Anna lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku. Politik menjadi tema buku yang dibaca oleh Anna akhir-akhir ini. Mungkin karena masalah yang menerpa dirinya, Anna lebih tertarik dengan masalah politik.
"Kau ingin tahu tentang apa?"
"Latar belakang dari hal yang sering terjadi pada kita, Ayah. Aku menjadi penasaran kenapa sering ada hal mengerikan terjadi pada keluarga kita. Padahal kita tinggal di pegunungan. Jauh dari kota besar."
"Bagus jika rasa ingin tahumu tinggi."
"Semata karena kebutuhan, Ayah. Aku membutuhkan banyak pengetahuan sebelum aku dewasa."
"Itu juga yang Ayah inginkan. Kau belajar banyak hal dari buku. Makanya Ayah menyediakan banyak buku untuk kau baca."
Anna beranjak dari kursi di ruang tengah. Gadis itu berjalan ke arah pintu ruang belajar. Gaun putih yang dikenakannya berayun dikarenakan langkah kaki yang cepat. Anna tampak tergesa-gesa.
Di ruang belajar, mencari buku tua milik ayahnya. Buku-buku itu berjejer rapih di rak. Sedikit debu terasa di kulit tangan ketika buku diambil. Dia membawa buku bersampul warna merah ke dekat jendela. Anna membutuhkan cahaya untuk membaca judul buku yang tercetak di sampul.
Politik etis, apa maksudnya?
Batin Anna bertanya tentang sesuatu yang menarik baginya. Hanya beberapa hari belakangan dia tertarik untuk membaca buku milik ayahnya. Karena, sebelumnya dia lebih suka membaca buku warisan sang ibu. Novel dan memoar adalah bacaan favoritnya. Kini, Anna tertarik memikirkan hal yang lebih serius dibandingkan sebelumnya.
"Ayah, ayah!"
"Ada apa? Kenapa kau harus berteriak?"
Anna melangkah ke ruang tengah dengan tergesa. Buku bersampul merah itu masih ada di tangannya.
"Lihat, Ayah. Di sini ditulis jika Pemerintah Hindia Belanda harus mengubah pandangannya pada orang-orang pribumi."
Tuan Eickman menoleh pada Anna, "ya. Ayah tahu isi buku itu." Pria berambut pirang itu berhenti mengelap senapan di tangannya.
"Jadi, orang-orang pribumi itu harus dianggap sebagai teman yang telah memberikan keuntungan pada orang-orang Eropa."
"Ya, Ayah setuju dengan pendapat demikian. Kita harus membalas budi baik orang-orang pribumi."
Anna duduk di kursi. Tepat dekat dengan kursi yang diduduki Tuan Eickman.
"Orang-orang Desa Pujasari telah mengubah pandanganku tentang bangsa Pribumi."
"Karena mereka tetangga yang baik, Anna."
"Orang-orang itu telah mengorbankan nyawa untuk kita. Berbanding terbalik dengan anggapan para pejabat tinggi di Batavia tentang orang berkulit cokelat itu."
"Pejabat di Batavia selalu menganggap mereka sebagai warga kelas III yang tidak berhak mendapat perlakuan baik."
"Bahkan termasuk di gerbong kereta api. Aku malu ketika temanku harus terpisah. Untungnya mereka tidak banyak protes."
"Apakah itu juga alasanmu untuk bersedia mengajari mereka menulis dan membaca?"
"Tentu saja, Ayah."
"Padahal kau harus berkorban nyawa untuk itu."
"Setidaknya aku tidak mati dalam rasa bersalah ... kalau pun aku harus mati."
"Kau jangan bicara tentang kematian. Ayah jadi sedih mendengar itu."
"Oh, Ayah. Aku janji tidak akan meninggalkanmu. Ayah tidak usah bersedih begitu."
Anna dan Tuan Eickman tidak berani keluar rumah lagi. Mereka berdua membicarakan banyak hal. Berdiskusi tentang kondisi masyarakat dimana Anna belum pernah melihatnya secara langsung.
Pengalaman Tuan Eickman menjadi cerita yang menarik bagi Anna. Padahal, sebelumnya gadis itu tidak tertarik dengan masa lalu ayahnya sebagai tentara. Pada dasarnya Anna kurang suka peran seorang tentara di negara jajahan. Tentara Hindia Belanda hanya penindas.
Namun, kini Anna melihat ayahnya berbeda. Pria itu berubah menjadi orang yang jarang bicara bahkan jarang sekali terlihat marah-marah pada pegawainya. Cerita tentang seorang tentara yang penuh kekerasan tidak tampak lagi pada diri Tuan Eickman.
"Apakah Ayah sudah menjadi orang yang jarang bicara sejak dahulu?"
"Hei, kenapa kau tiba-tiba begitu, Sayang?" Tuan Eickman menggantung senapan di dinding.
"Aku heran. Ketika terjadi pembunuhan di rumah Nyonya Edward, Ayah terkesan banyak diam."
"Oh, begitu. Karena Ayah ... kalah oleh anak Ayah sendiri kalau urusan bicara. Kau mirip ibumu."
"Oh, Ayah," Anna bicara dengan manja.
"Ya, kalau saja ibumu tidak kuajak hidup di perkebunan, mungkin dia akan menjadi seorang pengacara di Surabaya."
"Begitukah?"
"Ya, Ayah kagum pada cara ibumu berdebat. Sedangkan Ayahmu ini tidak pintar bicara. Apalagi dalam keadaan tegang. Makanya, aku lebih suka menjadi pemburu setelah pensiun dari ketentaraan."
"Seorang pemburu tidak boleh banyak bicara."
"Ya, ditambah, sekarang menjadi tukang kebun. Tanaman itu tidak bisa diajak bicara," Tuan Eickman tersenyum.
"Hehehe."
Anna tersenyum ketika menatap ayahnya. Sejenak dia bisa melupakan ketegangan tadi pagi akibat baku tembak yang tidak terencana. Ketika siang bergulir, pikiran gadis itu sedikit lebih tenang.
"Tuan, ada yang mencurigakan!" Seorang centeng ternyata berteriak dari pintu depan.
Aduh, baru saja ketegangan itu pergi. Sekarang datang lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...