi kamu bisa menggunakan dedaunan agar tidak terlalu keras. Di sini."
Tuan Eickman membuka bangku yang lebih mirip peti kayu memanjang dengan lebar setengah dari diameter ceruk itu.
"Ada buku juga?" Tangan Anna meraih buku yang tersimpan rapi.
"Agar kau tidak bosan berada di sini. Ada juga makanan, korek api, pemantik, pisau, kapak ... dan ini ... linggis bekas pembuatan ceruk ini."
"Palu dan paku juga? Bagaimana Ayah membawanya ke sini?"
Tuan Eickman tidak menjawabnya.
"Jadi, Ayah bukan berburu beberapa hari terakhir?"
"Ya, khusus menyiapkan ini untukmu ... dan untuk Bruno."
Anjing itu langsung tiduran di atas tanah ketika baru saja masuk ke dalam ceruk.
"Pintunya dibuat 2 lapis agar kedap suara dan cahaya. Kau bisa keluar mengambil air dengan botol dan menyimpannya di kendi-kendi ini."
Anna menatap wajah ayahnya. Matanya berkaca-kaca.
"Kau tidak usah heran kenapa Ayah membuat ini. Sejak kejadian pembunuhan Tuan Edward, Ayah terinspirasi dari terowongan kereta untuk membuat tempat berlindung."
"Jadi, Ayah sudah merasa jika aku ada dalam bahaya?"
"Ya, kau saksi pembunuhan itu. Dan, tadi pagi ... aku lihat kau begitu ketakutan. Ayah harap kau tahu apa yang harus dilakukan jika bahaya mengintai kita ...."
Tuan Eickman bicara pelan sambil membaluri daging dengan garam agar lebih awet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...