46

54 22 0
                                    

"Bagus, akhirnya kau datang juga, anak muda. Jadi tidak susah mengumpulkan kalian." Seorang lelaki menyambut Panca dengan seringai yang menakutkan. "Ternyata rencanaku cukup berhasil."

"Rencana apa?"

"Ah, kau tidak perlu tahu apa rencana kami."

Tangan Panca siap menyabut golok dari sarungnya, tapi itu urung dilakukan. Dia melihat sebilah golok dikalungkan ke leher Pratiwi.  Seorang lelaki berbadan tinggi berdiri tepat di atas kepala Pratiwi yang duduk di atas tanah.

"Kalian berani melukai saudariku. kenapa kalian melakukan itu?"

"Gadis ini yang memulai cari masalah dengan kami."

Panca mulai merasa heran ketika menyaksikan orang yang menyandera Pratiwi hanya dua orang. Dimana yang lainnya?

"Apa yang kau pikirkan, Raden Panca?" salah seorang diantara mereka seakan tahu isi pikiran Panca. "Kau heran kenapa kami hanya berdua?"

Panca menoleh pada Anna.

"Tidak usah banyak bicara, biarkan kami pergi."

"Ha, kau pikir semudah itu?"

Sekali lagi Panca menoleh pada Anna yang masih berdiri beberapa langkah di belakang Pratiwi.

"Nona, sebaiknya kau cepat pergi," Panca bicara pelan.

"Kau pergi maka gadis ini mati!"

Kalimat itu kembali membuat Anna berpikir panjang. Dia tidak tega menyaksikan Pratiwi yang terluka di bahu. Darah semakin mengucur deras. Pisau berukuran kecil belum sempat dicabut dari daging yang terkoyak. Gadis itu tidak sanggup menahan rasa sakit yang akan timbul jika pisau itu dicabut.

"Nyimas Pratiwi, sekarang kau tahu rasanya jika sebilah pisau menancap di tubuhmu. Itu juga yang teman kami rasakan."

"Jadi, kalian datang jauh-jauh ke sini hanya untuk membalas dendam ...."

Laki-laki bertubuh tinggi itu berjalan ke arah Panca yang siap menghunus golok. Anak remaja itu belum terbiasa berkelahi meskipun dia sudah dilatih untuk melakukannya. Matanya tajam menatap orang di hadapannya.

"Katakan apa mau kalian, maka kita sudahi masalah ini," Panca bicara dengan nada tinggi.

"Benarkah kau ingin mendengar apa yang kami inginkan?"

"Apa?"

"Kami ingin kalian semua mati ...."

Panca mundur perlahan ketika laki-laki itu berusaha mendekati. Panca ketakutan jika harus berhadapan langsung sekaligus dia tidak ingin Pratiwi terluka. Lebih tepatnya, bertambah luka.

"Dia hanya ingin mengulur waktu, Panca." Anna mencoba menilai tindak-tanduk kedua orang berbaju hitam itu.

"Maksudmu?" Panca terheran-heran.

"Sepertinya mereka bukan menginginkan kita. Mereka menginginkan ayahku."

Anna tetap berdiri sambil terus berpikir. Gadis itu berpikir keras. Langkah apa yang akan dia lakukan. Pertama, apakah aku akan meninggalkan Pratiwi dan Panca di sini. Kedua, aku harus pergi ke rumah menemui ayahku dan memberitahu jika ada komplotan penjahat yang bermaksud membunuhnya.

Ketika Anna berpikir begitu keras, ternyata kedua orang itu bisa mengerti jalan pikiran Anna.

"Kau mau memilih mana, Nona Anna?  Membiarkan kedua temanmu mati di tangan kami atau kau mau segera pergi?"

Anna berada dalam dilema. Dia mengkhawatirkan Pratiwi dan Panca sekaligus mengkhawatirkan keselamatan ayahnya.

"Nona, cepat pergi! Beritahu Tuan Eickman jika komplotan ini datang untuk membalas dendam. Jangan risaukan kami. Kami bisa menjaga diri." Panca meyakinkan Anna.

"Menjaga diri? Bagaimana bisa kalian menjaga diri?"

