53

48 21 0
                                    

Panca dan Bajra hanya bisa berdiri termangu ketika menyaksikan Anna ditawan. Mereka terdiam karena sulit mempercayai apa yang sedang disaksikannya. Bi Imah, orang yang sering dijumpai sebagai pembantu rumah tangga di kediaman Tuan Eickman, kini malah menyandera anak majikannya sendiri.

"Sulit dipercaya, Raden."

"Ya, selama ini pikiran kita mengarah pada orang yang jauh dari pandangan. Ternyata, wanita itu adalah musuh dalam selimut."

"Tapi, bagaimana bisa Bi Imah menjadi bagian dari komplotan?"

"Itu yang harus dicari jawabannya. Meskipun sulit."

Panca menyaksikan bagaimana Tuan Eickman dan anak buahnya tidak sanggup berbuat banyak. Mereka menurunkan senapan. Tidak ada yang berani mengacungkan moncong senapan ke arah Bi Imah yang menyandera Anna dengan sebilah pisau.

"Komplotan itu memiliki pisau yang sama dengan yang digunakan Tuan Hasyim."

"Ya, pisau dengan ujungnya yang runcing serta pegangan yang lebih panjang."

"Agar mudah ketika dilemparkan."

"Mirip pisau milik ayahku, biasa digunakan untuk meraut batang bambu."

"Kalau itu, mungkin biasa digunakan mengukir kayu ... untuk dijadikan topeng."

Kini, Anna terlihat diseret semakin menjauh dari pekarangan belakang. Bahkan sudah menjauh dari deretan rumah pegawai yang bersebelahan dengan kandang ternak. Anna dibawa ke atas bukit dekat pemakaman keluarganya.

"Gadis itu mau dibawa ke mana?"

"Entahlah, kita harus mengikutinya."

"Tapi, bisa terjadi sesuatu pada Anna jika kita mengikutinya."

"Tentu saja kita ikuti mereka dengan sembunyi-sembunyi."

Panca mengajak Bajra untuk  melangkah mundur. Mereka berdua berlari kecil ke arah kandang kuda. Berharap tidak ada yang mengetahui gelagatnya karena semua orang tertuju pada Anna yang disandera di atas bukit.

Lebih tepatnya, yang dimaksud bukit adalah gundukan tanah bekas penggalian tanah ketika membuat rumah dan bangunan penunjang lainnya. Kini, gundukan tanah itu menjadi semakin padat sehingga bisa digunakan untuk pemakaman keluarga.

"Ayo, kita ikuti mereka. Tapi, tetap menjaga jarak," Panca berlari ke arah hutan.

Bajra mengikuti di belakang sambil terus merunduk, "hati-hati, Raden."

"Sepertinya komplotan itu akan membawa Anna ke hutan sebelah utara."

Panca dan Bajra tidak bisa melihat dengan jelas Anna dan orang-orang yang menyanderanya. Tubuh mereka terhalang oleh dedaunan. Ada seekor monyet liar bergelantungan namun dia ketakutan oleh banyaknya orang di sana. Perhatian komplotan itu teralihkan oleh si monyet yang terkesan mengganggu.

"Kasihan si Bruno," Bajra tiba-tiba bicara demikian.

"Kenapa dengan anjing itu?"

"Anna harus menjauh darinya."

Panca tidak melihat seperti itu karena  seekor anjing menghampiri komplotan yang menyandera Anna. Si Bruno memberanikan diri untuk mendekati gadis itu. Gonggongan si anjing terdengar membahana. Hutan yang sepi berubah menjadi lebih berisik.

Suara anjing itu mengundang hewan liar lainnya untuk sama-sama berteriak. Satu sama lain saling bersahutan. Monyet yang tadi hanya melongo, dia pun ikut berteriak lantang.

"Binatang-binatang itu tampaknya merasakan hal yang sama," Bajra mengamati.

"Mungkinkah si Bruno meminta bantuan pada mereka?"

"Jika dilihat dari cara hewan itu menanggapi, mereka ... sepertinya ingin berbuat sesuatu."

Suasana hutan berubah menjadi tempat bernyanyi. Entah lagu apa yang mereka nyanyikan. Ketika seekor anjing menyalak, maka seekor monyet berteriak. Anjing kampung yang kebetulan lewat, ikut menggonggong.

Ternyata anggota komplotan penyandera itu merasa terganggu.  Hewan-hewan liar itu terus bersuara nyaring. Hingga salah seorang dari mereka bermaksud menembak. Ujung senapan sudah mengarah pada si Bruno.

"Anjing sialan!"

Salah seorang diantara mereka berteriak karena kesal dengan gonggongan si Bruno. Suara nyaring anjing itu sungguh mengganggu. Ditambah kawanan anjing kampung yang tergoda untuk sama-sama menggonggong.

Jika dihitung, lebih dari sepuluh orang anggota komplotan yang tampak berkerumun. Mereka mengelilingi Anna yang masih tersandera. Mungkin orang-orang itu berjaga-jaga andaikan ada perlawanan dari pihak Tuan Eickman dan anak buahnya.

"Raden, sampai kapan kita harus menunggu di sini?"

Panca berpikir sejenak, "sampai mereka lengah."

"Ya, tapi kapan? Lihatlah, Nona Anna sudah tak berdaya."

Panca masih menatap ke depan. Anak remaja itu mengintip keadaan melalui celah semak-semak. Cahaya matahari menyelusup diantara dedaunan yang rindang.

"Hei, siapa itu?" Terdengar salah seorang diantara mereka berteriak.

Tentu saja Panca kaget ketika keberadaan mereka berdua hampir diketahui. Bahkan, orang yang berteriak itu nyaris menghampiri Panca dan Bajra. Dia berlari kecil ke arah Panca dan Bajra.

"Hei, jangan hiraukan orang-orang itu!"

"Tapi, mereka bisa mengganggu," orang itu menyanggah.

"Kita pusatkan perhatian pada gadis ini!"

Sepertinya, pemimpin komplotan itu lebih tertarik mengurus Anna dibandingkan dua orang yang sekedar mengintip. Kali ini, tujuan mereka hampir tercapai setelah ada Anna dalam genggaman.

Anna kali ini menjadi kunci permainan selanjutnya, pikir Panca.

Bajra menoleh pada Panca. Mereka berdua sama-sama berpikir. Berpikir keras.

"Lihat, Raden. Mereka hampir hilang dari pandangan," Bajra mengingatkan.

"Ya, sepertinya mereka mulai turun dari lereng."

Panca dan Bajra mulai beranjak. Namun, itu urung dilakukan karena terjadi sesuatu.

"Ada seseorang yang datang ...."

"Siapa dia?"

Orang yang baru saja datang itu terlihat berkelahi. Diantara mereka saling serang satu sama lain.

"Anak buah Tuan Eickman? Tapi, sepertinya bukan."

"Lantas, siapa dia?"

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang