15

66 25 0
                                    

Malam menjelang, Anna sulit memejamkan mata. Pikiran gadis itu masih diselimuti kekhawatiran yang sulit dijelaskan. Semenjak dia melihat Panca bersama seorang lelaki tak dikenal berkunjung ke perkebunan, Anna seakan melihat manusia setengah setan.

Bagaimanapun, Anna gadis yang belum terbiasa dengan situasi bahaya. Perasaan khawatir itu datang tanpa diundang.

Jika ayahku mengkhawatirkan keselamatanku, apalagi aku.

Batinnya menyimpulkan hal yang mungkin dirasakan Tuan Eickman ketika tadi siang dia memperlihatkan sebuah ceruk untuk berlindung. Dengan alasan keselamatan putrinya, diam-diam pria itu mempersiapkan banyak hal untuk menghadapi segala kemungkinan.

Terlintas dalam pikiran Anna, apa yang sedang dilakukan ayah jika malam tiba. Mungkinkah dia melakukan hal lain?

Atas dasar rasa penasarannya, Anna beranjak dari ranjang. Dia berjalan ke arah pintu kemudian membukanya.

"Ayah, Ayah sedang apa?"

"Hanya membaca buku," Tuan Eickman tampak duduk di kursi goyang dengan ditemani sebuah lentera.

"Apakah Ayah sulit tidur?"

"Tidak juga, aku hanya ingin membaca. Ada buku yang belum sempat kubaca."

Anna kembali menutup pintu. Dia tidak bermaksud mengganggu ayahnya. Waktu malam sepertinya saat yang baik untuk membaca bagi seorang pengusaha yang selalu sibuk kala siang.

Gadis itu melangkah ke ranjang. Kembali berbaring. Dia berusaha menutup mata.

Namun, selang sebentar samar terdengar seseorang berbicara dengan ayahnya. Tentu saja Anna penasaran. Dia selalu penasaran akan apa yang tengah terjadi.

Ayahku berbicara dengan siapa?

Pintu sedikit dibuka. Hanya cukup untuk melihat suasana di luar kamar tanpa harus melongok. Mata gadis itu bisa melihat seseorang tengah berdiri di hadapan Tuan Eickman. Ah, mungkin itu centeng yang sedang melaporkan sesuatu. Anna berpikir demikian karena dia tidak bisa melihat wajah orang itu. Cahaya yang temaram menyulitkan penglihatan. Terlebih, orang itu membelakangi Anna.

"Bagaimana bisa kau masuk ke sini?" Tuan Eickman bertanya dengan nada tenang.

Pertanyaan ayahnya membuat Anna heran. Sepertinya orang itu menyelinap masuk. Anna menyimpulkan demikian. Terlebih dia memperhatikan percakapan selanjutnya.

"Tuan tidak perlu tahu bagaimana saya bisa masuk ke sini."

"Langsung saja, katakan apa maumu?"

Anna heran dengan kalimat yang dilontarkan ayahnya. Sepertinya orang itu tidak takut.

"Kau tahu apa yang kuinginkan, Tuan."

"Aku tahu kau bekerja demi uang. Jika aku memberikan upah 2 kali lipat dari wanita itu, apakah kau mau mengurungkan niatmu?"

"Oh, kau mau bernegosiasi denganku?"

"Bukankah itu yang kau mau? Pasalnya, jika kau berniat menghabisiku ... kenapa tidak kau lakukan sejak kemarin?"

Orang itu tidak menjawab pertanyaan Tuan Eickman.

Anna langsung menutup pintu. Dia kaget ternyata orang itu datang dengan niat jahat. Sayang, gadis itu lupa jika suara berderit engsel pintu bisa mengalihkan perhatian.

"Nona, kenapa kau takut?" Terdengar dari luar kamar orang itu bicara kepada Anna.

"Jangan kau ganggu dia, aku akan memberikan apa yang kau inginkan."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Kau pikir aku bermain-main."

Untuk beberapa saat, dari balik pintu tidak terdengar lagi orang bicara. Anna terkesiap. Dia kembali membuka pintu untuk memastikan apa yang terjadi pada ayahnya.

Ternyata orang itu memakai topeng. Mulutnya pun ditutup sehingga suaranya terdengar menggeram.

"Kenapa Nona, kau begitu takut melihatku?" Tamu tak diundang itu menoleh ke arah Anna yang berdiri di bawah kusen pintu. "Kau mempunyai salah padaku?"

Anna tidak bisa menjawab.

"Letakan senapan di tanganmu, Nona."

Sialan, dia tahu jika aku memegang senapan. Meskipun tangan Anna disembunyikan di belakang pintu, ternyata orang itu bisa memperkirakannya.

"Aku tahu kau memegang senapan yang disembunyikan di belakang pintu. Karena senapan di dinding hanya tergantung satu pucuk."

Kalimat yang keluar dari mulut orang itu terdengar tenang. Tanpa ada tekanan. Itu membuat Anna sulit untuk menerka apa yang diinginkan orang itu.

"Tenang Nona, aku datang ke sini ... untuk memberi pilihan pada ayahmu," orang itu kembali menoleh pada Tuan Eickman yang masih duduk di kursi goyang bersama buku di tangannya.

"Apa yang kau harapkan dariku?"

"Tuan, saya meminta saham dari perkebunan yang kau miliki."

Tuan Eickman tertawa, "dasar pedagang."

"Bagaimana, kau setuju?"

"Baiklah. Kita urus masalah administrasinya besok lusa. Aku harus pergi ke Batavia untuk mengurus itu."

"Saya minta setengahnya dari yang kau miliki."

Tuan Eickman menyimpan bukunya. Wajahnya tidak lagi tenang seperti sebelumnya.

"Dengar, siapa pun kau yang ada di balik topeng ... aku membangun perusahaan ini dengan keringat dan darah. Jadi, tidak semudah itu aku memberikannya padamu."

"Oh, jadi kau lebih mementingkan harta dibandingkan nyawa?"

Suasana hening sejenak. Mata Anna sulit menelisik siapa orang yang ada di balik topeng itu. Namun, dia mulai memperhatikan bentuk tubuhnya.

Laki-laki itu bertubuh tinggi. Tungkai kakinya panjang. Jemarinya pun terlihat panjang. Aku yakin dia orangnya.

"Tuan Eickman, kau sudah menentukan pilihan."

Laki-laki itu berjalan mendekati lentera. Bayang-bayang tubuhnya terbentuk di dinding.

Sialan, dia mulai mencabut pisau. Jantung Anna berdebar semakin kencang.


Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang