Suasana Stasiun Buitenzorg riuh rendah sore itu. Bagaimana tidak, di gerbong kereta yang tiba dari Sukabumi, bergelimpangan mayat orang-orang tak dikenal.
Kasus kematian di kereta api memang bukan pertama kali. Namun, kali ini meminta korban lumayan banyak. Setiap orang yang kebetulan berada di Stasiun akan bertanya-tanya kenapa terjadi pembunuhan dengan korban begitu banyak.
"Ada apa ini?" seorang penumpang bertanya pada temannya.
"Mungkin ada perampokan."
"Perampokan? Tapi, kenapa orang-orang bertopeng itu yang menjadi korban?"
"Iya juga. Siapa yang merampok dan siapa yang dirampok?"
Demikianlah perbincangan yang terjadi diantara para penumpang. Teka-teki ada dalam pikiran mereka yang menyaksikan peristiwa menyedihkan itu. Bahkan, orang-orang yang kebetulan baru datang ke Stasiun diharuskan untuk menunggu di luar. Kebijakan itu diambil sebelum para polisi menyelesaikan tugasnya.
Tidak ketinggalan para wartawan yang sudah siap dengan kamera untuk mengabadikan momen. Mata mereka jeli mencermati setiap sudut lokomotif dan gerbong kereta api. Pengamatan mereka biasanya berguna untuk menjadi bahan berita di media massa.
Tampak pula petugas medis yang siap memeriksa jenazah. Kemudian jenazah yang berserakan di dalam gerbong dibawa ke Rumah Sakit dengan menggunakan kereta kuda khusus pengangkut jenazah.
Singkatnya, suasana Stasiun kala itu begitu mencekam. Hal itu membuat kalut Kepala Stasiun yang bertanggung jawab saat itu. Dia seperti tidak mau disalahkan karena kejadian memberi kesan jika kereta api tidak aman.
"Kalian yakin, kalian baik-baik saja?" Kepala Stasiun bertanya pada Anna dan sahabatnya.
"Kami baik-baik saja, Tuan," Anna menjawab dengan suara lesu.
"Aku minta maaf karena tidak bisa menjamin keamanan kepada para penumpangku."
"Tidak apa-apa, Tuan. Ini bukan salah anda," Panca masih bersikap ramah.
Perasaan bersalah itu ternyata tidak tampak di wajah seorang inspektur polisi. Dia datang dengan langkah tegap kemudian menyela percakapan Kepala Stasiun dengan penumpangnya yang duduk di kursi tunggu. Suara pria berkumis itu terkesan menekan, tidak ada sikap bersahabat sedikit pun.
"Lalu, ini salah siapa?"
Semua penumpang mengarahkan pandangan ke arah Sang Inspektur. Tidak terkecuali Kepala Stasiun yang tidak nyaman dengan pertanyaan demikian.
"Maaf, Tuan Polisi. Bisakah kita membicarakan ini lain kali?" Anna menanggapi pertanyaan si Inspektur dengan ketus.
"Maksudmu, Nona?"
"Kami baru saja tiba. Kemalangan sedang menimpa kami. Jadi, kita membicarakan ini pada waktu dan tempat yang tepat."
"Nona Eickman, bagaimana bisa kita menunda perkara ini ...."
"Saya tahu, Tuan. Tapi, tegakah Tuan pada kami ....?"
"Mengapa aku harus tega pada kalian. Kalian yang membunuh mereka."
Kepala Stasiun terlihat tidak senang dengan kedatangan Inspektur Polisi yang terkesan menekan dan menyalahkan rombongan Tuan Eickman dalam perkara ini. Diantara mereka terjadi perbedaan pandangan dalam menangani masalah yang baru saja timbul tanpa diduga.
"Tuan, mari ... kita selesaikan masalah ini dengan hati-hati ...."
"Hati-hati, apa maksud anda?" Inspektur menatap tajam pada Kepala Stasiun.
"Tuan, perusahaan kereta api ...."
"Oh, aku mengerti maksudmu. Kau tidak mau jabatanmu hilang?"
"Tuan, bukan begitu maksudku. Kita selesaikan masalah ini dengan kekeluargaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mystery / Thriller"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...