"Nona, apakah kita harus berkenalan dengan para pengawal ini satu per satu?"
Anna heran dengan pertanyaan itu.
"Mereka banyak, Nona. Kita harus menjalin keakraban dengan mereka," Panca menambahkan sambil tersenyum.
Setelah berpikir sejenak Anna menjawab pertanyaan Bajra, "oh ya, tentu saja. Mari kita berkenalan. Ini waktunya berkenalan dengan siapa pun dan apa pun di sini ...."
Anna berusaha untuk tidak bersikap kaku dengan puluhan pengawal tamu. Mereka yang berdiri dengan tatapan penuh kecurigaan disapa sambil menawarkan makanan dan minuman.
"Paman, Paman mari kita menikmati udara yang sejuk sambil meminum secangkir teh hangat."
Anna dan ketiga kawannya berkeliling membawa piring berisi kudapan dan poci berisi teh hangat. Mereka sengaja menawarkan diri untuk membantu para pembantu melayani tamu.
"Tuan Eickman, putri anda sungguh gadis yang manis," Nyonya Edward memuji Anna di hadapan ayahnya.
"Ya begitulah. Sepertinya hal demikian membuat dia senang," Tuan Eickman menanggapi sambil tersenyum.
"Pratiwi yang mengajariku untuk melakukan ini, karena Ayah lebih suka mengajariku menembak, Nyonya."
Nyonya Edward tertawa. Giginya nyaris terlihat sebelum tangan kiri menutup mulutnya. Baginya, hal demikian sesuatu yang lucu. Ketika anak gadis lain diajari untuk mengurus rumah tangga, Anna diajari untuk menembak.
"Sepertinya Tuan Eickman mengajarkan bagaimana menembak hewan buruan dengan baik padamu, Sayangku."
"Seperti itulah, Nyonya. Semua hewan telah saya tembak."
"Kecuali harimau," Tuan Eickman menambahkan.
"Ohoo ho ho."
Nyonya Edward terlihat semakin tua ketika dia tertawa. Suaranya terdengar lemah layaknya orang yang kehilangan banyak tenaga. Kerutan di wajah wanita itu semakin terlihat nyata ketika dia bicara. Walaupun dia berusaha terus beramah tamah pada tamunya, tapi raut kesedihan akibat ditinggal suaminya masih sulit dia sembunyikan.
Gaun hitam yang dikenakan menjadi pertanda jika dia masih menjadi seorang istri yang baru saja ditinggalkan suami. Rambut yang sudah beruban seakan mengatakan jika dia segera menyusul suaminya ke alam baka.
"Nyonya, tidak bermaksud untuk menambahkan duka, saya hanya ...." Tuan Eickman memegang topi dengan kedua kanannya sambil sedikit membungkukkan badannya dia bermaksud menanyakan sesuatu.
"Ya, saya sudah mendengar beritanya. Saya tidak menyangka Tuan Hofland akan menyusul suamiku. Saya belum sempat berkunjung kepada keluarganya. Saya akan menjadwalkan waktu untuk pergi berkunjung."
"Saya juga belum sempat berkunjung. Baru kemarin pagi beritanya saya terima."
Anna melihat wajah ayahnya begitu sedih. Begitupula dengan Nyonya Edward.
"Tuan dan juga ... kau Sayangku, atas nama keluargaku, aku mohon maaf atas ketidaknyamanan yang kalian rasakan."
"Oh, kami senang Nyonya bisa berkunjung ke mari," Anna tersenyum manis.
"Ya, namun aku juga mengerti kegelisahan semua tamuku. Tidak biasanya kalian membawa pengawal begitu banyak."
Mereka bertiga masih berdiri di beranda tanpa tahu harus melakukan apa lagi. Nyonya Edward seakan menerawang ke dimensi lain. Mata wanita itu memperhatikan hamparan kebun teh yang menghijau.
"Oh, maaf. Tidak seharusnya aku membiarkan kalian tidak nyaman seperti ini."
"Tidak apa-apa, Nyonya. Kami mengerti."
Anna memperhatikan wajah wanita tua itu. Sepertinya dia tetap berusaha untuk membuat para tamunya betah.
"Silakan, kalian menikmati suasana di sini. Aku harus mempersiapkan pertemuan nanti malam. Nanti akan ada orang yang menunjukan kamar kalian."
"Terima kasih, Nyonya."
"Sama-sama. Maaf, saya harus meninggalkan kalian."
Nyonya Edward berlalu kemudian melangkah menuju ruangan belakang rumahnya. Rumah besar bergaya Indo-Eropa dengan tembok tebal bercat putih. Melalui pintu yang terbuka, Anna bisa menyaksikan cukup banyak hiasan dinding diantara warna putih yang mendominasi.
Anna menyaksikan Pratiwi dan Panca bercakap-cakap di bawah pohon. Sepertinya seorang pengawal suka berbincang-bincang dengan seorang gadis yang pandai bicara.
"Ternyata temanmu mudah akrab," Tuan Eickman berkomentar.
"Ya, aku harus banyak belajar dari Pratiwi," Anna menanggapi.
"Kadang kesombongan kita bisa menghilangkan keramahtamahan yang sebetulnya dimiliki."
"Bukankah itu sengaja dibentuk. Prasangka ras tetap ditanamkan dalam benak kami generasi muda walaupun kami mencoba menolaknya."
"Nanti juga kau akan mengerti kenapa harus demikian, Anna."
"Ya, semua hal memiliki tujuan kenapa itu diciptakan. Begitu juga kenapa kita orang Eropa harus menjaga jarak begitu lebar dengan orang Pribumi, padahal mereka sama-sama manusia."
"Sudahlah, bukan saatnya kita berdebat."
"Bukan berdebat, Ayah. Hanya saja batinku terus bertanya-tanya ... kenapa semua hal harus didasarkan pada ras manusia. Bahkan untuk menjadi penumpang di kereta api pun kita dibedakan berdasarkan ras."
"Itu kenyataannya, Sayang."
"Kenyataan yang harus diterima oleh sahabat-sahabatku. Sahabat yang tulus membantu bahkan siap mengorbankan nyawa untukku. Tapi, mereka malah menjadi korban dari keadaan yang sengaja diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda."
Tuan Eickman terdiam.
Anna tahu jika ayahnya sudah tidak sanggup lagi melayani perbincangan yang senantiasa memiliki dasar pemikiran yang berbeda. Bagaimanapun gadis itu lahir dan dibesarkan di tengah perkampungan. Dimana hanya dua orang Eropa di tengah puluhan orang pribumi yang masih menjalankan cara hidup mereka.
"Aku harus menghampiri kawan-kawanku, Ayah. Nanti kita bertemu saat makan malam," Anna meninggalkan ayahnya yang masih berdiri di beranda.
"Ya, jangan lupa. Jangan sampai yang lain menunggu."
Anna mengerlingkan mata. Gadis itu berjalan menjauh dari Tuan Eickman. Dia menyusuri jalan setapak yang terbentuk diantara hamparan rumput yang hijau.
Anna menghampiri Bajra dan Si Bruno yang sudah menunggu di bawah pohon cemara. "Ada perkembangan?"
"Lumayan."
"Maksudnya?"
"Kita jangan membicarakannya di sini, Nona. Terlalu riskan," Bajra bicara dengan suara pelan.
"Memangnya ...."
"Nona, kita belum tahu ... mana kawan dan mana lawan ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Misterio / Suspenso"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...