5

95 26 0
                                    

Pratiwi melamun di beranda rumah. Padahal hari masih pagi. Bukan kebiasaan gadis itu melamun sepagi itu.

"Kau sedang  melamunkan apa, Pratiwi?" Panca menyadarkan sepupunya.

"Tidak ada," Pratiwi menjawab sekenanya. Dia duduk sambil menopang dagu dengan pandangan ke depan. Tanpa menghiraukan orang di sekitarnya.

"Biasanya kau sudah selesai mengepel lantai, ini malah melamun."

Panca berjalan tepat di depan Pratiwi yang masih duduk di beranda rumah panggung berlantai papan kayu. Warnanya semakin menghitam ketika bertahun-tahun rumah itu ditempati. Rumah yang tidak memiliki perbedaan mencolok dengan rumah tetangganya. Dengan atap ijuk, serta berdinding anyaman bambu.

"Kau masih memikirkan ... tentang ayahmu yang belum pulang?" Panca mencoba menerka.

Pratiwi mengerlingkan mata.

"Mungkin saja, Paman Aditama masih banyak urusan di Batavia."

"Iya, aku mengerti. Hanya saja, tidak seperti biasanya. Ayahku biasa pulang akhir pekan. Tapi, hari ini ...."

Panca menganggukan kepala. Kemudian dia berlalu meninggalkan Pratiwi menuju gudang gerabah yang akan dijemur. 

Pratiwi sulit menghentikan lamunannya. Bukan sekedar melamun, tetapi lebih mengkhawatirkan ayahnya yang belum pulang. Hingga, tanpa sadar ada seseorang yang datang mendekatinya.

"Permisi, Nyimas."

"Eh, Tuan. Silakan duduk. Akan saya bawakan teh hangat," Pratiwi bangkit kemudian mempersilakan orang yang datang untuk duduk di lantai kayu beranda rumah.

"Tidak usah, Nyimas. Saya sudah minum teh di rumah Ki Lurah."

"Kalau Nyimas ...."

"Pratiwi, nama saya Pratiwi."

"Kalau Nyimas Pratiwi bermaksud melanjutkan kegiatan, silakan saja. Saya akan melanjutkan jalan-jalan menikmati pagi ini."

"Tuan ...."

"Saya Hasyim."

"Tuan Hasyim, saya minta maaf."

"Minta maaf untuk apa?"

"Kemarin sore saya sudah menguping pembicaraan anda dengan Paman Lurah."

"Oh, tidak apa-apa. Saya mengerti jika Nyimas penasaran akan maksud kedatangan saya."

Pratiwi menganggukan kepala sembari tersenyum malu.

"Saya juga mengerti, kenapa Nyimas bersembunyi di kebun singkong ... ketika melihat saya, sore kemarin."

Sekali lagi, Pratiwi tersipu malu.

"Sudah sewajarnya, Nyimas tidak mempercayai orang asing begitu saja."

"Ya, sekali lagi saya minta maaf. Tidak ada maksud saya seperti itu."

"Sudahlah. Lupakan saja."

Tuan Hasyim menganggukan kepala. Dia tersenyum pada Pratiwi dan juga pada orang-orang yang sedang bekerja merapikan gerabah di pekarangan.

Sudah menjadi kebiasaan warga Desa Pujasari menjemur gerabah ketika pagi menjelang. Ada guci, tempayan dan pot bunga yang dibuat dari tanah liat. Benda-benda itu diatur rapi di atas bambu yang dibuat pipih seperti papan.

"Di sana, ada kebun teh. Kalau boleh tahu, itu milik siapa ya?" Tuan Hasyim bertanya pada Panca yang berpapasan dengan Tuan Hasyim.

"Itu ... perkebunan milik Tuan Eickman. Kalau Tuan mau, saya antar untuk sekedar berjalan-jalan."

"Oh, saya bisa sendiri."

"Maaf Tuan, saya tidak bermaksud menyinggung ... tapi alangkah baiknya jika orang yang belum dikenal ... berjalan-jalan dengan penduduk di sini. Agar tidak terjadi salam paham."

"Oh, saya mengerti. Baiklah kalau begitu."

Panca membasuh tangannya di tempayan dekat beranda. Hampir setiap rumah di sini menyediakan tempayan berisi air. Hal yang jarang dilihat Tuan Hasyim di perkotaan.

"Selain untuk membasuh tangan, untuk minum juga."

Tuan Hasyim heran dengan penjelasan Panca.

"Bukan untuk orang minum. Tapi, untuk hewan liar."

Tuan Hasyim menganggukan kepala.

Sementara Panca dan Tuan Hasyim berjalan menjauh dari pemukiman, Pratiwi masih seksama memperhatikan laki-laki berwajah Arab itu. Tubuhnya yang tinggi dengan jubah menjuntai tampak sangat timpang dengan Panca yang lebih pendek. Badan anak remaja itu tampak kurus ketika bertelanjang dada.

Aku masih sulit mempercayai orang itu. Entah kenapa, perasaanku mengatakan demikian.

Pratiwi menatap Panca dan Tuan Hasyim yang mulai menghilang di balik semak-semak. Mereka berdua melalui jalan setapak yang terhubung dengan perkebunan milik Tuan Eickman.

Pratiwi membalikan badan. Dia bermaksud masuk ke dalam rumah. Namun, niatnya diurungkan ketika ada seseorang yang datang.

"Assalamu'alaikum," seorang laki-laki datang dengan berkuda.

"Wassalamu'alaikum," semua yang ada di pekarangan menjawab salam.

Pratiwi sumringah ketika ada yang datang. Pria berbaju pangsi warna hitam itu turun dari kuda. Dia bersalaman dengan warga yang sedang sibuk bekerja.

"Ayah, ternyata Ayah pulang hari ini?"

"Ya, tentu saja. Ayah sudah berjanji padamu untuk selalu pulang."

Setelah beramah tamah dengan warga, orang itu duduk di lantai beranda rumah panggung miliknya. Kemudian dia meminta anak gadisnya untuk membawa minuman sebagai pelepas dahaga.

"Ayah, Ayah tidak apa-apa? Ayah baik-baik saja kan?"

"Ayahmu ini baik-baik saja, kenapa kau bertanya begitu?"

"Ayah seperti ... sedang menahan rasa sakit."

Orang itu menggelengkan kepala. Namun, Pratiwi yakin jika dia melihat orang di depannya meringis kesakitan.

"Apakah Ayah terluka?" Pratiwi bertanya dengan suara pelan.

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang