54

45 21 0
                                    

Anna meringis kesakitan ketika darah terus mengalir dari pergelangan kakinya kirinya yang terluka. Gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika Bi Imah menyandera dengan merekatkan sebilah pisau ke leher.

"Hentikan semua ini, Bi."

"Tidak bisa, Nona. Aku sudah mempersiapkan ini sejak lama. Tidak mungkin aku mengakhirinya begitu saja."

Wajah Anna semakin memerah. Antara marah, sedih sekaligus hampir kehilangan harapan.

"Jika ayahmu peduli padamu, dia akan datang menjemputmu."

"Menjemput? Menjemput di mana?"

Anna masih diliputi rasa penasaran. Bagaimana ayahku bisa menjemputku sekaligus membebaskanku?

Gadis berambut sedikit pirang itu terus diseret hingga menjauh dari pinggir hutan. Pohon yang tumbuh lebih rapat dari sebelumnya. Akar nafas menjuntai menghalangi jalan. Sebuah garis terbentuk di atas hamparan daun kering di atas tanah karena  kaki Anna yang terseret.

Untuk sesaat, pergerakan mereka terhenti. Ada seseorang yang datang dari arah yang tak diduga. 

Sosok yang dikenal oleh Anna. Bukan dari wajahnya, karena dia tertutup topeng. Justru, karena topeng yang dikenakannya. Orang itu, dia yang dahulu menyelamatkan aku dan ayahku ketika Tuan Hasyim menyatroni rumah.

"Ahhh!"

Seorang anggota komplotan jatuh tersungkur. Dia ditendang tepat bagian pundaknya hingga tak sadarkan diri. Akar yang menonjol ke permukaan tanah menyambut kepala yang terjatuh dengan kencangnya. Senapan pun terpental.

Bi Imah yang tidak menyangka arah kedatangan orang itu seperti lupa akan tugasnya. Dia tidak siap jika tangan kanan yang memegang pisau ditarik hingga tubuhnya terjungkal ke belakang.

Kini, Anna terbebas dari sandera. Walau pun belum sepenuhnya bisa meloloskan diri. Begitu banyak moncong senapan mengarah pada tubuh gadis itu.

Tapi, masalah segera teratasi. Sosok penolongnya segera menendang moncong senapan itu hingga tidak ada waktu bagi pemiliknya untuk menarik pelatuk.

"Nona, pergi!"

Anna tidak banyak berpikir. Dia langsung berlari walau tidak bisa kencang. Gadis itu hanya menatap ke depan tanpa tahu apa yang tengah terjadi di belakangnya. Dia hanya mendengar suara teriakan dan erangan.

"Hei, kau mau ke mana?"

Ternyata, lari Anna yang lamban malah memudahkan kakinya untuk dicengkram. Anna pun terjatuh.

Ketika berbalik badan, Anna bisa menyaksikan wajah orang yang memegang pergelangan kakinya. Bola mata orang itu seperti hendak  meninggalkan lobang di tengkorak kepala. Giginya kuning bekas kapur sirih masih tampak jelas.

"Lepaskan!"

"Tidak akan ...."

Anna kehabisan tenaga. Ketika sorot matanya mengarah pada sosok pria bertopeng, Anna enggan meminta bantuan. Orang itu sedang sibuk meladeni belasan anggota komplotan yang mengeroyoknya. Meskipun sosok itu sanggup melumpuhkan lawannya, tapi Anna berpikir bagaimana meloloskan diri dengan caranya sendiri. Walau itu sulit, pikir Anna.

"Ahh! Sialan!"

Pegangan tangan di pergelangan kaki Anna terlepas. Ketika kepala orang yang memegangnya dipukul oleh benda tumpul.

"Bocah sialan!"

Dari arah tak terduga, datang Panca dan Bajra yang memegang sebatang kayu. Benda itu digunakan untuk memukul. Karenanya, kepala orang yang dipukul mengucurkan darah. Rambutnya yang panjang hampir sebahu, kini basah karena darah.

"Ayo pergi, Nona!" Bajra meraih tangan Anna dan mengajaknya berlari.

"Kakiku sakit, aku tak sanggup berlari!"

Orang yang tadi terhuyung ternyata masih mampu mengendalikan diri. Dia kembali berusaha meraih tubuh Anna. Tentu saja Panca pun berusaha mengayunkan sebatang kayu ke wajah orang itu.

"Kau terlalu lemah, bocah tengik ...."

Pukulan Panca bisa dengan mudah ditahan. Sebatang kayu itu justru ditangkap dengan tangan kanan. Kemudian, ditarik hingga Panca pun terjatuh.

"Matilah kau!"

Kayu itu malah menjadi senjata makan tuan. Hampir saja Panca dipukul keras oleh orang di hadapannya. Sebelum, ada sesuatu yang mengganggu.

"Ah, anjing sialan!"

Orang itu mengerang kesakitan ketika seekor anjing menggigit telinga. Darah mengucur membasahi pipi hingga leher.

"Bagus, Bruno!"

Anjing itu menyalak kemudian memamerkan giginya. Dia memperlihatkan keberaniannya. Bukan hanya karena si Bruno marah ketika majikannya dilukai, tapi ada anjing-anjing kampung yang membantu.

Mereka terus menyalak sambil memamerkan gigi. Tentu saja, hanya orang bernyali tinggi atau setengah gila yang sanggup meladeni kawanan anjing yang sedang marah. Ditambah, ada kawanan monyet liar yang ikut-ikutan ribut dan mengawasi perkelahian.

"Paman, kau salah memilih lawan," Panca tersenyum sinis.

Anak itu beranjak, bermaksud menyusul Bajra dan Anna. Sedangkan Anna sendiri berusaha tidak menghiraukan apa yang terjadi. Dia datang sengaja untuk menyelamatkanku.

"Ayo pergi, Raden," Anna bicara lirih.

"Kalian pergi terlebih dahulu."

"Tidak, aku tak ingin meninggalkanmu di sini."

Panca malah terpaku berdiri. Pandangannya masih tertuju pada sosok yang terus berkelahi sendirian melawan belasan anggota komplotan.

"Biarkan saja dia bekerja sendiri." Anna seakan tahu apa yang dipikirkan Panca.

"Tapi, orang itu telah menolong kita. Apakah kita ...?"

"Dia bukan orang lain. Dia sengaja datang atas perintah ayahku."

"Kau yakin, Nona? Apakah kau mengenalnya?"

"Tentu saja. Kita semua mengenalnya."



Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang