Tuan Eickman menemui Anna yang berdiri di beranda. Laki-laki itu tampak gelisah. Sesuatu hal yang wajar ketika mendapati kolega bisnisnya mati terbunuh dalam waktu yang berdekatan. Terlebih, kali ini dia melihat sendiri betapa mengenaskan kondisi mayat Tuan William dan Tuan Robert.
"Sayang, kau juga Pratiwi, kalian harus tetap bersama. Dalam keadaan apapun. Berjanji pada Ayah untuk melakukan itu."
"Iya, aku mengerti, Ayah. Lalu, bagaimana keadaan Tuan Robert?"
"Sama. Sama seperti Tuan William. Sebaiknya kau tidak usah melihatnya. Itu hanya akan mengganggu mentalmu."
"Lantas, apa yang harus kita lakukan, Tuan?" Pratiwi menyela pembicaraan.
"Berlindung. Tetap di sini."
"Tuan. Jika rumah tidak bisa dijadikan tempat berlindung, lalu bagaimana caranya kita berlindung?"
Tuan Eickman terdiam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan dari Pratiwi.
"Berdiam di rumah lebih baik daripada berada di luar. Kita tidak tahu pembunuh itu berada di mana."
Laki-laki itu tidak bisa diam. Dia mondar-mandir di sekitar pekarangan. Kelakuannya itu diperhatikan oleh rombongan penari yang sebelumnya menghibur para tamu. Tuan Eickman menatap rombongan penari itu. Jumlah mereka tidak berkurang semenjak mereka datang. Apakah patut mereka dicurigai?
"Saya pikir, mereka tidak layak dicurigai, Tuan Eickman," dari arah beranda Nyonya Edward bicara dengan suara sedikit keras.
"Maksud Nyonya?"
"Saya tahu jika anda mencurigai para rombongan penari ini. Percayalah, mereka orang-orang yang taat hukum. Saya sudah puluhan kali mengundang mereka datang ke sini. Lagipula mereka bukan orang yang datang dari jauh."
"Maaf, Nyonya. Saya tidak maksud berprasangka. Tapi, keadaan yang membuat saya curiga pada orang yang tak dikenal."
"Saya paham maksud anda. Maka dari itu, untuk meyakinkan anda, saya meminta mereka untuk tetap di sini. Menunggu polisi melakukan penyelidikan."
Anna memperhatikan Nyonya Edward bicara dengan nada yang terdengar tenang. Sejak beberapa jam lalu, wanita tua itu tidak memperlihatkan wajah yang terguncang. Dia malah berjalan mendekat ke arah Tuan Eickman dengan langkah anggun seakan sedang berbicara dalam keadaan yang baik-baik saja.
Anna tersenyum. Senyuman yang pertama kali tersungging dari bibirnya sejak melihat mayat Tuan William. Pratiwi menyadari senyuman itu.
"Pratiwi, mari kita masuk ke dalam," Anna mengajak sahabatnya yang masih memegang bahunya.
"Ya, Nona."
Anna berjalan masuk melalui pintu utama. Mereka mendapati Tuan David dan istrinya sedang duduk di ruang tamu. Pasangan suami istri itu semakin terlihat gelisah. Entah apa yang mereka pikirkan, mungkin sama sebagaimana yang dipikirkan Anna. Gadis itu hanya bisa tersenyum ketika berpapasan dengan keduanya. Sebuah senyuman yang saling menguatkan.
Anna terus berjalan hingga ke ruang tengah. Didapatinya begitu banyak makanan tersaji di meja.
"Bawa ini ke dalam kamar," Anna mengambil sepiring cemilan juga dua cangkir teh hangat. "Kita membutuhkan banyak energi untuk melalui malam ini."
Pratiwi mengerti maksud Anna. Dia membawa nampan penuh dengan makanan. Mengikuti Anna yang masuk ke dalam kamar.
"Nona, kita apakan makanan ini?"
"Simpan di meja kecil itu," Anna menunjuk ke sudut ruangan dimana sebuah meja beserta kursi goyang terpajang.
"Boleh saya makan?"
Anna menganggukkan kepala. "Dengar, aku yakin akan tiba gilirannya Tuan David, atau ... ayahku menjadi korban."
"Kenapa Nona berkesimpulan demikian?"
Anna menghela nafas, "perhatikan. Korbannya, menimpa tamu yang tidur di paviliun. Berarti selanjutnya ...."
"Tuan David. Tapi sepertinya dia menyadari itu."
"Ya, makanya dia tidak berani berada di paviliun."
Anna menghela nafas panjang, "berarti ... pembunuh itu akan datang ke sini."
Pratiwi menganggukan kepala.
"Mari kita makan agar punya banyak tenaga."
Anna mengambil cemilan berupa kue-kue basah buatan juru masak di sana. Makanan itu dimasukannya ke dalam tas selempang. Pratiwi pun menjadikan kain kebaya yang dikenakannya sebagai buntalan berisi banyak makanan. Air di cangkir dimasukan ke dalam botol.
Dia memeriksa senapan yang tersimpan di tas. Anna menyerahkan pisau-pisau kecil untuk diselipkan di balik baju Pratiwi. Gadis itu mengeluarkan celana panjang yang dibawa dari dalam tas. Dia mengenakannya sebagaimana Pratiwi membuka sarung kebaya dan berganti dengan celana panjang hingga betis.
"Pratiwi, ke mana Panca dan Bajra? Apakah kau tahu?"
"Mereka mengikuti Bruno ... entah ke mana."
"Semoga mereka baik-baik saja."
"Mereka tahu jika keadaannya akan seperti ini. Kami sudah memperkirakannya jauh sebelum tiba di sini."
Pratiwi memperhatikan Anna yang merubah penampilannya. Dia tersenyum.
"Kenapa kau tersenyum?"
"Terakhir kali aku melihatmu seperti ini, ketika berkelahi di Batavia."
"Sepertinya itu akan terulang kembali."
Anna membuka jendela. Masih tampak para pengawal sedang berjaga-jaga. Bahkan, ada yang berjaga di atas genteng.
"Aku masih belum mengerti, kenapa pembunuh itu bisa masuk ke dalam paviliun tanpa ada yang mengetahui?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembunuh Bayaran
Mistério / Suspense"Paman, sedang apa Paman Aditama di sini?" Anna menyaksikan seseorang yang dikenalnya sedang melangkah ke arah gerbong selanjutnya. Di belakangnya, ada seorang laki-laki berjubah sedang memegang pisau. Tangan laki-laki itu penuh dengan darah. Begitu...