Anna tidak mau meladeni percakapan kedua orang yang telah menyandera Pratiwi. Dia lebih suka mempertimbangkan keadaan. Menghitung jumlah orang yang sedang berdiri jauh di bukit seberang.  Ada yang bersembunyi di balik pohon, ada juga yang bersembunyi di atas pohon dan beberapa orang bersembunyi di semak-semak.

"Hei, kau tidak mendengarku! Aku sedang bicara denganmu!"

Anna hanya tersenyum sinis.

"Kenapa kau tersenyum?"

"Tuan, aku tahu jika kalian semua merencanakan balas dendam kali ini dengan penuh pertimbangan. Kalian tidak membunuh kami sejak awal. Padahal kalian tiba di tempat ini sejak kemarin. Kalian sengaja menunggu waktu yang tepat untuk menyergap kami. Iya kan?"

Orang bertubuh jangkung dan berkumis tipis itu tersenyum kecut. Temannya yang berjanggut tebal hanya terdiam sambil mengalungkan golok ke leher Pratiwi.

"Kalian ingin seekor harimau keluar sarangnya. Kemudian menangkapnya di luar sarang. Tapi, kau lupa jika si harimau pun punya rencana."

Kedua orang itu terheran-heran.

"Bagaimana, Bruno?" Anna menyambut si Bruno yang datang dengan berlari.

Si Bruno mendekati Anna dan menggosokkan tubuhnya ke kaki gadis berambut sedikit pirang itu. Anna mengambil secarik kertas dari balik kalung di leher si anjing.

"Apa itu?"

Anna tidak menjawab pertanyaan itu. Dia langsung berteriak memberi aba-aba, "tiarap!"

Sontak, kedua pria berbaju hitam itu kaget dengan teriakan Anna. Mereka heran dengan sikap Anna.

Dor! Dor! Dor!

Suara tembakan terdengar dari atas bukit. Dua peluru mengenai penyandera Pratiwi.

Keduanya jatuh tersungkur. Terluka di dada. Darah mengalir membasahi rumput hijau yang sedang tumbuh di sana.

Dengan sigap, Panca mendekati Pratiwi dan meraih tangannya. Mereka merangkak menaiki bukit mengikuti Anna dan si Bruno yang merangkak lebih dulu.

Baku tembak terus terjadi.

Mereka berempat memilih bersembunyi di balik bongkahan batu. Berharap tidak ada peluru menghampiri.

"Kerja bagus, Bruno. Kau anjing pintar," Anna memeluk anjing itu dengan erat.

Panca memeluk Pratiwi yang terus mengerang kesakitan. Darah mengalir deras dari luka yang menganga. Pisau masih tertancap di kulit dan dia belum berani membukanya karena dagingnya bisa terkoyak.

"Akhirnya, rencana kita berjalan. Aku pikir saat ini tidak akan terjadi." Anna bergumam.

"Mungkin mereka mengira jika kita tidak memiliki persiapan."

Baku tembak terhenti. Kedua belah pihak kehabisan peluru. Atau, ada pihak yang kalah dan tidak lagi melakukan perlawanan.

Suasana hening untuk beberapa saat.

Hingga akhirnya, Tuan Eickman mendekati ketiga anak remaja dan seekor anjing itu di balik batu. Dia menenteng senapan sambil terus merunduk.

"Kalian baik-baik saja?"

"Pratiwi terluka, Ayah."

"Kita harus segera membawanya pergi. Sebelum mereka melakukan serangan balasan."

"Apakah ini pertanda rencana kita berhasil, Ayah?"

"Ayah kira begitu. Kau memberikan informasi yang akurat. Kami bisa menyerang hanya dalam satu kali tembakan."

Anna dan yang lainnya segera pergi. Sedangkan beberapa anak buah Tuan Eickman memeriksa keadaan untuk memastikan jika tidak ada yang selamat.

"Tuan, apakah kali ini kita bisa merasa lega karena tidak ada kekhawatiran mereka akan kembali?"

Tuan Eickman menghela nafas, "aku tidak bisa memastikan itu, Raden. Hal terpenting, kita harus tetap berhati-hati. Dan, mempunyai rencana cadangan."






Panca dan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang