9

69 25 0
                                    

"Ayah, berterus teranglah padaku. Apa yang terjadi? Kenapa Ayah terluka?" Pratiwi bertanya dengan berbisik pada Raden Aditama.

"Ssssttt, jangan terus bertanya begitu. Aku tidak ingin tetangga kita meributkan ini. Cukup kau dan ibumu yang tahu."

"Tapi, kenapa Ayah harus merahasiakannya?"

Raden Aditama bersender di dinding. Dia melihat ke langit-langit. Anyaman bambu sebagaimana dinding, mengingatkannya akan sesuatu.

"Kau ingat, Ayahmu pernah dikejar orang-orang di Batavia karena dituduh mencuri?"

"Ya, tentu saja. Apakah mereka masih mengejar Ayah?"

"Sepertinya begitu. Tapi, aku bisa menyelesaikan urusannya."

Sebagai anak, sudah sewajarnya Pratiwi mengkhawatirkan Raden Aditama. Ketika gadis itu menanti kepulangan ayahnya, ternyata siang itu mendapati orang yang dihormatinya itu dalam keadaan terluka.

"Aku hanya tidak ingin warga desa ikut-ikutan dalam masalahku dan memperpanjang urusannya."

Pratiwi menganggukan kepala. Dia memahami maksud ayahnya merahasiakan luka yang dirasakannya.

Perut Raden Aditama mengeluarkan darah. Bukan luka baru, tapi luka itu belum kunjung sembuh. Ketika menunggang kuda tadi, lukanya kembali terguncang. Itu memperparah keadaan.

Tangan kanannya terus memegangi perut sebelah kanan. Bagian dimana luka sayatan terlihat menganga. Kain perban yang awalnya putih kini terlihat semakin memerah bahkan cenderung menghitam karena darah yang merembes dan mengering.

"Sedari tadi, aku tidak melihat Panca. Ke mana anak itu? Apakah dia pergi ke Batavia lagi?"

"Tidak. Dia sedang mengantar tamu Paman Bakti berjalan-jalan."

"Siapa?"

"Namanya Tuan Hasyim."

Raden Aditama terheran-heran ketika mendengar nama itu. Dia memalingkan pandangan ke luar jendela. Angin berhembus menerpa pakaian yang sedang dijemur. Didekatnya, tampak daun jambu bergoyang-goyang. Seakan mengusir seekor burung kutilang yang hinggap di dahan.

"Sepertinya, orang itu baru kali ini datang ke Desa Pujasari. Pasalnya, aku belum pernah melihatnya."

"Memangnya, kau tahu ... ada keperluan apa dia menemui Paman Lurah?"

"Katanya, dia hendak memesan gerabah dalam jumlah banyak."

"Baguslah, kalau begitu usaha keluarga kita kembali menggeliat. Sudah lama tidak ada pesanan dalam jumlah banyak."

"Ya, rencananya akan dibawa ke Cirebon."

"Jauh juga."

"Menggunakan kereta api. Dari sini dibawa ke Stasiun Buitenzorg."

"Kereta api?"

"Ya, tentu saja. Kalau bukan dengan kereta api, akan dibawa pakai apa? Mengangkutnya dengan pedati ya tidak mungkin."

"Ya, tentu saja."

Pratiwi merasa heran ketika melihat air muka  ayahnya. Laki-laki itu tiba-tiba kembali mengalihkan pembicaraan ketika membicarakan kereta api.

"Ah, sepertinya ayah ingin istirahat. Jangan kau bangunkan, meskipun ada yang mencari. Ayahmu ini benar-benar lelah."

Pratiwi menganggukan kepala. Dia paham jika ayahnya pulang ke rumah maka tidak ingin diganggu. 

Kemudian, anak remaja itu berdiri dan meninggalkan ruang tengah menuju dapur. Didapatinya tungku sedang membara. Ibunya memasak sesuatu siang itu.

Karena hari ini ayahnya pulang, Pratiwi memilih di rumah. Dia tidak pergi ke kebun untuk mencari kayu bakar. Sedangkan untuk urusan pakan ternak, dia meminta bantuan sahabatnya sekaligus tetangganya. Untuk urusan memelihara hewan ternak, Bajra memang bisa diandalkan.

Siang itu pun dia baru saja tiba dari pinggir hutan menyabit rumput. Anak laki-laki itu memikul keranjang rumput segar kemudian menyimpannya di dekat kandang domba dan kandang kuda. Keringat tampak mengucur dari kulitnya yang gelap. 

"Bajra, kau tahu dimana Panca?"

"Tidak tahu, Nyimas. Saya pergi sendiri."

"Biasanya kalian selalu berdua ke mana-mana."

"Ya, tapi kan Raden Panca sedang bersama Tuan Hasyim."

Pratiwi terus melihat Bajra dengan tatapan penuh pertanyaan. Orang yang sedang diperhatikan lebih suka membereskan pikulan rumput dibandingkan memperhatikan gadis itu.

"Bajra, bisakah kau jujur padaku?"

"Jujur? Jujur tentang apa, Nyimas?"

"Jujur tentang apa yang kau pikirkan."

Bajra heran dengan kalimat yang terlontar dari mulut sahabatnya.

"Bajra, semua warga di sini tahu ... jika kau anak yang cerdas."

"Lantas?"

"Aku tahu ... kau bisa membaca situasi yang tidak biasa ini ...." Pratiwi menatap Bajra dengan penuh keyakinan.

Bajra mengalihkan pandangan. Dia berpura-pura menenangkan domba-domba yang terus mengembik ketika tahu ada rumput segar tiba.

Mata Pratiwi tidak lepas dari Bajra. Gadis itu terus memperhatikan gelagat yang tidak biasa dari orang di depannya. Bagi warga desa, Bajra adalah tempat bertanya. Kecerdasan anak itu memang di atas rata-rata penduduk. Kadangkala dia seperti cenayang yang bisa memahami pola kejadian yang tidak dimengerti banyak orang.

"Bajra, apakah kau mendengarku?"

"Ya, Nyimas."

"Kalau begitu, jujurlah padaku. Apa yang kau pikirkan ...."

"Tidak ada, Nyimas. Tidak ada yang aneh ...."

"Benarkah? Tidakkah kau merasa heran ... tiba-tiba ada orang tak dikenal ...."

"Tuan Hasyim, maksudmu?"

"Ya, siapa lagi?"

"Nyimas, tidak ada yang aneh dengan dia. Sudahlah kau tidak usah terlalu ...."

"Bajra, aku mengenalmu. Sangat mengenalmu. Kau tidak pandai menyembunyikan rahasia dariku."

Pratiwi berbalik badan. Dia melangkah.

"Kau juga Nyimas, kau pun tidak pandai menyimpan rahasia."

Pratiwi berhenti melangkah.

"Nyimas, aku tahu kau menyimpan rahasia ini demi kebaikan semua orang. Aku juga begitu."

Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang