38

52 22 0
                                    

Tak dinyana tak disangka. Ketika mereka sedang berdebat hebat, tiba-tiba saja ada orang yang menusuk Si Pria Bertopeng dari arah belakang.

"Arrrghh!"

Tentu saja semua orang di dalam ruangan itu kaget dengan apa yang terjadi. Dalam waktu singkat, ruang tengah kediaman Nyonya Edward menjadi tempat pergumulan. Pertarungan sengit antara Si Pria Bertopeng dengan seseorang yang belum dikenal oleh orang yang ada di sana, kecuali Anna, Tuan Eickman dan Pratiwi.

"Ayah?"

Pratiwi menoleh pada Anna, mereka saling tatap. Keheranan, karena tiba-tiba saja ada orang yang datang entah dari mana.

Si Pria Bertopeng terlihat tak berdaya. Raden Aditama terus melakukan pemukulan ke arah kepala. Namun, itu tidak cukup untuk membuat orang itu menyerah kalah. Kepala orang itu seperti kepala seekor ular yang pintar meliuk-liuk. Kepalan tangan lawannya malah menonjok lantai atau meninju rak yang terpajang dekat dengan dinding.

Brak!

Pintu rak hancur berantakan.

Tentu saja Nyonya Edward merasa kejadian ini mengagetkan. Wanita tua  itu berdiri dengan wajah penuh percaya diri.

"Dia, ya dia! Dia yang telah membunuh suamiku!"

Tangan kurus Nyonya Edward menunjuk ke arah dua orang yang sedang bergumul. Dia seakan diberi pencerahan. Matanya terbelalak. Dadanya kembang kempis. Gaun hitam yang menghiasi tubuhnya seakan kaku karena sikap si pemakainya.

"Bagaimana Nyonya tahu jika Raden Aditama adalah pembunuh Tuan Edward?" Anna ingin memastikan.

"Dia yang menusuk ...."

"Waktu itu gerbong kereta dalam keadaan gelap. Kereta masuk ke dalam terowongan dan tidak ada satu orang pun yang melihat kejadian pembunuhan itu!"

Nyonya Edward seakan sulit berbicara.

"Sudahlah, Nyonya. Sebentar lagi polisi datang. Serahkan dirimu pada mereka ...."

"Aku berani bersumpah, aku melihat ...."

"Kalau kau melihat pelaku pembunuhan suamimu, kenapa kau bersaksi pada polisi kau tidak melihat apa yang terjadi! Kenapa kau diam saja ketika koran memberitakan orang yang salah sebagai pelakunya!"

Anna menarik sebuah kesimpulan yang mantap. Dia seperti sudah memahami situasi dan mempersiapkan jawaban atas pertanyaan atau pernyataan yang mungkin ada. Tuan Eickman yang sedari tadi berdiri tidak ikut bicara atau menyela. Laki-laki itu membiarkan anaknya untuk menguasai keadaan.

Pergumulan masih berlangsung. Sekarang, mereka berkelahi dengan tangan kosong. Meskipun Si Pria Bertopeng terluka, dia terus melakukan perlawanan. Sedangkan Raden Aditama, terus berusaha meringkus lawannya tanpa menggunakan senjata.

Pukulan, bantingan, kuncian terus dilakukan.

Hingga, ada suatu kesempatan dimana topeng yang dikenakan bisa dibuka.

"Akhirnya, wajahmu jelas terlihat, Tuan Hasyim ...," Anna memperjelas.

Laki-laki itu tidak lagi menggunakan topeng. Wajahnya jelas terlihat di bawah lampu minyak. Matanya terbelalak seakan mengancam namun ancaman yang tidak berguna. Tubuhnya terkunci dan lemah.

Pratiwi membuka seutas tali yang dililitkan di pinggang. Dengannya, tangan Tuan Hasyim diikat seperti meringkus seorang maling.

"Oh, kalian sudah mempersiapkan semuanya ... hahahaha ...," laki-laki berwajah Arab itu menertawakan kekalahannya.

Darah membasahi lantai. Luka di punggungnya terlihat menganga ketika bajunya tersingkap. Wajahnya menatap langit-langit, tidak berusaha memohon pertolongan pada siapa pun.

"Ini bukan hari kemenanganmu, Tuan Hasyim," Raden Aditama meledek.

"Aku menyesal, kenapa aku tidak membunuhmu waktu itu."

"Kau lupa, kalau aku tidak akan memberi saham perusahaan agar kau tidak membunuhku."

"Ya, kau hanya priyayi miskin."

"Hahaha ... yang terpenting orang-orang masih memanggilku 'raden', Hasyim."

Ketika semua orang memperhatikan dua orang yang sedang bercakap-cakap, ternyata polisi datang. Manusia-manusia berseragam itu langsung masuk ke dalam ruang tengah. Mereka menyaksikan seorang pesakitan yang sudah diringkus.

"Tuan, bisa kalian jelaskan ada apa ini?"

"Seharusnya Nyonya Edward ...," Tuan Eickman belum menyelesaikan kalimatnya.

Ternyata, Nyonya Edward sudah tidak ada di kursi tempatnya duduk. Dia pergi.

"Ke mana dia?"

"Dia masuk ke dapur?"

Namun, ternyata wanita itu kembali dengan langkah mundur. Dia tidak jadi pergi.

"Bruno?" Pratiwi terkaget.

Si Bruno memamerkan giginya yang tajam. Wanita itu ketakutan. Ditambah, Panca dan Bajra menghalangi dia untuk pergi.

"Nyonya, anda mau ke mana?"

"Minggir kalian bocah-bocah tengik!"

"Apakah anda mau pergi melalui lubang yang telah anda buat?"

Ketika mendengar kata "lubang" tentu saja semuanya terheran-heran.

"Ada lubang bawah tanah yang menghubungkan setiap bangunan. Sehingga pembunuh ini bisa masuk dan keluar tanpa diketahui siapa pun." Panca menjelaskan kenapa dia bisa datang dari tempat tak terduga.

"Kami menyusuri lubang itu, tempat cecunguk ini bersembunyi. Dia merencanakan ini semua entah sejak kapan. Pembunuhan ini terencana, Tuan Polisi," Raden Aditama menambahkan.

"Rencana yang rapih, namun gagal karena kecerobohan," Bajra menyimpulkan.

Semua orang menatap Bajra.

"Pembunuh ini lupa jika seekor anjing pun bisa menjadi saksi kasus pembunuhan. Bruno menemukan dia membunuh seekor musang, tepat di mulut lubang. Kami pun menyusuri lubang itu hingga sampai di sini."

Seorang polisi masuk ke dapur untuk memastikan apa yang disampaikan oleh Panca dan Raden Aditama. Kemudian dia kembali melaporkan pada atasannya.

"Komandan, ada pintu menuju lubang bawah tanah di dekat perapian."

"Nyonya Edward, apakah anda merencanakan ini semua?" si Komandan mengonfirmasi.

Wanita itu terdiam.

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang